Mohon tunggu...
Ardi Prasetyo
Ardi Prasetyo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Musik, Literasi, Bisnis

Begitu banyak instrumen kehidupan, seperti halnya musik. Lalu, kupelajari satu per satu, pun agar harmonis hidup yang kumainkan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Memanah Tujuan Hidup

22 Juli 2015   05:57 Diperbarui: 22 Juli 2015   05:57 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Seorang pemuda gagah tampak frustrasi setelah seharian memanah namun sama sekali tak pernah mengenai sasaran.

"Memanah sebuah mangga di pohon saja susah, apalagi memanah binatang buruan," keluhnya.

Ia pun memutuskan untuk duduk di atas batu seukuran kepala kerbau di bawah pohon mangga yang sedari tadi menjadi sasaran liar anak panahnya. Beruntung, bekal yang disiapkan ibunya tak lupa ia bawa. Dirogohnya bungkusan bekal itu, lalu sekantung air ditenggaknya untuk melepas dahaga. Ubi rebus tak ia keluarkan dari bungkusan, karena rasa  stres membuatnya kehilangan nafsu makan.

Tak lama, ia ingat pesan ibunya untuk membawakan kayu bakar saat pulang. Segera dikemasnya kembali bekal dan peralatan memanah yang ia bawa. Hari sudah beranjak petang, dengan terburu-buru ia kumpulkan kayu kering di pinggir hutan untuk dibawa pulang.

Gelap sudah menyelimuti hari ketika ia tiba di rumah. Seikat kayu kering setengah dilemparkan dari tangannya ke dekat tungku api di belakang rumah. Wajahnya masih saja murung dan menampakkan kekesalannya.

Dengan langkah sidikit terburu, seorang perempuan berambut putih menghampirinya lalu bertanya, "Nak, kenapa kau terlihat murung seperti itu? Bisakah kauceritakan pada ibu?"

"Aku tak apa-apa, Bu. Hanya masih saja aku tak kunjung bisa memanah. Sudah sekian hari aku belajar memanah mangga, tapi tak satu pun anak panahku ada yang berhasil menjatuhkannya, bahkan menyenggolnya pun tidak," jawab pemuda berambut ikal sebahu itu.

Sambung sang ibu, "Sabar, sekarang lekas lah bersihkan dirimu lalu kita makan bersama di dalam."

Selesai membersihkan diri di sebuah pancuran air di belakang gubuk kecilnya, pemuda berpostur tinggi itu lekas masuk ke rumah melalui pintu belakang. Sesampainya di ruang depan tempat keluarga itu biasa makan bersama, ia terkejut melihat seorang kakek tua berjubah putih tengah mengobrol dengan ayahnya.

Ia pun memberi salam pada ayahnya lalu bertanya, "Siapakah kakek ini, Yah?"

Lelaki yang sedikit lebih muda dari kakek itu menjawab, "Kakek ini adalah seorang pengembara dari sebuah desa di balik gunung belakang rumah kita, Nak."

Dengan suara yang berat, kakek itu menyambung pembicaraan, "Kebetulan kakek melewati kampung ini sebelum melanjutkan perjalanan ke pesisir pantai di mana kakek harus mengajar sebuah padepokan. Ayahmu begitu baik, ia memberi minuman pada kakek ketika kakek berjalan sempoyongan karena kehausan. Lalu ayahmu memintaku berisitirahat semalam di sini sebelum melanjutkan perjalanan. Kurang lebih begitu lah, Nak, ceritanya."

"Sepertinya kaugemar memanah, buruan apa yang kaudapat hari ini?," tanya sang kakek.

Pemuda itu tampak kaget, dalam hati ia berkata, "Dari mana kakek ini tau kalau aku suka dan ingin belajar memanah?"

Sambil berpikir, ia bersandar di dinding bambu dekat ayahnya. Terasa ada yang mengganjal sandarannya, baru ia sadar bahwa busur panah dan sewadah anak panah masih asik tergendong di punggungnya. Ia lekas tahu kenapa sang kakek bertanya seperti itu. Dengan sedikit malu, ia pun segera menyimpan peralatan memanahnya dan menjawab pertanyaan sang kakek.

