Mohon tunggu...
Ardi Prasetyo
Ardi Prasetyo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Musik, Literasi, Bisnis

Begitu banyak instrumen kehidupan, seperti halnya musik. Lalu, kupelajari satu per satu, pun agar harmonis hidup yang kumainkan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Memanah Tujuan Hidup

22 Juli 2015   05:57 Diperbarui: 22 Juli 2015   05:57 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan suara yang berat, kakek itu menyambung pembicaraan, "Kebetulan kakek melewati kampung ini sebelum melanjutkan perjalanan ke pesisir pantai di mana kakek harus mengajar sebuah padepokan. Ayahmu begitu baik, ia memberi minuman pada kakek ketika kakek berjalan sempoyongan karena kehausan. Lalu ayahmu memintaku berisitirahat semalam di sini sebelum melanjutkan perjalanan. Kurang lebih begitu lah, Nak, ceritanya."

"Sepertinya kaugemar memanah, buruan apa yang kaudapat hari ini?," tanya sang kakek.

Pemuda itu tampak kaget, dalam hati ia berkata, "Dari mana kakek ini tau kalau aku suka dan ingin belajar memanah?"

Sambil berpikir, ia bersandar di dinding bambu dekat ayahnya. Terasa ada yang mengganjal sandarannya, baru ia sadar bahwa busur panah dan sewadah anak panah masih asik tergendong di punggungnya. Ia lekas tahu kenapa sang kakek bertanya seperti itu. Dengan sedikit malu, ia pun segera menyimpan peralatan memanahnya dan menjawab pertanyaan sang kakek.

"Jangankan dapat buruan, Kek, berhari-hari aku membidik mangga di pohon tapi sama sekali tak ada yang terkena. Aku suka dan ingin belajar memanah, hanya saja orang yang kukenal pandai memanah di desa ini tak mau membagi ilmu dan mengajariku. Busur dan anak panah ini pun ayahku yang dengan susah payah membuatnya untukku," jawabnya.

"Bagaimana jika esok pagi sebelum melanjutkan perjalanan, kakek ikut denganmu dan menemanimu berlatih?," tantang sang kakek.

"Maksudnya, kakek akan mengajariku memanah?," tanyanya.

"Orang setua kakek mana mampu menarik busur panah. Mata orang serenta kakek mana mungkin masih bisa membidik dengan tepat. Akan tetapi, kakek pernah semuda dirimu. Kakek pernah mampu menarik busur panah dan membidik sasaran dengan tepat. Tubuh kakek memang sudah lemah, tapi pikiran kakek masih cukup kuat untuk mengingat."

Sang ibu datang menyajikan beberapa wadah makanan hasil olahannya. Di atas lantai beralas tikar anyaman, ketiga lelaki tersebut masih tampak asik berbincang-bincang. Usai mangkuk terakhir sampai di hadapan orang-orang, sang ibu pun ikut bergabung untuk makan malam bersama-sama.

*****

Suara ayam terdengar dari seluruh penjuru desa. Sedangkan hawa dingin masih enggan berpisah dengan malam. Tapi, dari timur sudah tampak secercah cahaya yang menyebar ke langit dengan warna indahnya. Sang ibu sudah terlihat sibuk di tungku api belakang rumah untuk menyiapkan sarapan. Sang ayah tampak mengasah gaman untuk dibawanya bergulat dengan rerumputan liar di ladangnya. Sang kakek tengah terdiam memaku diri di sudut halaman depan. Ia tengah berperang melawan lupa akan cara memainkan anak panah dan busurnya. Sedangkan pemuda itu masih meringkuk di atas tempat tidurnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun