Raut wajah Aya seketika berubah. Dia menatap Rafa keheranan. "Lho, Kak Rafa nggak tahu? Sejak kakak pergi dari rumah, ayah juga nggak pernah pulang lagi ... aku sama ibu cuma tinggal berdua selama ini."
Rafa terkesiap. Informasi ini jelas mengejutkannya. Dia tidak pernah tahu, atau lebih tepatnya tak pernah peduli untuk mencari tahu. Rafa pikir hidupnya sudah yang paling menderita. Kabur tanpa arah, hidup terlunta-lunta di jalanan bertahun-tahun. Pindah dari kota satu ke kota lainnya, sebelum akhirnya diselamatkan oleh pasangan lansia baik hati asal Kota Pahlawan yang kemudian merawat Rafa seperti cucu sendiri.Â
Namun kini dia sadar. Ibu dan adiknya telah hidup sama menderita dalam kesepian. Rafa bukannya tidak tahu upaya ibu dalam mencarinya. Rafa malah sempat kucing-kucingan dengan orang-orang suruhan ibu yang berniat memaksanya pulang.
Namun Rafa bergeming. Tetap pada keputusannya mengubur masa lalu dan melupakan segalanya, termasuk orang-orang yang paling dicintainya.Â
"Kak ..."Â
"Ya?"
Aya menatap Rafa dalam-dalam. Sorotnya tenang, namun menuntut. "Sebetulnya ... apa yang terjadi, Kak? Aya masih terlalu kecil saat itu, Aya nggak ingat kenapa kakak pergi, juga ayah. Dan ibu ... sampai nafas terakhirnya tetap menolak memberi tahu Aya apa pun."
Rafa mematung. Pertanyaan Aya seperti membawanya ke ruang sidang di mana ia duduk sebagai pesakitan, menanti diadili.
Aya, wajarlah ibu tak memberi tahu. Asal tahu saja, kakakmu ini adalah manusia paling terkutuk di muka bumi ini. Saat dia mati kelak, neraka pun akan enggan menerima jiwanya ...Â
Namun Rafa menyimpan jawaban itu dalam hati saja. "Bisa antar kakak ke makam ibu sekarang?" dia mengalihkan pembicaraan.
Meski kecewa tak mendapat jawaban, Aya tak sampai hati menolak keinginan Rafa. Â "Bisa. Tapi tunggu sebentar ya, Kak. Aku ambil kerudung dulu ..."