Sakit. Sangat sakit. Bahkan setiap langkah yang ia ambil seolah tak lagi berarti. Elsa hanya butuh Abin. Dan ketika hati begitu hancur, bagi Elsa tempat paling nyaman untuk menangis adalah kamarnya. Dan dengan berlari perempuan itu kembali pulang.
Saking sedihnya, Elsa mengabaikan mobil hitam yang terparkir di halaman rumahnya.
"Cih, pasti nenek sama bibi datang bagi-bagi kue sama coklat. Hiks. Kalo ketauan nangis bisa malu, tapi mau gimana lagi, hati Elsa udah terlanjur sakit."
Elsa melangkah masuk tanpa memperdulikan beberapa orang di ruang tamu yang tengah berkumpul. Pandangan juga sedikit kabur karena air mata. Hanya satu yang terpikir di benak Elsa, 'Ia harus cepat pergi dari sana.'
"Elsa! Heh, kok gak sopan banget sih ada tamu malah nyelonong tanpa permisi," mata ayahnya.
Elsa masih tak menghentikan langkah, justru menghentak kesal melipat tangan di depan dada — tepat seperti bocah TK yang tengah merajuk ketika minta dibelikan permen.
"Elsa, saya datang buat ngelamar kamu."
Deg.
Suara itu ... saking rindunya, apa Elsa berhalusinasi? Masih tak menoleh, tapi perempuan itu terdiam mematung.
"Elsa," Abin kembali memanggil, "Kamu beneran gak mau duduk bareng saya? Kamu beneran gak mau ngasih saya kesempatan?"
Air mata kembali mengalir, kedua telapak tangan Elsa mengepal erat, tapi langkah tak tertahan untuk berbalik, lalu memeluk Abin yang tengah duduk di depan orang tuanya.