"Uyul Rent.
Menyewakan berbagai jenis tuyul baik lokal maupun impor. Income hingga Rp 75 juta/hari. Sistem bagi hasil tanpa tumbal. Tunggu apalagi? Bergabunglah dengan Uyul Rent : Solusi tepat masalah keuangan Anda!"
Aku ternganga melihat deretan huruf jingga-hitam menyolok yang terpampang di layar ponsel pintarku. Iklan macam apa ini? Bisa-bisanya lolos moderasi di situs jual beli terbesar nusantara. Tak cukup sampai di sana, rating lima bintang dan ulasan bernada positif dari ratusan customer membuat si pengiklan mendapat cap : recomended seller.
Meski tak habis pikir, toh aku menyimpan alamat dan nomor HP itu juga.
Oh. Jangan salah sangka. Aku belum sefrustrasi itu. Tak sedikit pun aku berniat punya urusan dengan alam ghaib, apalagi yang berhubungan dengan uang yang jelas-jelas tidak halal.
Hanya saja, hal ini pasti akan jadi bahan liputan menarik. Mumpung berita diciduknya guru spiritual di Jawa Timur yang konon bisa menggandakan uang itu masih hangat-hangatnya.
***
"Segera dibuka. Kelas kursus kilat NGEPET. Biaya murah, hasil melimpah. Diskon 35% untuk 10 pendaftar pertama. Keterangan lebih lanjut, hubungi customer service kami."
Mati-matian aku menahan gelak kala membaca brosur yang bertumpuk di rak kecil di sudut ruangan tempatku menunggu. Harus kuakui, pemilik Uyul Rent ini begitu cerdas mengemas bisnis menyeramkan yang dulu hanya akrab di kalangan masyarakat kelas bawah dan tak berpendidikan. Memanfaatkan pola pikir sebagian besar masyarakat Indonesia yang senang segala sesuatu yang instan, dia berhasil menjadikan Uyul Rent sesuatu yang kekinian.
Lihatlah. Alih-alih ruangan gelap, sempit, dan berbau kemenyan ala dukun profesional, ruang tunggu ini justru lebih mirip ruang tunggu klinik dokter gigi langgananku. Berada di sebuah ruko berlantai tiga di ruas jalan strategis, ruangan ini tampak luas, rapi, kinclong, dan keempat dindingnya menguarkan wangi lemon segar.
Hanya tinggal tiga antrean lagi. Selanjutnya giliranku.
***
Dengan nada bicara bak sales asuransi, Audy, perempuan muda berambut pirang itu fasih menjelaskan jenis-jenis tuyul yang mereka sewakan.
"Saat ini, tuyul impor asal Mesir yang lagi naik daun, Mbak. Kemampuannya membawa pulang logam dan batu mulia lebih memuaskan customer ketimbang tuyul lokal kita yang spesialisasinya uang. Trennya memang bergeser ke barang dan perhiasan, karena makin sedikit masyarakat kita yang megang uang cash..."
Terus terang, aku hanya separuh mendengarkan. Siapa juga yang tertarik memelihara tuyul? Konyol dan tak masuk akal. Aku justru lebih tertarik dengan dengan botol-botol aneka bentuk dan warna yang terpajang apik di etalase dan rak-rak tinggi yang mengelilingi dinding. Masing-masing botol ditempeli label mirip kemasan obat.
Mendadak, mataku tertuju pada sebuah botol sewarna tomat yang bentuknya mirip labu erlenmeyer. Tak seperti ratusan botol yang lain yang tersusun berdampingan, botol yang satu itu tampak terasing di dekat printer. Entah mengapa, kala menatapnya, aku mendadak gelisah.
"Oh..., itu Bolu," kata Audy yang mengikuti pandanganku yang nanar.
"Bolu?" aku mengerjap, bingung.
"Bolu. Bocah lucu. Tuyul lokal, Mbak. Sudah lama ga kami sewakan lagi..."
"Kenapa?" tanyaku ingin tahu.
"Servis-nya mengecewakan, Mbak. Suka salah ngambil uang. Terlalu emosional juga, jadi customer pada komplain..."
Aku manggut-manggut, meski tak sanggup mengalihkan tatapan dari botol yang sepertinya kosong itu.
