Lelap dalam Gulita Malam (#18)
Di pagi pagi buta, beberapa orang dalam rombongan kecil memacu kuda mereka dengan kencang meninggalkan kawasan Selo Merbabu. Mereka bergerak menuju Mangir. Orang-orang berkuda itu antara lain Pulanggeni pimpinan gerombolan Nogo Kemuning, Margopati kepala Telik Sandi pasukan Bayangan Hitam, Ki Argoseto ahli peracik racun dan gendam, Arya Jalu kepala divisi pasukan Bayangan Hitam, dan Ki Pamungkas kepala divisi Telik Sandi Mataram.Â
Seperti pepatah "Tumbu oleh tutup", keinginan Pulanggeni untuk menagih janji pada Baruklinting ternyata telah memperoleh sebuah jawaban. Melalui suatu wisik telepati tingkat tinggi pada tengah malam sebelumnya, Baruklinting telah mengirimkan suatu pesan pada Pulanggeni untuk hadir di Mangir. Sebab Baruklinting melalui pesan itu bermaksud segera melunasi janjinya untuk memberi tempat pada Pulanggeni dan kelompoknya untuk tinggal di suatu wilayah di Mangir. Pola komunikasi di luar nalar itu sulit dimengerti oleh orang kebanyakan, tetapi hal itu mudah dilakukan oleh kedua orang berilmu tinggi itu.Â
Di sisi lain, di suatu tempat yang disembunyikan di sebuah pendopo bernama Ndalem Koretan, milik Demang Darismanta di pademangan pesisir Laut Selatan, Baruklinting telah menunggu kedatangan rombongan kecil berkuda dari Selo Merbabu itu.Â
Ndalem Koretan, Pademangan pesisir Laut Selatan
Matahari telah selesai meninggi dan senja baru saja akan menjelang di tempat itu. Ndalem Koretan adalah tempat tersembunyi yang biasa dipakai oleh Baruklinting untuk suatu pertemuan rahasia bersama orang-orangnya, terutama untuk membicarakan suatu hal rahasia. Tidak banyak orang tahu tentang keberadaan tempat milik Demang Darismanta di Pademangan pesisir Laut Selatan itu. Sebab tempat itu berada di antara gerumbul pepohonan besar-besar dan jarang dilalui oleh orang. Tidak begitu jelas mengapa tempat itu disebut Ndalem Koretan. Yang jelas bahwa Ndalem Koretan juga sesekali ditempati oleh Demang Darismanta sebagai tempat menepi dan menyepi sejenak dari keramaian.Â
Sebagian pepohonan besar yang tumbuh di pelataran tempat itu rerantingnya ditumbuhi sulur-sulur akar yang menjulur hingga menyentuh tanah. Hal ini menimbulkan suasana wingit tempat itu. Pada pintu pendopo rumah itu tergantung papan kayu tua bertulisan huruf aksara jawa kuno: "Ndalem Koretan: Urip Kudu Mlaku".Â
Pulanggeni tidak mengalami kesulitan untuk dapat menemukan tempat itu. Sebab melalui pesan telepati, Baruklinting telah memberi ancer-ancer, petunjuk arah dimana tempat harus menemui dirinya.Â
Menjelang senja, kelompok kecil berkuda dari Selo Merbabu itu tampak di kejauhan mendekati Ndalem Koretan. Derap kaki kuda terdengar semakin mendekat, diiringi kepulan debu tanah kering seputar halaman pendopo Koretan. Baruklinting menyambut rombongan kecil itu di depan pintu kayu pendopo itu.Â
"Kukira kalian tidak akan datang", kata Baruklinting menyambut kedatangan mereka.
"Kukira kau telah lupa pada janjimu", jawab Pulanggeni.Â
"Justru kedatanganmu telah kutunggu-tunggu", kata Baruklinting.Â
Lima orang berkuda dari Selo Merbabu itu turun dari kuda dan menambatkan tali kuda masing-masing di sebuah tiang melintang di depan pendopo itu. Baruklinting membawa mereka masuk dan duduk di kursi kayu jati ruang tamu di dalam Ndalem Koretan.Â
"Silahkan diminum dan dimakan seadanya", kata Baruklinting mempersilahkan para tamunya itu menikmati minuman teh dan camilan yang telah tersaji di meja besar ruang tamu itu.Â
"Aku telah menerima pesan dari telepati yang kau kirimkan, Baruklinting", ujar Pulanggeni sesaat kemudian. "Jadi apa yang akan kau berikan?", tanya Pulanggeni tanpa basa-basi.Â
Baruklinting mengamati para tamunya itu satu-satu. Perasaan batinnya berdesir manakala dia memandang ke arah Ki Pamungkas orang dari Mataram itu. Pakulitan atau warna kulit orang itu lebih bersih kuning langsat dibanding keempat orang yang lain. Baruklinting hendak bertanya.Â
Tetapi buru-buru Pulanggeni memperkenalkan lebih dulu bahwa empat orang yang ikut bersamanya, termasuk Ki Pamungkas adalah para pengawal pribadinya. Mereka biasa turut serta jika Pulanggeni melakukan perjalanan jauh dari pusat padepokan Nogo Kemuning di Selo Merbabu. Keempat orang yang disebut sebagai pengawal pribadi itu menyebut nama masing-masing, kecuali Ki Pamungkas memperkenalkan diri sebagai orang bernama: "Ki Pendar Nyawa".Â
"Seingatku. Aku pernah bertemu kalian bertiga sewaktu dulu di Merapi. Tetapi dengan Ki Pendar Nyawa, saya baru tahu sekarang", kata Baruklinting. Keempat orang itu mengangguk.Â
"Kelak tidak perlu lagi kau membawa banyak pengawal pribadi. Sebab telah kusiapkan segala ubo rampe, tempat tinggal yang aman dan semua saranamu tinggal bersama kelompokmu di Mangir", ujar Baruklinting kemudian. "Semua seperti janjiku dulu". Pungkasnya kemudian.Â
Pulanggeni sekilas teringat pada janji Baruklinting, orang yang kini duduk di depannya itu.
