Papa dan Mama menyadari perubahan sikapku itu. Ketika mereka tanya ada apa denganku, dengan enggan selalu kujawab tidak ada apa-apa.
Hingga suatu hari, semua memuncak. Karena terus-terusan ditanya, akhirnya aku tak tahan ingin bicara. Aku ingin menumpahkan semua kekesalan dan kegundahan hati. Ingin menghakimi kedua orang tuaku, terutama Papa.
Selesai makan malam, aku buka suara. Dengan emosional kuungkapkan semua. Kuberondong mereka sejadi-jadinya dengan kata-kata tajam. Aku lampiaskan segala rasa kecewa karena terlahir sebagai anak hasil perzinahan.
Setelah puas, aku pun menangis sesegukan.
Mama juga menangis. Sedangkan Papa hanya diam dan menunduk dalam-dalam.
Aku yakin Papa malu karena aibnya kuungkap semua. Kemunafikannya kukuliti habis-habisan.
Selang beberapa menit, aku masih sesegukan. Sementara Mama sudah terlihat sedikit tenang.
"Bicaralah, Pa..." ujar Mama pada Papa yang masih saja mematung dalam keadaan menekur. Kedua tangannya saling bertaut di pangkuan.
Papa bergeming. Aku semakin kesal. Jelas Papa tak akan bisa berkata-kata. Aku yakin Papa merasa tak berharga lagi di mataku. Bahkan untuk sekedar mengangkat wajahnyapun ia sudah tak sanggup.
"Bicaralah,Pa...." pinta Mama lagi.
Perlahan Papa mengangkat wajahnya.