“Iya sih, Pak. Tapi saya beneran nggak tega kalau lihat perempuan begitu, keingetan Almarhumah Ibu saya terus, Pak,” kata Ezra.
Tukang ojek itu mengangguk maklum. Dia kembali konsentrasi menyetir. Hanya tinggal satu perempatan lagi, lalu belok kiri, maka akan sampai ke kampus tujuan.
***
Ezra berlari-lari kecil menuju kelasnya di lantai empat . Perjuangan ekstra, karena satu-satunya lift yang ada sedang dalam perbaikan. Dia kembali melirik pergelangan tangannya. Hanya tinggal lima menit lagi sebelum kuis dimulai.
BRUKKK!!!!!!
Ezra menabrak seseorang ketika berbelok di koridor terakhir. Dia tersungkur di ubin. Beruntung tidak ada barang yang dipegangnya. Padahal biasanya iPad kesayangan tak pernah lepas dari genggaman. Pasti langsung almarhum jika terbanting dengan benturan sekeras itu.
“Kamu tidak apa-apa, Ezra?” laki-laki yang menabrak ,-bukan-, yang ditabrak Ezra mengulurkan tangannya.
“Eh, iya anu, ng...nggak papa,” Ezra menjawab gugup. Matanya langsung terbelalak begitu tahu siapa yang ditabraknya. “Ma...maaf, Pak Re!”
“Tidak apa-apa. Ayo cepat, masuk kelas. Kalau kuis hari ini sampai terlambat, itu kesalahan kamu!”
Ezra tak menjawab. Hanya wajahnya yang terlihat semakin memerah kini. Dia mengekor di belakang Pak Revangga, dosen favorit pengampu mata kuliah ekonomi internasionalnya.
“Selamat pagi, semua!” kata Revangga begitu memasuki ruangan tepat pukul delapan pagi.