"Maafkan aku, Wayan..."
Suara serak Surya memutus lintasan memori yang sekelebat tadi mampir di benak Wayan. "Maaf?"
"Ya. Maaf. Aku sungguh minta maaf, untuk merasa sangat mencintaimu, namun tidak pernah membawa kebaikan bagi dirimu. Juga hidupmu..."
"Bicara apa kau, Mas? Tidakkah kau melihat..., aku bahagia. Aku bahagia bersama matahariku. Selalu."
Surya memejamkan mata. Dia tahu Wayan tak berdusta. Karena dia pun merasa hal yang sama. Tak peduli dosa dan kutukan mengikatnya seumur hidup, bahkan mengikutinya sampai ke alam baka... Surya bahagia. Tak ada yang mampu mengubahnya.
"Wayan..."
"Ya?"
"Bantu aku berdiri. Aku ingin melihat matahari terbit."
Wayan memapah suaminya. Tak terlalu sulit. Tubuh yang bertahun merapuh oleh kanker itu seperti tak berbobot.
Wayan mendudukkan Surya di kursi teras, tempat favoritnya memandang matahari terbit.
"Gerimis...," desah Surya. "Matahari terbit paling indah dilihat justru saat gerimis. Kilaunya akan tampak seperti tirai air mata malaikat... Membawaku yakin, bahwa impian paling mustahil pun bisa terwujud. Pasti..."