Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Akhirnya Orangtua Sakti itu Meninggal Dunia dengan Tenang

23 Maret 2016   14:10 Diperbarui: 23 Maret 2016   14:20 1341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam makin larut, orang Jawa menyebutnya ‘lingsir wengi’ Keluarga Mbah Wiro sudah banyak yang tertidur. Mbah Wiro tampak gelisah.

“Menapa to Mbah ingkang Panjenengan galih?” Artinya: “Apa sih yang Mbah Wiro pikirkan?”tanyaku sambil memegang tangan Mbah Wiro yang terasa dingin.

Mbah Wiro pun menceritakan masa lalunya yang ternoda akibat harus bergerilya. Istrinya yang amat mencintainya terpaksa harus ditinggalkan di desa yang hidup pas-pasan dengan sepetak sawah yang dimiliki mertuanya. Di desa di kaki Gunung Semeru, Mbah Wiro yang bergerilya tertarik dan menikah tanpa sepengetahuan istri pertamanya. Terdorong rasa kangen akan putra pertamanya yang ditinggal bergerilya, setelah masa kemerdekaan, Mbah Wiro kembali ke desanya dan berkumpul dengan keluarganya lagi. Istri ke dua yang ada di kaki Gunung Semeru pun ditinggalkan.

Tahun 50an pemerintah memberi kesempatan kepada para gerilyawan untuk menjadi tentara atau guru. Mbah Wiro pun memilih menjadi guru dan ditempatkan di desa sekitar Tumpang, Malang. Gaji yang pas-pasan membuat Mbah Wiro tak pernah bisa berkumpul kembali dengan istri ke dua yang ada di pedalaman Semeru.

Suatu saat, Mbah Wiro mengunjungi dan mendapati sang istri telah punya momongan. Mbah Wiro, merasa itu bukan anaknya. Ia kecewa dan tak pernah kembali lagi. Istri ke duanya pun kecewa dan mengumpatnya.

Tiga puluh tahun sudah berlalu, tiba-tiba seseorang datang menemui Mbah Wiro dan mengaku sebagai anaknya dari kaki gunung Semeru. Mbah Wiro terkejut melihat laki-laki yang mirip wajahnya. Ia pun terjerembab masuk dalam kenangan masa lalu yang membuat dirinya merasa berdosa.

“Apakah dosaku akan diampuni?”

“Tentu Mbah…” Mbah Wiro memandangku sambil terus memegang tanganku. Wajah takut tampak dari tatapan matanya yang mulai agak kacau.

“Mbah, rasukan ingkang reged kedah dipun umbah sakderengipun dipunlebetaken lemari utawi didamel malih.”  (Mbah, pakaian yang kotor harus dicuci sebelum disimpan di lemari atau dipakai lagi…)

Tangan Mbah Wiro semakin dingin.

“Aku pancen reged….” ( Aku memang penuh dosa…)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun