"Betul, Kek. Aku setuju dengan apa yang Kakek sampaikan padaku."
Pagi pun beranjak pergi. Surya sudah mulai terlihat lebih terang cahyanya. Embun-embun yang tadinya melekat di permukaan rerumputan dan dedaunan kini perlahan menghilang.
"Kakek senang kamu bisa memanah, kakek senang kamu mengerti dengan petuah yang kakek sampaikan. Tetapi kakek akan lebih senang lagi apabila kaurenungkan dan kauambil hikmah dari belajar memanahmu tadi. Cermatilah setiap detil caramu memanah, ambil ilmu yang tak tersurat di sana. Mulai dari mengenali kekuatanmu, melihat peluang dan rintangan, merasakan pijakan, hingga jarak terbaik yang semestinya kausadari dampaknya dalam memanah tujuanmu. Sadarilah bahwa ini juga dapat kaupraktikkan untuk membidik apa yang kautuju dalam hidupmu."
"Tolong sampaikan salam dan ucapan terima kasihku pada kedua orang tuamu. Hari sudah semakin siang, rasanya kakek harus segera melanjutkan perjalanan."
Mendengar kata-kata itu dari sang kakek, mata pemuda itu tampak mulai berkaca-kaca.
"Aku tak tahu bagaimana aku harus berterima kasih padamu, Kek."
Tangisnya tumpah seketika. Dengan suara tersendat-sendat, ia menyungkurkan lututnya ke tanah. Ia ucapkan terima kasih dengan begitu tulus pada sang kakek.
"Kau tak perlu berterima kasih sampai seperti itu, Nak. Amalkan saja kebaikan dan ilmu yang kaudapat dari pertemuan singkat kita ini."
Sembari tersenyum, sang kakek pun meninggalkan pemuda itu untuk melanjutkan perjalanannya menuju sebuah padepokan di pesisir pantai di mana ia akan mengabdikan diri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H