Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Akhirnya Orangtua Sakti itu Meninggal Dunia dengan Tenang

23 Maret 2016   14:10 Diperbarui: 23 Maret 2016   14:20 1341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Mendampingi orang akan meninggal. Sumber: liputan6.com"]

[/caption]

Keluarga dan kerabatnya serta warga pedukuhan memanggilnya Mbah Wiro. Entah siapa nama lengkapnya, bahkan keluarganya sendiri juga tak tahu. Sebab anak-anaknya pun sudah ada yang pikun dan tak kenal lagi tentang Mbah Wiro. Justru yang kenal malah cucu dan buyutnya.  Ada yang mengatakan umurnya sudah hampir seabad bahkan lebih. Menurut cerita cucunya, Mbah Wiro lahir pada saat purnamasidhi dina pasaran Selasa Wage pada jaman sebelum kekalahan Belanda. Entah maksudnya saat jaman agresi Belanda atau sebelum Belanda diusir Jepang.

Banyak yang mengatakan Mbah Wiro itu sakti dan punya cekelan* sehingga sulit menuju kematian sekalipun sudah renta dan kadang sakit keras karena batuknya yang sulit sembuh akibat sering merokok klobot. Pada malam hari ketika semua sedang tidur lelap, Mbah Wiro yang tidur sendirian di amben* yang hanya beralaskan galar* sering mengoceh sendiri tanpa bisa dimengerti. Ada yang menganggap Mbah Wiro sedang bicara dengan prewangannya* yang tak mau pergi darinya sebelum diberi tempat pada insan lain yang mau menerimanya.

Hal yang cukup menarik dari kehidupan Mbah Wiro di masa tuanya ini, sekalipun agak pikun dan sudah tak terlalu doyan makan sehingga badannya lemah, ia masih bisa ke kamar kecil dan mandi sendiri tanpa bantuan. Demikian juga, ia tak mau pindah kamar tidurnya yang ada di dekat sentong* di rumahnya yang kini penuh dengan cucu-cucunya.

Melihat keadaan seperti ini, cucu dan buyutnya, apalagi anaknya sudah tak peduli lagi. Bahkan berharap Mbah Wiro segera menghadap ke Sang Khalik dengan tenang. Mbah Wiro yang sudah renta tampak kesepian. Di saat sore hingga malam Mbah Wiro sering duduk termenung di depan pendapa dengan tatapan mata agak kosong melihat sepinya pedukuhan. Cucu dan buyutnya sibuk dengan hape, sedang anaknya yang masih agak sehat kadang menemani sambil nonton tivi, tapi tanpa pembicaraan yang berarti. Mbah Wiro semakin kesepian.

Bila Mbah Wiro kumat nggrememengnya dan seperti menahan dan merasakan sesuatu yang mengganjal hatinya. Keluarganya menganggap Mbah Wiro mau meninggal tapi tertahan oleh ilmu dan prewangan yang ada padanya. Doa-doa dipanjatkan oleh mereka yang ingin Mbah Wiro segera bebas, termasuk oleh para sesepuh yang merasa pernah mengenalnya atau merasa punya ilmu untuk membebaskan Mbah Wiro. Kenyataannya Mbah Wiro hanya tertidur pulas dan esoknya tetap seperti sedia kala.

Suatu hari penulis dimintai tolong keluarganya untuk menemani Mbah Wiro yang sepertinya mau kumat. Berbekal rasa empati sebagai ilmu yang mumpuni, penulis pun menemani Mbah Wiro yang lumah-lumah di amben. Bau agak pesing dan bau asap rokok klobot membuat perut ini agak mual tapi demi Mbah Wiro penulis tetap bertahan sambil membaca Serat Centini.

“Kamu siapa?” tiba-tiba Mbah Wiro bertanya dengan suara lirih tapi jelas.

“Saya Ukik anaknya Pak Noto…” jawabku lirih setengah kaget.

“Ooo… Ukik to? Kok tetap ganteng padahal sudah tua….”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun