Surya tergelak. Dia pandangi wajah perempuan itu dalam-dalam. Perempuan itu kadang memang tampak tak punya hati. Tapi puluhan tahun mengenalnya, Surya tahu, justru hati penuh ketenangan dan kedamaianlah yang dimiliki Wayan. Hati cantik yang demikian bersih tanpa prasangka, hati yang percaya bahwa selalu ada kebaikan dalam setiap detik kehidupan dari Sang Pencipta.
"Tak perlu repot membawa abuku kemana-mana, Wayan," kata Surya. "Buang saja di selokan belakang rumah kita itu. Toh nanti sampai juga ke laut...
"Semakin lama aku sampai ke samudera, maka semakin banyak pula jiwa-jiwa tersesat yang bisa kutemui. Mungkin salah satu kodok atau kecoak itu bisa menyampaikan berjuta permohonan maafku pada ibu-bapakmu."
***
Mata itu. Wayan sewaktu gadis baru pertama kali melihat mata yang demikian indah. Bukannya bulat membesar, mata itu justru sipit memanjang. Terlihat begitu serius menatap bentangan kanvas persegi di depannya. Sesekali fokus mata itu beralih di pemandangan di depannya, Pura megah dengan latar belakang matahari terbit yang indah.
Sejak hari itu, diam-diam Wayan sering mengintipnya. Ekspresi pemuda itu saat melukis sungguh laksana candu. Memabukkan dan membuat Wayan ingin melihatnya lagi, dan lagi.
Hingga akhirnya, pemuda itu menyatakan cinta di hari ke-sepuluh Wayan mengintipnya. Gadis belia itu mendadak kehilangan akal sehatnya. Tak lagi dia indahkan aturan kasta dan kehormatan keluarga, Wayan memilih mataharinya sendiri.
Hari itu, tanah basah oleh hujan awal September. Penduduk kampung geger. Wayan, yang kala itu masih bernama Ida Ayu Utami Narayani, dikabarkan kawin lari. Putri sulung Pemangku terhormat itu kabur dengan pemuda yang bukan hanya tak punya kasta dan tak jelas asal usulnya, namun juga tak waras. Dia pemuda yang tak pernah mau melukis jika bukan matahari sebagai objeknya.
Â
***
Â