Gandhi dan Kaisar Puyi - Tokoh Film Biopik Apik Menarik, Melekat di Hati
Dua film biopik yang menurut penulis keren menewen atau apik menarik, bahkan serasa melekat di hati penulis hingga kini adalah film "Gandhi" dan "The Last Emperor". Jika kamu Mbak-MasBrow Kompasiana belum sempat menontonnya, tontonlah. Penulis merekomendasi dua film lawas ini.Â
Kedua film biopik ini mengangkat kisah biografi kehidupan Mahatma Gandhi (1869-1948), tokoh terkemuka di India, dan kisah biografi kehidupan Puyi (1906-1967) kaisar terakhir di China.
Mengapa kedua film biopik ini menarik? Mari penulis ajak menelusur sekilas daya tarik kedua film biopik yang penuh kisah dramatik ini.
Oiya, kita sepakat dulu ya Mbak-Masbrow Sahabat Kompasiana, apa itu film biopik? Film biopik, disebut sebagai film biografi, atau biografi sinematik, yaitu jenis film yang menggambarkan kehidupan seseorang yang nyata, biasanya seorang tokoh terkenal atau pribadi yang berpengaruh dalam sejarah. Istilah "biopik" merupakan singkatan dari "biographical picture." Oke Mbak-Masbrow? Lanjut pakde...
Gandhi (1982)
Film "Gandhi", masterpiece karya sutradara Richard Attenborough, dirilis pada tahun 1982. Penulis menonton "Gandhi" di sebuah Gedung bioskop di seberang alun alun kota Magelang, nun di kala itu.
Film biopik ini mengisahkan perjalanan hidup Mahatma Gandhi, tokoh penting dalam sejarah India. Sosok Gandhi diperankan secara keren menewen oleh aktor terkenal, Sir Ben Kingsley.
"Gandhi" menampilkan perjuangan seorang Gandhi dalam memimpin gerakan perlawanan tanpa kekerasan yang populer disebut "Ahimsa", melawan penjajahan Inggris di India, dan berhasil.
India merdeka 15 Agustus 1947, dan lepas dari jajahan Inggris yang menjajah India selama 190 tahun. (Betah juga nih menjajahnya. Bandingkan Belanda menjajah Indonesia, 350 tahun. Ampunn kumpeni!).
Tonggak Tonggak Dramatik
Film dimulai dengan Gandhi, pemuda yang pemalu di Afrika Selatan. Sebagai orang India Gandhi mengalami diskriminasi rasial "Apartheid" (sistem pemisahan ras)Â Afrika Selatan. Adegan dramatis terjadi ketika dia dipaksa untuk naik kereta di kabin bagian belakang hanya karena dia seorang India, bukan kulit putih.
Lalu Gandhi pulang ke India dan terlibat dalam perjuangan melawan hukum yang merugikan masyarakat India, khususnya Undang-Undang Garam yang diberlakukan oleh penguasa kolonial Inggris di India.
Gandhi memimpin kampanye Satyagraha, yaitu gerakan perlawanan non-kekerasan yang menentang monopoli garam oleh kolonial Inggris. Adegan dramatis terjadi ketika Gandhi dan para pengikutnya berjalan puluhan kilometer untuk mengumpulkan garam dari laut, mengabaikan larangan penguasa Inggris.
Tonggak dramatis selanjutnya, yaitu peristiwa pembantaian Amritsar, di mana pasukan Inggris menembaki kerumunan massa yang berunjuk rasa. Adegan Pembantaian Amritsar, dikenal dengan sebutan "Jallianwala Bagh Massacre."
Adegan ini menggambarkan kejadian nyata pada 13 April 1919 di Amritsar, Punjab, India, di bawah pemerintahan Inggris. Kala itu, ribuan warga India berkumpul di area terbuka yang dikenal sebagai Jallianwala Bagh untuk berdemonstrasi secara damai menentang undang-undang kekerasan di India dan menuntut kemerdekaan.
Dalam adegan ini, sekonyong konyong pasukan Inggris di bawah komando Kolonel Reginald Dyer datang dan mengepung Jallianwala Bagh. Dengan dingin dan tanpa ampun, pasukan Inggris menembaki kerumunan orang yang tak berdaya. (pada adegan ini, penulis menutup mata. Tak tega melihatnya).
Adegan ini sangat memilukan karena menunjukkan bagaimana para pengunjuk rasa, termasuk wanita dan anak-anak, ditembaki dengan peluru tajam tanpa peringatan, sementara jalan-jalan keluar sudah diblokir. Sedikitnya seribu orang warga sipil tewas dalam peristiwa memilukan itu.
Peristiwa ini menjadi momen penting yang mendorong Gandhi untuk memperjuangkan kemerdekaan India dengan metode "Aksi tanpa kekerasan". Gandhi memimpin aksi "Boikot Garam Nasional" yang lebih besar. Dan Aksi ini akhirnya membuahkan hasil. India merdeka dari jajahan Inggris pada 15 Agustus 1947.
Ketika India mencapai kemerdekaannya, perpecahan muncul antara umat beragama. Adegan dramatis di film adalah ketika Gandhi melakukan puasa untuk menyuarakan perdamaian dan persatuan, dengan harapan untuk menghentikan kekerasan.
Upaya damai Gandhi untuk menyatukan India, gagal. Dia tewas dibunuh oleh seorang ekstrimis agama tertentu di India, nun di kala itu. Dan seluruh India pun berduka atas berpulangnya Mahatma Gandhi, pada 30 Januari 1948.
Gerakan Perdamaian, Aksi Tanpa-Kekerasan
Film "Gandhi" berhasil menghadirkan adegan-adegan dramatis ini dengan kuat, menggambarkan perjuangan, pengorbanan, dan tekad seorang pemimpin karismatik India yang hebat dalam mencapai tujuan mulianya untuk mencapai kemerdekaan India dan memperjuangkan perdamaian melalui prinsip gerakan perdamaian, aksi tanpa-kekerasan.
Salah satu ucapan terkenal Mahatma Gandhi adalah: "An eye for an eye only ends up making  the whole world blind." - (Mata ganti mata hanya akan membuat seluruh dunia buta.) Ia menekankan bahwa balas dendam dan kekerasan hanya akan mengakibatkan lebih banyak penderitaan dan tidak akan menghasilkan solusi berkelanjutan.
Gandhi sangat mendukung pendekatan non-kekerasan (Ahimsa) sebagai cara terbaik untuk mengatasi masalah dan mencapai perdamaian India dan menginspirasi dunia.
Film Biopik Terbaik
Film ini berhasil menggambarkan jiwa seorang pemimpin yang tulus, bijaksana, dan memegang teguh prinsipnya. Pantaslah film "Gandhi" berhasil melekat di hati penonton (setidaknya di hati penulis hihihi), dan diakui sebagai salah satu film biopik terbaik dalam sejarah perfilman, di era kala itu (1982).
The Last Emperor (1987)
Lanjut ke film biopik kedua, ya Mbak-MasBrow Kompasiana!
Adapun "The Last Emperor" adalah film biopik epik yang dirilis pada tahun 1987, disutradarai oleh Bernardo Bertolucci. Penulis menonton film biopik ini ketika ditayangkan di sebuah Gedung bioskop Mataram Theater di Yogyakarta, pada tahun yang sama (1987), kalau tidak salah ingat..hihihi.
Film ini mengisahkan kehidupan Puyi, kaisar terakhir Dinasti Qing dan terakhir dari tradisi kaisar berkuasa mutlak di China.
Film dimulai dengan Puyi, seorang anak kecil berusia tiga tahun, saat dia dipilih oleh para pejabat Manchu dan bangsawan untuk menjadi Kaisar Tiongkok, China.
