Walau secara pribadi, dari kegiatan sosial wokshop seni budaya dan sastra yang dijalankan tersebut, cukup mampu melahirkan segelintir generasi sastra dan penulis baru.
***
Â
Sepertinya pertaruhan idealisme kembali terjadi, pada 1 April 2016, dua halaman yang kuasuh (halaman pentas dan opini yang di dalamnya ada kolom sastra) diambil alih oleh Pemimpin Umum/ Pemimpin Redaksi, otomatis kolom sastra juga dihapus.
Kini SKH Mata Banua, telah memancung sebuah idealisme. Sebagai protes, terhitung 4 April 2016, aku mengajukan surat pengunduran diri sebagai staf redaksi SKH Mata Banua.
***
Â
Aku jadi teringat cerita seorang rekan sastra yang juga berprofesi sebagai wartawan, Sandi Firli. Cukup panjang pula perjuangannya mewujudkan idealisme membangun ruang sastra di Radar Banjarmasin, hingga akhirnya ruang sastra yang sudah berhasil berjalan tiap minggu sebanyak dua halaman, selanjutnya dipangkas oleh pimpinannya  menjadi satu halaman.
Sandi protes, tapi protes hanya menjadi protes yang tidak diindahkan. Sandi pun mengundurkan diri. Selanjutnya Ia sempat menjadi bagian staf redaksi SKH di salah satu media luar Kalsel. Singkat cerita, sebuah SKH baru lahir di Kalsel, Sandi pun bergabung dan kini idealismenya mendapat tempat di SKH Media Kalimantan.
***
Â