"Lu nggak tau tanggal pernikahan Papa-Mama, Lu? Coba cek dulu di buku nikah mereka. Jangan-jangan Lu anak haram, hahahaha..."
"Sialan, Lu! Mana mungkin. Gue tau betul Bokap-Nyokap gue. Nggak mungkin aku mereka bikin sebelum resmi menikah!" jawabku sambil mencibir membalas candaan si Kori.
Anak itu memang suka asal 'njeplak'. Di kelas, dia terkenal paling jahil dan suka asal ngomong kalau bercanda. Tapi, semua orang tahu, walau kata-kata nya sering sembarangan, tapi hatinya baik. Kami sekelas tidak pernah tersinggung separah apa pun kelakarnya. Termasuk aku, sama sekali tidak tersinggung diledek begitu.
Kori mengundang aku dan beberapa teman dekat makan malam di rumahnya dalam rangka merayakan ultah pernikahan oranga tuanya.
Ketika dia balik bertanya kapan ultah pernikahan orang tuaku, aku jawab tidak tahu. Karena memang tidak pernah diperingati, apa lagi dirayakan.
Lalu, seperti itu lah tanggapannya. Dia menggodakku. Dia bilang, bisa jadi aku anak haram yang sudah lahir baru beberapa bulan saja setelah Papa Mama menikah.
Meski aku sangat paham bahwa kata-kata si Kori yang gokil itu cuma bercanda, namun sesampainya di rumah, ocehan anak itu tetap saja kepikiran olehku.
Aku baru sadar bahwa selama ini memang tidak tahu tanggal pernikahan orang tuaku.
Di keluargaku tidak ada tradisi merayakan ulang tahun. Jangankan ultah pernikahan, bahkan hari lahir kami sekeluarga pun tidak ada yang diperingati, apa lagi sampai dipestakan. Sama sekali tidak pernah.
Tanggal 23 Desember ini usiaku 17 tahun. Artinya, paling cepat Papa dan Mamaku menikah 10 bulan sebelunya. Sekitar bulan Februari 17 tahun yang lalu.
Jika mereka menikah setelah Februari, berarti Mama memang sudah hamil duluan saat menikah. Berarti pula aku memang anak haram sebagaimana ocehan Kori di sekolah siang tadi.