Mohon tunggu...
Ardiansyah
Ardiansyah Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pendidik

Belajar-Lakukan-Evaluasi-Belajar Lagi-Lakukan Lagi-Evaluasi Kembali, Ulangi Terus sampai tak terasa itu menjadi suatu kewajaran. Mengapa? Karena Berfikir adalah pekerjaan terberat manusia, apakah anda mau mencoba nya? Silahkan mampir ke : lupa-jajan.id

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Senandung Rindu di Langit Senja (Bagian Kedua)

18 Februari 2024   07:00 Diperbarui: 18 Februari 2024   07:07 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Roman. Sumber ilustrasi: pixabay.com/qrzt

(Lanjutan)....

Laras merasakan firasat buruk saat membuka kotak surat di depan rumahnya. Sebuah amplop putih polos tanpa nama pengirim, hanya bertuliskan "Untuk Laras" dengan tinta biru yang terkesan terburu-buru. Rasa penasaran bercampur keraguan menyelimuti hatinya.

Perlahan, dia membuka amplop tersebut. Di dalamnya, terdapat sebuah surat dan foto. Surat itu ditulis dengan tangan yang gemetar, penuh dengan kata-kata yang menyakitkan dan pengakuan yang tak terduga.

Laras terpaku setelah membaca surat tersebut. Air mata membasahi surat di tangannya. Kata-kata Riana bagaikan pisau yang menusuk hatinya, merobek kepercayaan dan persahabatan yang selama ini mereka jaga.

Surat itu bukan hanya tentang pengakuan cinta terlarang Riana dan Bima. Surat itu juga menceritakan ironi yang menyiksa.

Riana, sahabat yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai pernikahan, ternyata telah melahirkan seorang anak tanpa ikatan pernikahan dengan Bima.

Laras, yang pernikahannya dengan Bima diwarnai keraguan dan rasa hampa, kini harus menerima kenyataan pahit bahwa suaminya telah memiliki anak dengan sahabatnya.

Air mata mengalir tanpa henti di pipinya, membasahi surat dan bajunya. Rasa sakit, marah, dan kecewa bercampur aduk menjadi satu, menciptakan badai emosi yang mengamuk di dalam hatinya.

"Bagaimana bisa?" bisiknya lirih, tak percaya dengan kenyataan pahit yang baru saja terungkap.

Bayangan kebahagiaan pernikahannya dengan Bima runtuh seketika. Kenangan indah bersama sahabatnya ternodai oleh pengkhianatan yang tak terduga.

Laras melemparkan surat Riana ke lantai. Kemarahan bercampur dengan rasa sakit memenuhi hatinya. Dia tak menyangka sahabatnya tega menyimpan rahasia sebesar ini. Bagaimana bisa Riana berselingkuh dengan Bima, suaminya sendiri? Dan yang lebih mengejutkan lagi, mereka memiliki anak?

Dengan langkah cepat, Laras menyeberangi jalan menuju rumah Riana. Dia perlu mendengarnya langsung. Saat masuk, Riana menyambutnya dengan mata sembab dan wajah kusut. Tampak jelas rasa bersalahnya, tak berani menatap mata Laras.

"Kenapa kamu lakukan ini?!" Laras langsung meninggikan suaranya, tak sanggup menahan emosi. "Kamu sahabatku! Bagaimana bisa mengkhianatiku seperti ini?"

Air mata Riana jatuh tak terbendung. "Aku... aku tidak bermaksud... aku minta maaf...," lirihnya tersendat.

"Maaf? Maaf saja tidak cukup!" Laras mencengkeram lengan Riana dengan keras. "Kamu telah menghancurkan semuanya, Ri! Persahabatan kita, hidupku!"

Riana tersungkur, sesak di dadanya kian menghimpit. "Aku tahu... aku salah..." tangisnya pecah tak tertahankan.

"Harusnya kamu memikirkan konsekuensinya!" Suara Laras bergetar hebat. "Bukan malah egois mengikuti perasaanmu!"

"Aku... aku khilaf..." Riana berbisik nyaris tak terdengar.

"Lalu bagaimana dengan Bima? Dia juga suamiku! Sahabatmu!" Laras tak percaya ini semua terjadi.