"Sebetulnya sudah pengen saya buang, Mbak. Ngerepotin sih. Cuma nggak tahu, Boss saya sayang banget sama dia."
"Saya sewa Bolu aja kalau gitu, Mbak..."
Entah apa yang kupikirkan. Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirku. Aku bahkan tak peduli lagi dengan logika dan kewarasan.
Apa yang terjadi padaku?
Entahlah. Rasanya seperti ada sebuah kekuatan maha dahsyat yang memaksaku memelihara Bolu. Sesosok lelembut yang bahkan belum kuketahui bagaimana wujudnya.
***
Begitu kontrak gaib ditandatangani, dan mataku sudah dioles ramuan pekat berbau tajam, bayang Bolu akhirnya tertangkap retinaku.
Bolu. Apanya yang Bocah Lucu? Batinku tertipu.
Dilihat dari sudut manapun, tuyul berwujud anak kecil yang hanya punya tinggi beberapa puluh centimeter saja ini benar-benar menyeramkan. Dia berlendir seperti telur katak, telinganya bergerigi, matanya merah menyala, dan..., ada tanduk sebesar jempol bayi mencuat runcing di dahinya.
Meski begitu, aku tak menyesal telah mengadopsinya. Pernah kudengar, setiap tuyul tercipta dari janin-janin yang digugurkan oleh orang tuanya. Mereka hanyalah makhluk kecil tak bersalah, yang pastinya merindukan kasih sayang seorang ibu.
***
Memelihara tuyul rupanya seru juga. Apalagi, Bolu rupanya berbeda dengan tuyul-tuyul pada umumnya. Dia nyaris tak pernah meletakkan uang di kotak kayu yang khusus disiapkan untuk menampung hasil setoran.
Pada hari ketiga, dia meletakkan tiga lembar struk belanja.
Hari kelima, dia membawa pulang kartu BPJS dan STNK motor. (Sudah kukembalikan pada pemiliknya).
Hari keenam, giliran potongan tiket parkir sebuah pusat perbelanjaan yang teronggok di dasar kotak.
Sekali-kalinya dia menaruh uang, itu pada hari kedelapan. Uang lima ratusan kertas hijau bergambar orang utan sebanyak dua belas lembar.
Namun..., keanehan mulai terjadi tepat di hari ke-tiga belas. Bolu menaruh kepala ayam penuh belatung di dalam kotak. Aku bergidik. Bau anyirnya membuatku tak selera makan berhari-hari.
Bolu belum berhenti.
Tiga hari selanjutnya, berturut-turut ia memasukkan bangkai tikus, isi perut ikan, dan sesuatu yang tampaknya seperti (mungkinkah ini?) ari-ari bayi baru lahir.
Seolah ingin melengkapi kengerian, aku terus dihantui mimpi buruk. Dalam mimpiku, Bolu menangis, dan berkata tak ingin pergi dariku. Dia ingin aku jadi ibunya. Selamanya.
***
Aku kembali ke Uyul Rent. Sepuluh hari lebih cepat dari kontrak pengembalian. Ini satu-satunya cara mengembalikan kewarasanku. Aku sudah tak tahan dengan semua teror yang ditimbulkan Bolu.
"Maaf, Mbak," kata Audy. "Tapi sesuai prosedur, Bolu hanya bisa dikembalikan jika sudah --"
"SAYA GA PEDULI!" teriakku, disusul umpatan yang akan membuat isi kebun binatang berdemo. Aku sadar semua terjadi akibat salahku sendiri. Tak ada yang memaksaku menyewa tuyul sejak semula.
Tapi apa daya? Inilah batas akhir pertahananku. Emosiku memuncak. Kemarahanku meledak. Entah untuk berapa lama.
Mendadak, pintu di belakangku menjeblak terbuka. Tatapan Audy langsung beralih pada sosok di balik punggungku.
"Eh, Boss Arya," ucapnya gugup.
"Ada apa ini? Kenapa teriak-teriak?"Â
Aku seperti tersiram air es. Aku bahkan lupa segala hal yang membawaku ke sini demi mendengar suara bariton itu. Buru-buru aku berbalik, dan mendapati wajah yang sama terkejutnya ada di sana.
Wajah pimpinan Uyul Rent, yang ternyata mantan pacarku. Dulu sebelum pergi, dia sempat memaksaku aborsi.
#####
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H