Laras seperti tersambar petir. Matanya melebar, kata-kata tercekat di tenggorokan. Ia terhuyung, nyaris jatuh. Riana mencintai Bima? Sejak kapan?
Riana terus menangisi pengakuannya. "Ini salah... tapi aku tak bisa lagi menahannya, Laras."
Dunia Laras runtuh seketika. Bagaimana dengan cintanya sendiri? Lalu tempat Riana, sahabatnya, selama ini di hatinya? Semuanya terasa semu, dikoyak oleh kenyataan yang kejam.
"Aku butuh waktu..." Laras bersuara lemah, seakan kehilangan semua tenaganya. "Aku tidak bisa terima semua ini..."
"Aku mengerti..." Riana meremas jemarinya sendiri, tak kuasa mempertahankan kekuatannya lebih lama.
Laras berpaling, tak sanggup berlama-lama lagi di sana. Tiap detik menjadi siksaan dengan kebenaran yang ia pendengar. Dengan berat hati, dia melangkah pergi, meninggalkan Riana yang masih menangkup wajahnya, menangis dalam penyesalan yang sia-sia.
Pengakuan Riana bagaikan bom waktu yang meledak di hadapannya, meruntuhkan semua keyakinan dan kebahagiaan yang selama ini dia bangun. Kakinya melangkah tanpa tujuan, air mata mengalir tanpa henti di pipinya. Pertanyaan-pertanyaan berhamburan di benaknya, seperti segerombolan lebah yang menyengat hatinya. Kapan Riana mulai mencintai Bima? Sejak kapan mereka berselingkuh? Bagaimana Bima bisa tega menyakitinya seperti ini?
Laras ingin mencari jawaban. Dia ingin tahu semua tentang perselingkuhan itu. Dia ingin tahu apakah Bima masih mencintainya.
Langkah Laras membawanya ke taman kecil di dekat rumahnya. Dia duduk di bangku taman, menatap kosong ke arah air mancur yang menari-nari. Pikirannya melayang, mengenang masa-masa indah bersama Bima.
Kenangan pernikahan mereka yang penuh cinta dan tawa. Janji-janji setia yang mereka ucapkan di hadapan altar. Bayangan kebahagiaan yang mereka impikan bersama.
Semuanya terasa seperti mimpi buruk. Bagaimana bisa Bima, suami yang dia cintai dan sahabatnya yang dia percayai, tega mengkhianatinya seperti ini?