Riana tak membalas. Bibirnya hanya bergetar dalam hening yang menyesakkan.

"Jawab aku, Riana!" Laras menarik paksa sahabatnya agar berdiri, "Bagaimana bisanya kamu tega menyakiti orang-orang yang mencintaimu?"

"Aku mencintainya, Laras! Aku mencintai Bima!" Air mata membasahi wajah Riana saat teriakannya melesat.

Laras seperti tersambar petir. Matanya melebar, kata-kata tercekat di tenggorokan. Ia terhuyung, nyaris jatuh. Riana mencintai Bima? Sejak kapan?

Riana terus menangisi pengakuannya. "Ini salah... tapi aku tak bisa lagi menahannya, Laras."

Dunia Laras runtuh seketika. Bagaimana dengan cintanya sendiri? Lalu tempat Riana, sahabatnya, selama ini di hatinya? Semuanya terasa semu, dikoyak oleh kenyataan yang kejam.

"Aku butuh waktu..." Laras bersuara lemah, seakan kehilangan semua tenaganya. "Aku tidak bisa terima semua ini..."

"Aku mengerti..." Riana meremas jemarinya sendiri, tak kuasa mempertahankan kekuatannya lebih lama.

Laras berpaling, tak sanggup berlama-lama lagi di sana. Tiap detik menjadi siksaan dengan kebenaran yang ia pendengar. Dengan berat hati, dia melangkah pergi, meninggalkan Riana yang masih menangkup wajahnya, menangis dalam penyesalan yang sia-sia.

Pengakuan Riana bagaikan bom waktu yang meledak di hadapannya, meruntuhkan semua keyakinan dan kebahagiaan yang selama ini dia bangun. Kakinya melangkah tanpa tujuan, air mata mengalir tanpa henti di pipinya. Pertanyaan-pertanyaan berhamburan di benaknya, seperti segerombolan lebah yang menyengat hatinya. Kapan Riana mulai mencintai Bima? Sejak kapan mereka berselingkuh? Bagaimana Bima bisa tega menyakitinya seperti ini?

Laras ingin mencari jawaban. Dia ingin tahu semua tentang perselingkuhan itu. Dia ingin tahu apakah Bima masih mencintainya.

Langkah Laras membawanya ke taman kecil di dekat rumahnya. Dia duduk di bangku taman, menatap kosong ke arah air mancur yang menari-nari. Pikirannya melayang, mengenang masa-masa indah bersama Bima.

Kenangan pernikahan mereka yang penuh cinta dan tawa. Janji-janji setia yang mereka ucapkan di hadapan altar. Bayangan kebahagiaan yang mereka impikan bersama.

Semuanya terasa seperti mimpi buruk. Bagaimana bisa Bima, suami yang dia cintai dan sahabatnya yang dia percayai, tega mengkhianatinya seperti ini?

Laras menggenggam erat surat Riana di tangannya. Air matanya kembali mengalir, membasahi surat tersebut. Dia membaca kembali pengakuan Riana, berusaha memahami setiap kata yang tertuang di dalamnya.

Rasa sakit dan amarah berkecamuk di dalam hatinya. Dia ingin menjerit, ingin marah-marah, ingin menghancurkan semua yang ada di sekitarnya.

Namun, dia tahu dia tidak bisa. Dia harus tetap tenang. Dia harus mencari cara untuk menyelesaikan masalah ini.

Laras menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Dia menyeka air matanya dan menatap ke depan. Dia harus kuat. Dia harus mencari jawaban.

Dia bangkit dari bangku taman dan mulai berjalan. Dia tidak tahu ke mana dia akan pergi, tapi dia tahu dia harus terus melangkah. Dia harus mencari jawaban atas semua pertanyaan yang berkecamuk di benaknya.

Ia menghabiskan malam itu dengan berlinang air mata. Pertempuran batin berkecamuk di dalam hatinya. Rasa sakit dan amarah beradu dengan cinta dan kasih sayang. Di satu sisi, dia ingin mencaci maki Bima, menuntut penjelasan atas pengkhianatannya. Di sisi lain, dia masih mencintai Bima, dan tak ingin kehilangannya.