"Jangankan dapat buruan, Kek, berhari-hari aku membidik mangga di pohon tapi sama sekali tak ada yang terkena. Aku suka dan ingin belajar memanah, hanya saja orang yang kukenal pandai memanah di desa ini tak mau membagi ilmu dan mengajariku. Busur dan anak panah ini pun ayahku yang dengan susah payah membuatnya untukku," jawabnya.

"Bagaimana jika esok pagi sebelum melanjutkan perjalanan, kakek ikut denganmu dan menemanimu berlatih?," tantang sang kakek.

"Maksudnya, kakek akan mengajariku memanah?," tanyanya.

"Orang setua kakek mana mampu menarik busur panah. Mata orang serenta kakek mana mungkin masih bisa membidik dengan tepat. Akan tetapi, kakek pernah semuda dirimu. Kakek pernah mampu menarik busur panah dan membidik sasaran dengan tepat. Tubuh kakek memang sudah lemah, tapi pikiran kakek masih cukup kuat untuk mengingat."

Sang ibu datang menyajikan beberapa wadah makanan hasil olahannya. Di atas lantai beralas tikar anyaman, ketiga lelaki tersebut masih tampak asik berbincang-bincang. Usai mangkuk terakhir sampai di hadapan orang-orang, sang ibu pun ikut bergabung untuk makan malam bersama-sama.

*****

Suara ayam terdengar dari seluruh penjuru desa. Sedangkan hawa dingin masih enggan berpisah dengan malam. Tapi, dari timur sudah tampak secercah cahaya yang menyebar ke langit dengan warna indahnya. Sang ibu sudah terlihat sibuk di tungku api belakang rumah untuk menyiapkan sarapan. Sang ayah tampak mengasah gaman untuk dibawanya bergulat dengan rerumputan liar di ladangnya. Sang kakek tengah terdiam memaku diri di sudut halaman depan. Ia tengah berperang melawan lupa akan cara memainkan anak panah dan busurnya. Sedangkan pemuda itu masih meringkuk di atas tempat tidurnya.

Sang ibu beranjak mengusung hidangan sarapan ke ruang depan. Lalu ia berjalan ke satu arah untuk menghampiri dan membangunkan anaknya.

Sambil menggoyang-goyangkan lengan pemuda itu, sang ibu berkata, "Bangunlah, Nak. Lekas  santap sarapanmu. Bukankah pagi ini kau akan pergi untuk berlatih memanah bersama kakek?"

Sambil mengusap-usap matanya, ia pun mulai tersadar dari tidurnya dan menjawab, "Baik lah, Bu. Aku akan segera bangun."

Usai mencuci muka, pemuda itu berjalan ke halaman depan untuk mengajak ayahnya dan sang kakek untuk sarapan.

Sesekali tawa ringan terdengar saat mereka sedang santap sarapan. Tampaknya mereka begitu akrab dan dekat sebagai keluarga. Tak lama kemudian, berakhir sudah santap sarapan mereka pagi itu. Ibunya lekas membersihkan peralatan makan dan peralatan memasak. Ayahnya lekas pergi ke ladang di lereng gunung belakang rumahnya. Ia sendiri tampak bergegas berjalan dengan sang kakek menuju tepi hutan tempat biasa ia berlatih memanah, tak begitu jauh dari rumah.

Sesampainya di tempat latihan, sang kakek hanya terdiam memerhatikan apa yang akan dilakukan pemuda itu. Namun pemuda itu pun tampak canggung dan malu-malu untuk memulai memanah.

"Coba beritahu kakek, mangga di ranting yang mana yang akan kautuju," tukas sang kakek.

"Yang tak terlalu tinggi, yang buahnya sudah tampak mulai matang itu, Kek," jawabnya.

"Lalu, dari arah mana kau akan memanah?"

"Dari sebelah sini, Kek. Dari sebelah sini rasanya tanahnya lebih datar, jadi aku bisa berdiri lebih seimbang."

Sang kakek pun berdiri di belakang posisi yang ditunjukkan pemuda itu, lalu ia lihat mangga yang menjadi sasaran dari sudut itu.

"Coba kaubidik mangga yang kaumaksud, Nak."