Puyi diangkat menjadi Kaisar Qing pada tahun 1908 dan menjadi Kaisar terakhir, namun kekuasaannya hanyalah simbolik (Kaisar Boneka), karena negara itu telah berada di bawah kendali perwakilan Republik Tiongkok. Puyi hidup dalam "penjara sangkar emas" di Kota Terlarang, yang merupakan kompleks istana terlarang, populer disebut "Forbidden City"di Beijing.
Tonggak Peristiwa Dramatis:
Adegan awal film menunjukkan kroni-kroni di istana yang memilih Puyi sebagai Kaisar kecil yang baru. Pemandangan indah dan spektakuler dari upacara penobatan yang megah, memberi gambaran kebesaran dan kemegahan Dinasti Qing.
Penonton disajikan gambaran detail mengenai tata cara dan ritus upacara penobatan kaisar, termasuk pemakaian kostum tradisional, mahkota, dan perlengkapan istana. Seluruh kerajaan dan para pejabat tampak memberikan penghormatan kepada Puyi.
Adegan ini berhasil menciptakan suasana yang sangat kuat (keren menewen), menampilkan perasaan campuran antara haru, kekhidmatan, dan ketakutan di wajah Puyi. Sebagai seorang anak kecil, Puyi harus menghadapi beratnya beban menjadi kaisar dengan segala tanggung jawabnya.
Adegan ini mencerminkan kontras antara keanggunan upacara istana dengan beban emosional yang harus dipikul oleh seorang anak kecil yang diangkat menjadi pemimpin atau seorang Kaisar.
Peristiwa dramatis berikutnya, Revolusi Xinhai pada tahun 1911 yang menggulingkan Dinasti Qing. Puyi, setara usia anak TK, dipaksa turun takhta dan mengakhiri pemerintahannya.
Di sini, dia mengalami perubahan dari kehidupan serba mewah sebagai kaisar, berubah drastic sebagai tahanan politik. (nyesek beneran, kasihan melihat adegan nasib anak sekecil Puyi sedemikian itu).
Adegan dramatis lainnya adalah saat kehidupan Puyi di "Forbidden City", Kota Terlarang. Film menampilkan isolasi dan kesepian Puyi sebagai kaisar terakhir, terpisah dari dunia luar "Kota Terlarang", dan hanya dikelilingi oleh para pelayan dan penjaga yang setia.
Ini menunjukkan penderitaan batin dan psikologis sebagai tahanan politik dalam "tahkta sangkar emas". Puyi mengalami pergolakan batin yang dalam, ia mencoba mencari makna dalam hidupnya yang serba terbatas.
Lalu adegan invasi Jepang ke Tiongkok pada tahun 1930. Pemuda Puyi (25 tahun) dipaksa untuk berkolaborasi dengan Jepang sebagai Kaisar boneka dalam negara Manchukuo yang didirikan Jepang. Adegan ini menunjukkan konflik batin Puyi antara kesetiaannya kepada Jepang dan bangsa Tiongkok.
Setelah Perang Dunia II, Tentara Merah Uni Soviet pun merebut Manchukuo dan menangkap Puyi. Puyi kemudian diadili oleh penguasa komunis Tiongkok karena kerjasamanya dengan Jepang. Dia sang kaisar terakhir itu, akhirnya dihukum dan diasingkan ke penjara selama beberapa tahun.
Pada akhir film, Puyi dibebaskan dari penjara dan dikirim kembali ke Tiongkok daratan. Di sinilah dia menyaksikan transformasi besar-besaran yang dialami Tiongkok setelah revolusi komunis. Adegan ini menunjukkan kesendirian dan kebingungan Puyi, saat dia mencoba beradaptasi dengan perubahan dramatis dalam sistem tata negaranya. Puyi tak dianggap sebagai kaisar lagi. Dia diperlakukan sebagai rakyat jelata.
"The Last Emperor" adalah film yang menawan dan mengeksplorasi liku-liku kehidupan Kaisar Puyi yang penuh emosi, dari posisi tertinggi sebagai kaisar, tahanan politik, masuk bui, sampai menjadi rakyat jelata, akibat perubahan sosial politik yang drastis di China.
Sembilan Penghargaan Sebagai Film Biopik
"The Last Emperor" menjadi istimewa karena berhasil memadukan keindahan sinematografi dan narasi yang kuat dengan latar sejarah yang menarik.
Film ini berhasil meraih sembilan Penghargaan Oscar, termasuk "Best Picture," dan "Best Director," serta menyentuh hati penonton dengan narasi yang mendalam tentang kesendirian, kesepian, kehilangan, dan disorientasi identitas diri.
"The Last Emperor" secara keseluruhan menawarkan pengalaman sinematik yang mengesankan dan menyentuh hati. Mengikuti film ini sampai akhir, ada kalanya penulis merasa nyesek, rasa pilu atau entah apa, ketika menyaksikan "derita apalagi yang terus dialami Puyi?".
Impresi Penonton
Emosi mendalam karakter Puyi:Â Perjalanan hidup Puyi yang kompleks dan penuh perubahan akan menyentuh hati penonton. Mereka akan merasa simpati terhadap perasaan kesendirian dan kehilangan yang dialami oleh Puyi di tengah perubahan sosial dan politik yang terjadi di Cina.
Refleksi tentang kekuasaan dan tanggung jawab: Film ini menggambarkan bagaimana kekuasaan bisa berdampak pada kehidupan seseorang dan masyarakat secara keseluruhan. Penonton akan merenungkan tentang tanggung jawab yang melekat pada posisi kepemimpinan dan dampaknya terhadap kehidupan orang lain.
Penghargaan terhadap warisan budaya: Film ini juga menggarisbawahi pentingnya melestarikan dan menghargai warisan budaya suatu bangsa. Penonton akan merasa lebih menghargai kekayaan budaya China dan pentingnya mempertahankan tradisi dan nilai-nilai tersebut. setidaknya itu menurut perspektif penulis, setelah menonton film ini.Â
Ucapan Inspiratif
Salah satu kalimat paling populer di film ini adalah: "I'm the emperor, but I'm not a real man."- ("Aku adalah seorang kaisar, tetapi aku bukan manusia sempurna sejati.")
Kalimat ini diucapkan oleh Puyi, sang kaisar terakhir China, saat ia merenungkan posisinya yang tinggi dan berkuasa, namun merasa kehilangan esensi kemanusiaan sejati dalam kehidupannya.
Puyi merasa terisolasi dan kesepian di istananya yang mewah, terpencil dari kehidupan nyata di luar dinding istana, yang penuh hirup pikuk kehidupan nyata dunia.
Pesan dari kalimat ini sangat kuat, mengingatkan kita bahwa kekuasaan dan materi tidaklah cukup untuk mencapai kebahagiaan dan arti sejati dalam hidup seseorang.
Puyi menyadari bahwa menjadi manusia sejati melibatkan lebih dari sekadar posisi atau status sosial, tetapi juga melibatkan empati, relasi dengan orang lain, dan pengalaman hidup yang bermakna.
"I'm the emperor, but I'm not a real man"Â menjadi salah satu kutipan yang menonjol dari film "The Last Emperor"Â dan menjadi cerminan mengenai pentingnya menjalani kehidupan dengan bermakna, penuh empati, dan mencari arti sejati dari keberadaan kita sebagai manusia. (mendalem refleksinya. iya nggak sih. Hihihi).
Mengakhiri Ulasan
Menyudahi ulasan ini, seusai menonton film biopik "Gandhi" dan "The Last Emperor,"Â kita sebagai penonton, setidaknya menurut penulis, mungkin akan merasa terinspirasi, terpesona, dan lebih sadar tentang pentingnya nilai nilai universal, terutama tentang: perdamaian, keadilan, dan keberagaman budaya, empati sosial, dan penghargaan atas kemanusiaan, dalam dunia yang terus berubah ini. Begitulah kura kura... Sudah ya, bye bye..
Selesai * penulis penggemar film layar lebarÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H