"Namaku Surya. Surya Matahari Khatulistiwa. Ibuku yang gila itu pemuja Amaterasu*). Dia melahirkan satu kali. Tepat ketika matahari melintas di garis khatulistiwa, 22 September, hampir setengah abad yang lalu..."
Suara berat Surya yang agak serak itu memecah keheningan subuh. Dia duduk setengah berbaring di ranjang yang kayunya mulai keropos dimakan rayap. Ranjang itu berderit ketika tangannya bergerak meraih cangkir di meja kecil di sisi ranjang.
"Dan beliau mewariskan kegilaannya itu pada putra semata wayangnya," sahut Wayan dengan nada setengah geli. Wanita 40 tahun itu duduk di dekat kaki Surya, mengoles minyak kelapa di betis penuh rambut itu, lalu mengurutnya lembut. "Kalau-kalau kau lupa, Mas. Lebih dari separuh hidupmu sudah kauhabiskan untuk berburu matahari terbit. Dan kemudian mengurungnya dalam kanvas."
Surya tersenyum. Senyum hangat yang mencapai kedua matanya yang keriput. "Jam berapa ini?"
"Masih satu jam lagi sebelum fajar. Kenapa?"
"Aku sekarat..."
Wayan terdiam. Pijatannya terhenti beberapa saat. Dia menaksir kesungguhan makna kalimat itu.
"Aku sekarat, Wayan," ulang Surya, terdengar lebih sungguh-sungguh ketika istrinya itu tak segera merespon ucapannya.
Wayan mengerjap. Dua kali. Dihelanya nafas panjang, lalu tersenyum. Dia kembali memijat kaki suaminya. "Aku tahu."
"Kau tahu?"
Wayan mengangguk meyakinkan. "Jadi, apa kau sudah memutuskan abumu akan disebar di mana? Atau kau ingin jasadmu ditanam saja, sehingga ada kalimat indah tertulis abadi di batu nisanmu kelak?"