"Baik, Kek"

Ia mulai menggenggam kuat busur panah itu dengan tangan kirinya. Lalu tangan kanannya mulai menarik satu anak panah dari wadah di punggungnya. Lekas ia pasang anak panah pada posisinya, kemudian dengan perlahan ia tarik busur bersamaan dengan ekor anak panah itu. Ia yakin bidikannya sudah sangat tepat.

"Slaaatttt!" Melesat cepat anak panah itu setelah dilepaskan dari busurnya. Ia perhatikan, anak panahnya tidak mengenai sasaran. Justru tersangkut di ranting-ranting sisi lain pohon mangga itu.

"Begitulah, Kek. Sepertinya aku memang tak berbakat memanah."

"Tenangkanlah dirimu sejenak, Nak. Coba kita evaluasi apa yang baru saja terjadi."

"Perhatikan anak panah yang baru saja kaulepaskan itu, di situlah kekuatanmu. Anak panah itu mampu menerobos ranting-ranting pepohonan dan dedaunan baik sebelum dan sesudah melewati mangga tujuanmu. Itu berarti dirimu mempunyai tenaga yang kuat untuk menarik busur panah. Akan tetapi, dirimu menilai kerataan tempat membidik terlalu penting. Sehingga  justru kauabaikan dedauanan dan ranting pohon yang merintangi anak panahmu menuju mangga yang kautuju. Tembakanmu memang kuat, bahkan bidikanmu mungkin saja sudah tepat, tapi sentuhan anak panah dengan rintangan berupa dedaunan dan ranting pohon dapat merubah arah anak panah. Renungkanlah, dan perlahan coba kaupahami hasil evaluasi ini."

"Baik, Kek. Tampaknya aku mulai mengerti."

Kemudian, ia membidik mangga itu dari arah yang lain. Tempatnya berbatu cukup tajam dan sedikit miring, tapi dari situ tak ada rintangan yang akan menghalangi anak panahnya untuk mengenai sasaran. Kembali ia mulai membidikkan panahnya, dan "Slaaaattt!" Anak panah yang dilepaskannya pun menyerempet kulit mangga yang diincarnya. Satu senyuman ia pamerkan pada sang kakek. Ia tampak bangga dengan keberhasilannya yang semakin dekat.

Ia berjalan ke arah sang kakek dan sesekali wajahnya menampakkan kesakitan karena kakinya baru saja bertumpu pada batu tajam.

"Bagaimana, Kek? Menurutku sendiri, aku sudah mulai puas dengan apa yang aku bisa."

Dengan suara beratnya, sang kakek tertawa, "Hahaha! Kamu memang masih terlalu muda, Nak. Tapi rasanya akan baik jika kautahu soal ini. Dalam hal seperti ini, cepat puas akan hasil usaha kita sendiri itu merupakan sifat yang perlu dihindari. Kamu harus memacu dirimu untuk berusaha lebih keras, sehingga hasil yang nantinya kauraih pun akan lebih luar biasa lagi. Jadi, kakek berpesan padamu agar jangan cepat puas ya, Nak."

Sambil menggaruk-garuk kepalanya dan dengan wajah sedikit bingung, pemuda itu menimpali, "Bisakah kakek tinggal bersama keluargaku lebih lama? Baru sebentar saja aku belajar dengan kakek, sudah banyak ilmu yang kudapatkan. Kakek sungguh bijaksana."

"Tenang lah, Nak. Aku takkan pergi sekarang juga. Aku masih akan menemani berlatih memanah."

"Kakek punya satu pertanyaan mudah, kaumau menjawabnya?"

"Apa itu, Kek?"

"Begini. Apakah mangga bisa berlari?"

"Hahaha! Kakek pasti bercanda. Sejak kapan buah mangga bisa berlari? Ternyata selain bijaksana, Kakek juga pandai berkelakar."

"Yah, kamu boleh menilai kakek seperti apa saja. Tapi, begini maksud Kakek. Jika mangga tak bisa berlari, kenapa kautak mencoba mendekatinya saja?"

"Perhatikan mangga yang kauincar, ia memang tak terjangkau dengan tangan, tapi ia tak begitu tinggi, bukan? Sekarang, coba kaudekati."

Berjalan lah pemuda itu melelui semak-semak untuk mendekati mangga itu.

