"Papa nggak tega menceritakannya, Ma..."
Tiba-tiba aku merasa jijik mendengar suara Papa. Aku benci karena Papa masih saja sok berwibawa begitu. Padahal, sudah jelas dia bersalah. Dan, akibat kesalahannya itu aku lah yang harus menanggungnya seumur hidup.
"Sampaikan lah, Pa... sudah waktunya Nada tau semua." Mama terus berusaha meyakinkan Papa.
Papa menatapku sejenak, lalu kembali menunduk. Papa benar-benar bak seorang maling yang sedang diinterogasi polisi.
Beberapa saat diam. Aku penasaran dengan sikap Mama yang seolah menyimpan sesuatu.
"Nada, dengar Papa, Nak... kami tidak pernah menganggapmu anak haram." Akhinya Papa berkata-kata lirih.
"Papa masih mau menyangkal? Sudah jelas terbukti dari tanggal di buku nikah itu. Aku sudah ada dalam perut mama 2 atau 3 bulan ketika itu," gugatku sengit.
"Dengar dulu Papa, Nak. Kamu bukan anak Papa... Kamu--"
"Apa?! Maksud Papa?! Potongku.
"Begini, Nada ..." Mama ikut menimpali.
"Ketika itu Mama menjadi korban pemerkosaan. Ternyata kejadian itu menyebabkan Mama hamil. Tapi Papa Mu tetap mau menikahi Mama. Sementara, pemerkosa itu tidak diketahui siapa dan dimana keberadaannya sampai sekarang."