Tanpa menunggu jawaban, si tengah segera memungut dua benda itu.
Aku, istri, dan si sulung, mengamati saja dengan hati was-was.
Kemudian, si tengah memencet tombol power window. Kaca jendela terbuka perlahan.
Setelah jendela terbuka setengahnya, dua benda itu dia buang satu per satu ke luar mobil.
Kemudian dia ungkit tombol power window. Kaca jendelapun kembali tertutup rapat.
"Alhamdulillaah ...," serentak kami mengucap syukur.
"Masha Allah, Nak, darimana kamu tahu adikmu bisa membuang jimat itu dengan mudah? Kenapa tiba-tiba jendela tidak macet lagi?" tanyaku masih dalam keadaan heran bercampur takjub.
"Benda haram itu hanya bisa dengan gampang dibuang oleh orang shaleh atau orang suci, Yah. Oleh manusia yang selalu berusaha menjauhi dosa atau belum berdosa sama sekali. Nah, diantara kita, jelas, si dedeklah yang belum punya dosa, karena dia belum akil baligh. Hanya manusia suci yang pasti bisa menaklukkan alam ghaib," jelas si sulung.
"Allahu Akbar!" seruku dan istri hampir bersamaan.
"Bersyukur sekali ayah dan bunda menyekolahkanmu di pesantren, Nak," ujar Istri dengan mata berkaca-kaca haru.
Aku tersenyum lega, lalu mengusap-usap gemas kepala bocah itu, karena takjub dengan ketenangannya menganalisis situasi dalam keadaan genting.