Sang ibu beranjak mengusung hidangan sarapan ke ruang depan. Lalu ia berjalan ke satu arah untuk menghampiri dan membangunkan anaknya.
Sambil menggoyang-goyangkan lengan pemuda itu, sang ibu berkata, "Bangunlah, Nak. Lekas santap sarapanmu. Bukankah pagi ini kau akan pergi untuk berlatih memanah bersama kakek?"
Sambil mengusap-usap matanya, ia pun mulai tersadar dari tidurnya dan menjawab, "Baik lah, Bu. Aku akan segera bangun."
Usai mencuci muka, pemuda itu berjalan ke halaman depan untuk mengajak ayahnya dan sang kakek untuk sarapan.
Sesekali tawa ringan terdengar saat mereka sedang santap sarapan. Tampaknya mereka begitu akrab dan dekat sebagai keluarga. Tak lama kemudian, berakhir sudah santap sarapan mereka pagi itu. Ibunya lekas membersihkan peralatan makan dan peralatan memasak. Ayahnya lekas pergi ke ladang di lereng gunung belakang rumahnya. Ia sendiri tampak bergegas berjalan dengan sang kakek menuju tepi hutan tempat biasa ia berlatih memanah, tak begitu jauh dari rumah.
Sesampainya di tempat latihan, sang kakek hanya terdiam memerhatikan apa yang akan dilakukan pemuda itu. Namun pemuda itu pun tampak canggung dan malu-malu untuk memulai memanah.
"Coba beritahu kakek, mangga di ranting yang mana yang akan kautuju," tukas sang kakek.
"Yang tak terlalu tinggi, yang buahnya sudah tampak mulai matang itu, Kek," jawabnya.
"Lalu, dari arah mana kau akan memanah?"
"Dari sebelah sini, Kek. Dari sebelah sini rasanya tanahnya lebih datar, jadi aku bisa berdiri lebih seimbang."
Sang kakek pun berdiri di belakang posisi yang ditunjukkan pemuda itu, lalu ia lihat mangga yang menjadi sasaran dari sudut itu.