Keesokan paginya, Laras bangun dengan mata sembab dan wajah pucat. Dia menatap Bima yang masih terlelap di sampingnya. Perasaan cinta dan benci bercampur aduk dalam hatinya.

Dia ingin membangunkan Bima, menanyakan tentang perselingkuhannya dengan Riana. Dia ingin tahu semua tentang wanita itu, tentang anak perempuan mereka.

Namun, dia tak berani. Dia takut jawaban Bima akan menghancurkannya sepenuhnya. Dia takut kehilangan Bima, meskipun dia tahu Bima telah mengkhianatinya.

Laras memutuskan untuk diam. Dia memilih untuk menyembunyikan rasa sakitnya, demi mempertahankan pernikahannya. Dia berharap, suatu hari nanti, Bima akan sadar dan kembali mencintainya sepenuh hati.

Hari-hari berikutnya terasa bagaikan mimpi buruk bagi Laras. Dia hidup dalam kebohongan, berpura-pura bahagia di depan Bima. Dia menyembunyikan kesedihannya di balik senyuman palsu.

Setiap kali dia melihat Bima, dia teringat pengakuan Riana. Rasa sakit dan amarah kembali menggerogoti hatinya. Dia ingin menjerit, ingin menangis sejadi-jadinya.

Namun, dia bertahan. Dia terus berpura-pura demi pernikahannya. Dia masih berharap Bima akan kembali padanya, meskipun dia tahu hatinya telah terluka parah.

Suatu hari, Laras tak kuasa lagi menahan rasa sakitnya. Dia menemukan Bima sedang berduaan dengan Riana di sebuah kafe.

Laras tak bisa berkata-kata. Dia hanya bisa berdiri diam, menatap Bima dan Riana dengan mata berkaca-kaca.

Bima panik saat melihat Laras. Dia mencoba menjelaskan, tapi Laras tak ingin mendengarnya.

Laras berlari keluar dari kafe, air mata mengalir tanpa henti. Dia tak tahu ke mana dia harus pergi. Dia hanya ingin melarikan diri dari kenyataan pahit ini.

Laras terduduk di taman kecil, menangis sejadi-jadinya. Hatinya hancur berkeping-keping. Pernikahannya yang dia jaga selama ini telah runtuh.

Dia tak tahu apa yang harus dia lakukan selanjutnya. Dia merasa sendirian, terluka, dan hancur.

Senandung Rindu Berubah Menjadi Jeritan: Akhir yang Penuh Penyesalan (Bagian Akhir)

Tanpa Plot Twist:

Laras masih terduduk di taman kecil, menangis sejadi-jadinya. Hatinya hancur berkeping-keping. Pernikahannya yang dia jaga selama ini telah runtuh.

Dia tak tahu apa yang harus dia lakukan selanjutnya. Dia merasa sendirian, terluka, dan hancur.

Beberapa bulan kemudian, Laras memutuskan untuk menceraikan Bima. Dia masih mencintai Bima, tapi dia tahu pernikahan mereka tidak akan pernah sama lagi.

Perceraian itu terasa pahit bagi Laras. Dia kehilangan cinta, suami, dan sahabatnya sekaligus.

Laras mencoba untuk memulai hidup baru. Dia fokus pada karirnya dan berusaha untuk melupakan Bima.

Namun, itu tidak mudah. Setiap hari, dia dihantui oleh kenangan indah bersama Bima. Dia masih merasakan sakit hati dan pengkhianatan.

Suatu hari, Laras bertemu dengan Bima secara tidak sengaja. Bima terlihat bahagia bersama Riana dan anak perempuan mereka.

Laras merasakan sakit yang menusuk di hatinya. Dia sadar, dia tidak akan pernah bisa melupakan Bima.

Bima merasa menyesal atas apa yang telah dia lakukan. Dia ingin kembali ke Laras, tapi dia tahu itu tidak mungkin.

Laras dan Bima berpisah dengan perasaan yang pahit. Mereka berdua sama-sama terluka dan menyesali apa yang telah terjadi.

(Sekian dan mohon maaf jika banyak hal yang kurang dari cerita ini. Terima kasih telah membaca sampai habis^^) 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun