"Saya sewa Bolu aja kalau gitu, Mbak..."
Entah apa yang kupikirkan. Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirku. Aku bahkan tak peduli lagi dengan logika dan kewarasan.
Apa yang terjadi padaku?
Entahlah. Rasanya seperti ada sebuah kekuatan maha dahsyat yang memaksaku memelihara Bolu. Sesosok lelembut yang bahkan belum kuketahui bagaimana wujudnya.
***
Begitu kontrak gaib ditandatangani, dan mataku sudah dioles ramuan pekat berbau tajam, bayang Bolu akhirnya tertangkap retinaku.
Bolu. Apanya yang Bocah Lucu? Batinku tertipu.
Dilihat dari sudut manapun, tuyul berwujud anak kecil yang hanya punya tinggi beberapa puluh centimeter saja ini benar-benar menyeramkan. Dia berlendir seperti telur katak, telinganya bergerigi, matanya merah menyala, dan..., ada tanduk sebesar jempol bayi mencuat runcing di dahinya.
Meski begitu, aku tak menyesal telah mengadopsinya. Pernah kudengar, setiap tuyul tercipta dari janin-janin yang digugurkan oleh orang tuanya. Mereka hanyalah makhluk kecil tak bersalah, yang pastinya merindukan kasih sayang seorang ibu.
***
Memelihara tuyul rupanya seru juga. Apalagi, Bolu rupanya berbeda dengan tuyul-tuyul pada umumnya. Dia nyaris tak pernah meletakkan uang di kotak kayu yang khusus disiapkan untuk menampung hasil setoran.
Pada hari ketiga, dia meletakkan tiga lembar struk belanja.