[caption caption="Mendampingi orang akan meninggal. Sumber: liputan6.com"]
[/caption]
Keluarga dan kerabatnya serta warga pedukuhan memanggilnya Mbah Wiro. Entah siapa nama lengkapnya, bahkan keluarganya sendiri juga tak tahu. Sebab anak-anaknya pun sudah ada yang pikun dan tak kenal lagi tentang Mbah Wiro. Justru yang kenal malah cucu dan buyutnya. Ada yang mengatakan umurnya sudah hampir seabad bahkan lebih. Menurut cerita cucunya, Mbah Wiro lahir pada saat purnamasidhi dina pasaran Selasa Wage pada jaman sebelum kekalahan Belanda. Entah maksudnya saat jaman agresi Belanda atau sebelum Belanda diusir Jepang.
Banyak yang mengatakan Mbah Wiro itu sakti dan punya cekelan* sehingga sulit menuju kematian sekalipun sudah renta dan kadang sakit keras karena batuknya yang sulit sembuh akibat sering merokok klobot. Pada malam hari ketika semua sedang tidur lelap, Mbah Wiro yang tidur sendirian di amben* yang hanya beralaskan galar* sering mengoceh sendiri tanpa bisa dimengerti. Ada yang menganggap Mbah Wiro sedang bicara dengan prewangannya* yang tak mau pergi darinya sebelum diberi tempat pada insan lain yang mau menerimanya.
Hal yang cukup menarik dari kehidupan Mbah Wiro di masa tuanya ini, sekalipun agak pikun dan sudah tak terlalu doyan makan sehingga badannya lemah, ia masih bisa ke kamar kecil dan mandi sendiri tanpa bantuan. Demikian juga, ia tak mau pindah kamar tidurnya yang ada di dekat sentong* di rumahnya yang kini penuh dengan cucu-cucunya.
Melihat keadaan seperti ini, cucu dan buyutnya, apalagi anaknya sudah tak peduli lagi. Bahkan berharap Mbah Wiro segera menghadap ke Sang Khalik dengan tenang. Mbah Wiro yang sudah renta tampak kesepian. Di saat sore hingga malam Mbah Wiro sering duduk termenung di depan pendapa dengan tatapan mata agak kosong melihat sepinya pedukuhan. Cucu dan buyutnya sibuk dengan hape, sedang anaknya yang masih agak sehat kadang menemani sambil nonton tivi, tapi tanpa pembicaraan yang berarti. Mbah Wiro semakin kesepian.
Bila Mbah Wiro kumat nggrememengnya dan seperti menahan dan merasakan sesuatu yang mengganjal hatinya. Keluarganya menganggap Mbah Wiro mau meninggal tapi tertahan oleh ilmu dan prewangan yang ada padanya. Doa-doa dipanjatkan oleh mereka yang ingin Mbah Wiro segera bebas, termasuk oleh para sesepuh yang merasa pernah mengenalnya atau merasa punya ilmu untuk membebaskan Mbah Wiro. Kenyataannya Mbah Wiro hanya tertidur pulas dan esoknya tetap seperti sedia kala.
Suatu hari penulis dimintai tolong keluarganya untuk menemani Mbah Wiro yang sepertinya mau kumat. Berbekal rasa empati sebagai ilmu yang mumpuni, penulis pun menemani Mbah Wiro yang lumah-lumah di amben. Bau agak pesing dan bau asap rokok klobot membuat perut ini agak mual tapi demi Mbah Wiro penulis tetap bertahan sambil membaca Serat Centini.
“Kamu siapa?” tiba-tiba Mbah Wiro bertanya dengan suara lirih tapi jelas.
“Saya Ukik anaknya Pak Noto…” jawabku lirih setengah kaget.
“Ooo… Ukik to? Kok tetap ganteng padahal sudah tua….”
“Hahaha….Mbah Wiro ada-ada saja…..” jawabku enteng sambil membayangkan apakah Mbah Wiro masih ingat aku dulu pernah pacaran dengan Cipluk anaknya yang kini telah tiada.
“Sudah berapa tahun Bapakmu meninggal?”
“Lima belas tahun Mbah.”
“Ingin aku bermain di sungai bersama Noto, Bapakmu seperti pada jaman Jepang dulu.”
“Nanti pasti akan bertemu kok Mbah…”
“Tapi aku belum berani….dosaku masih banyak.”
Aku hanya diam dan mengira-ira dosa apa yang telah dilakukan Mbah Wiro dan bertanya-tanya apa hal ini yang membuat Mbah Wiro takut mati.
“Kamu punya ilmu*?”tanya Mbah Wiro
“Tak punya Mbah…”
“Kukira punya. Aku juga tak punya….”jawabnya enteng.
Pengakuan ini membuat saya kaget dan bertanya-tanya, mengapa selama ini banyak yang menganggap Mbah Wiro orang sakti. Apakah kisah masa lalu saat terhindar dari tembakan tentara Jepang yang mengejarnya saat dia memberontak bersama teman-temannya. Padahal dua temannya gugur dan telah dimakamkan di TMP di Tumpang Malang. Atau kemampuannya meredakan hujan saat ada hajatan di desa. Atau kepandaiannya menjadi calak atau dukun sunat yang pernah dilakukannya.
Malam makin larut, orang Jawa menyebutnya ‘lingsir wengi’ Keluarga Mbah Wiro sudah banyak yang tertidur. Mbah Wiro tampak gelisah.
“Menapa to Mbah ingkang Panjenengan galih?” Artinya: “Apa sih yang Mbah Wiro pikirkan?”tanyaku sambil memegang tangan Mbah Wiro yang terasa dingin.
Mbah Wiro pun menceritakan masa lalunya yang ternoda akibat harus bergerilya. Istrinya yang amat mencintainya terpaksa harus ditinggalkan di desa yang hidup pas-pasan dengan sepetak sawah yang dimiliki mertuanya. Di desa di kaki Gunung Semeru, Mbah Wiro yang bergerilya tertarik dan menikah tanpa sepengetahuan istri pertamanya. Terdorong rasa kangen akan putra pertamanya yang ditinggal bergerilya, setelah masa kemerdekaan, Mbah Wiro kembali ke desanya dan berkumpul dengan keluarganya lagi. Istri ke dua yang ada di kaki Gunung Semeru pun ditinggalkan.
Tahun 50an pemerintah memberi kesempatan kepada para gerilyawan untuk menjadi tentara atau guru. Mbah Wiro pun memilih menjadi guru dan ditempatkan di desa sekitar Tumpang, Malang. Gaji yang pas-pasan membuat Mbah Wiro tak pernah bisa berkumpul kembali dengan istri ke dua yang ada di pedalaman Semeru.
Suatu saat, Mbah Wiro mengunjungi dan mendapati sang istri telah punya momongan. Mbah Wiro, merasa itu bukan anaknya. Ia kecewa dan tak pernah kembali lagi. Istri ke duanya pun kecewa dan mengumpatnya.
Tiga puluh tahun sudah berlalu, tiba-tiba seseorang datang menemui Mbah Wiro dan mengaku sebagai anaknya dari kaki gunung Semeru. Mbah Wiro terkejut melihat laki-laki yang mirip wajahnya. Ia pun terjerembab masuk dalam kenangan masa lalu yang membuat dirinya merasa berdosa.
“Apakah dosaku akan diampuni?”
“Tentu Mbah…” Mbah Wiro memandangku sambil terus memegang tanganku. Wajah takut tampak dari tatapan matanya yang mulai agak kacau.
“Mbah, rasukan ingkang reged kedah dipun umbah sakderengipun dipunlebetaken lemari utawi didamel malih.” (Mbah, pakaian yang kotor harus dicuci sebelum disimpan di lemari atau dipakai lagi…)
Tangan Mbah Wiro semakin dingin.
“Aku pancen reged….” ( Aku memang penuh dosa…)
“Gusti Allah Pangeran kita mboten bakal maringi ukuman tiyang ingkang rumaos dosanipun, namung jiwa menika kedah dipunresiki malih…” ( Allah Tuhan kita, tak akan menghukum orang yang mengakui dosanya, hanya jiwanya harus dibersihkan…)
Tampak wajah lega setelah Mbah Wiro mengungkap isi hatinya. Tangan dingin yang erat memegangku terasa melemah. Suara hembusan lembut dari bibir orangtua yang perlu teman dan pendampingan tulus membuatku trenyuh. Ketika tatapannya makin kosong, tangannya kudekap erat sambil berdoa mohon pengampunan dosa dan jalan yang lapang bagi Mbah Wiro.
Lingsir wengi, ketika malam semakin hening Mbah Wiro meninggal dunia dengan tenang. Meninggal dunia atas kehendakNya bukan karena merang dan daun kelor yang disediakan keluarganya bila aku membutuhkan dan tega melakukannya.
Desa Wajak, Malang
12 September 2004
*Kisah Nyata
Catatan:
· Cekelan : Jimat ( benda ) atau ajian ( mantra ) dan ilmu ( kemampuan di atas kodrati tapi bukan adi kodrati ) yang dipercaya mempunyai kekuatan gaib bagi yang memiliknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H