"Nah, sekarang silakan kau bidik dengan panahmu."

Ia begitu nyaman hingga tak menyadari tanah yang ia pijak cukup datar dan ditumbuhi rumput tanah yang empuk. Ia tarik lagi sebujur anak panah pada busurnya. Satu matanya ia tutup dan yang satunya lagi tampak begitu fokus membidik mangga incarannya. "Slaaatttttt!"

Mangga itu terjatuh tepat beberapa langkah di depannya. Anak panahnya menembus ranting dan dedaunan pohon mangga, entah sekarang berlabuh di mana. Lesatannya begitu cepat karena ditembakkan dari posisi yang memungkinkan untuk berdiri dengan seimbang dan kuat. Sasarannya tak ayal terkena tepat di bagian yang diincarnya karena tembakannya diarahkan dari jarak yang lebih dekat dan sudut yang juga tepat.

Dengan wajah girang pemuda itu mengambil mangga yang sudah tergeletak di depannya, lalu ia merayakan keberhasilannya di depan sang kakek.

"Kakeeekkk, aku berhasiiilll!"

Sang kakek pun tertawa menyaksikan lucu tingkah pemuda itu.

"Hahaha! Kemari, mendekatlah, Nak."

Pemuda itu mulai menenangkan diri. Dengan wajah yang masih menyisakan senyuman, ia kini berdiri berdampingan dengan sang kakek.

"Aku hebat, 'kan, Kek?"

"Ya, ya, ya, kamu memang hebat, anak muda. Tapi, ingat, selain terlalu cepat puas, terlalu berbangga diri itu juga sifat yang tak semestinya kita miliki. Karena, itu lah awal lahirnya jiwa-jiwa yang sombong, yang merasa paling segala-galanya, dan akan membuat kita lupa dengan tempat kita berpijak. Jadi, sebaiknya kita tak usah terlalu berbangga diri dengan apa yang kita miliki."

"Kakek luar biasa. Aku sungguh terkesan dengan petuah-petuah Kakek."

"Kakek kan sudah uzur, mungkin tak lama lagi Kakek akan pensiun menjadi penghuni bumi. Jadi, untuk apa ilmu disimpan sendiri. Bukankah jika dibagikan justru akan lebih banyak orang yang kelak sama-sama hidup dalam kebaikan?"

"Betul, Kek. Aku setuju dengan apa yang Kakek sampaikan padaku."

Pagi pun beranjak pergi. Surya sudah mulai terlihat lebih terang cahyanya. Embun-embun yang tadinya melekat di permukaan rerumputan dan dedaunan kini perlahan menghilang.

"Kakek senang kamu bisa memanah, kakek senang kamu mengerti dengan petuah yang kakek sampaikan. Tetapi kakek akan lebih senang lagi apabila kaurenungkan dan kauambil hikmah dari belajar memanahmu tadi. Cermatilah setiap detil caramu memanah, ambil ilmu yang tak tersurat di sana. Mulai dari mengenali kekuatanmu, melihat peluang dan rintangan, merasakan pijakan, hingga jarak terbaik yang semestinya kausadari dampaknya dalam memanah tujuanmu. Sadarilah bahwa ini juga dapat kaupraktikkan untuk membidik apa yang kautuju dalam hidupmu."

"Tolong sampaikan salam dan ucapan terima kasihku pada kedua orang tuamu. Hari sudah semakin siang, rasanya kakek harus segera melanjutkan perjalanan."

Mendengar kata-kata itu dari sang kakek, mata pemuda itu tampak mulai berkaca-kaca.

"Aku tak tahu bagaimana aku harus berterima kasih padamu, Kek."

Tangisnya tumpah seketika. Dengan suara tersendat-sendat, ia menyungkurkan lututnya ke tanah. Ia ucapkan terima kasih dengan begitu tulus pada sang kakek.

"Kau tak perlu berterima kasih sampai seperti itu, Nak. Amalkan saja kebaikan dan ilmu yang kaudapat dari pertemuan singkat kita ini."

Sembari tersenyum, sang kakek pun meninggalkan pemuda itu untuk melanjutkan perjalanannya menuju sebuah padepokan di pesisir pantai di mana ia akan mengabdikan diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun