Film ini berhasil menggambarkan jiwa seorang pemimpin yang tulus, bijaksana, dan memegang teguh prinsipnya. Pantaslah film "Gandhi" berhasil melekat di hati penonton (setidaknya di hati penulis hihihi), dan diakui sebagai salah satu film biopik terbaik dalam sejarah perfilman, di era kala itu (1982).
The Last Emperor (1987)
Lanjut ke film biopik kedua, ya Mbak-MasBrow Kompasiana!
Adapun "The Last Emperor" adalah film biopik epik yang dirilis pada tahun 1987, disutradarai oleh Bernardo Bertolucci. Penulis menonton film biopik ini ketika ditayangkan di sebuah Gedung bioskop Mataram Theater di Yogyakarta, pada tahun yang sama (1987), kalau tidak salah ingat..hihihi.
Film ini mengisahkan kehidupan Puyi, kaisar terakhir Dinasti Qing dan terakhir dari tradisi kaisar berkuasa mutlak di China.
Film dimulai dengan Puyi, seorang anak kecil berusia tiga tahun, saat dia dipilih oleh para pejabat Manchu dan bangsawan untuk menjadi Kaisar Tiongkok, China.
Puyi diangkat menjadi Kaisar Qing pada tahun 1908 dan menjadi Kaisar terakhir, namun kekuasaannya hanyalah simbolik (Kaisar Boneka), karena negara itu telah berada di bawah kendali perwakilan Republik Tiongkok. Puyi hidup dalam "penjara sangkar emas" di Kota Terlarang, yang merupakan kompleks istana terlarang, populer disebut "Forbidden City"di Beijing.
Tonggak Peristiwa Dramatis:
Adegan awal film menunjukkan kroni-kroni di istana yang memilih Puyi sebagai Kaisar kecil yang baru. Pemandangan indah dan spektakuler dari upacara penobatan yang megah, memberi gambaran kebesaran dan kemegahan Dinasti Qing.
Penonton disajikan gambaran detail mengenai tata cara dan ritus upacara penobatan kaisar, termasuk pemakaian kostum tradisional, mahkota, dan perlengkapan istana. Seluruh kerajaan dan para pejabat tampak memberikan penghormatan kepada Puyi.
Adegan ini berhasil menciptakan suasana yang sangat kuat (keren menewen), menampilkan perasaan campuran antara haru, kekhidmatan, dan ketakutan di wajah Puyi. Sebagai seorang anak kecil, Puyi harus menghadapi beratnya beban menjadi kaisar dengan segala tanggung jawabnya.
Adegan ini mencerminkan kontras antara keanggunan upacara istana dengan beban emosional yang harus dipikul oleh seorang anak kecil yang diangkat menjadi pemimpin atau seorang Kaisar.
Peristiwa dramatis berikutnya, Revolusi Xinhai pada tahun 1911 yang menggulingkan Dinasti Qing. Puyi, setara usia anak TK, dipaksa turun takhta dan mengakhiri pemerintahannya.
Di sini, dia mengalami perubahan dari kehidupan serba mewah sebagai kaisar, berubah drastic sebagai tahanan politik. (nyesek beneran, kasihan melihat adegan nasib anak sekecil Puyi sedemikian itu).