 "Peganglah janjiku, kelak ketika aku telah hidup makmur di Mangir, kamu dan kelompokmu kuberi suatu tempat yang luas di Mangir, sehingga kamu tidak perlu hidup sengsara di kawasan Selo Merbabu itu. Aku mau berbagi hidup kemakmuran bersama gerombolanmu di Mangir", ujar Baruklinting, di kala itu.Â
"Di sebelah mana kami akan kau tempatkan di Mangir?", tanya Pulanggeni.Â
"Di empat titik lokasi. Terutama di Kotapraja. Silahkan kau tempati. Bawalah sekalian pasukan Bayangan Hitammu. Orang-orangku akan mengatur kedatanganmu di lokasi", kata Baruklinting. "Tetapi pesanku, jika kelak rombonganmu datang ke Mangir, berlakulah sebagai pedagang biasa atau petani, sehingga kedatangan kalian tidak mencolok perhatian penduduk setempat".Â
"Aku dan rombonganku masih memerlukan sarana dan ubo rampe untuk hidup sementara di awal kami tinggal", kata Pulanggeni.Â
"Jangan khawatir. Telah kusiapkan semuanya untuk kedatangan kalian. Ini terimalah sebagian di muka", ujar Baruklinting. Dia menyerahkan sejumlah kantung berisi uang kepeng perak dan emas kepada Pulanggeni.Â
Pemimpin gerombolan Nogo Kemuning itu gembira hatinya dan menerima pemberian itu. Dia ingin segera pulang kembali ke Selo Merbabu untuk menjemput dan mempersiapkan kepindahan gerombolan Nogo Kemuning ke Mangir.Â
"Baiklah. Jangan berlama-lama. Tanpa mengurangi rasa hormatku, segeralah kembali ke Selo Merbabu. Bawalah rombonganmu itu untuk menetap di lokasi yang telah kutentukan itu", ujar Baruklinting kemudian.Â
"Budal", jawab Pulanggeni singkat.Â
Sejenak kemudian. Rombongan kecil Pulanggeni itu pamit dan pulang ke Selo Merbabu. Baruklinting melepas kelima orang tamunya itu di regol halaman depan pendopo Ndalem Koretan. Debu tanah kering beterbangan seiring derap kaki lima kuda yang ditunggangi oleh orang-orang itu meninggalkan halaman pendopo Ndalem Koretan dan lenyap di kegelapan hari yang mulai beranjak malam.Â
"Kita telah mengundang orang-orang itu untuk bergabung sebagai laskar tambahan bagi kekuatan kita di Mangir, dimas Demang Darismanta", ujar Baruklinting kepada Demang Darismanta yang muncul dari pintu belakang rumah pendopo Ndalem Koretan itu. Demang Darismanta telah ikut menyimak segala pembicaraan Baruklinting dan para tamunya sedari tadi, di tempatnya bersembunyi di belakang pendopo rumah itu.Â
"Nuwun inggih, kakang Baruklinting. Saya menyimak", jawab Demang Darismanta singkat.Â
"Apa ubo rampe segala umbul-umbul, bendera dan seragam kuning bagi laskar khusus kita yang kelak menyusup ke Ndalem Wanabayan, telah siap, dimas?"
"Sudah kakang. Bahkan laskar khusus bentukan Ki Gringsing dari perbukitan Menoreh itu, kini sudah berada di suatu tempat tersembunyi. Saya tempatkan mereka di Srandakan Selatan, kakang Baruklinting".Â
"Bagus dimas. Tunggu aba-aba saatnya dariku. Lakukan dalam senyap. Jangan sampai ada kerabat Sentana yang mengetahui gerakan laskar khusus ini, dimas", ujar Baruklinting.Â
"Sendiko, kakang Baruklinting", jawab Demang Darismanta singkat. Â
Palbapang, perbatasan Mataram -- Mangir.
Kelima orang berkuda itu memacu kuda-kuda mereka dengan kencang kembali pulang ke Selo Merbabu. Selama perjalanan, Pulanggeni berbunga-bunga hatinya, sebab upayanya menagih janji ke Baruklinting, telah sebagian dilunasi. Bahkan dia membawa pulang beberapa gepok uang perak dan emas pemberian Baruklinting. Dia sudah tak sabar untuk segera tiba di Selo Merbabu, untuk segera memberi kabar ke orang-orangnya, bahwa kehidupan baru yang lebih baik bagi gerombolan Nogo Kemuning akan mereka jalani di Mangir.Â
Sementara itu Ki Pamungkas kepala divisi Telik Sandi Mataram yang ikut dalam rombongan itu, berpikiran lain. Dia merasa harus segera menemui anak buahnya di suatu tempat yang kini mereka sepertinya telah menunggu. Ki Pamungkas sudah tak sabar untuk melaksanakan misi intelijennya bersama anak buahnya itu, yakni menggebug Mangir dan Baruklinting. Itu seperti amanat yang diterimanya langsung dari sesepuh dan petinggi Mataram, Ki Juru Martani.
Maka sampailah rombongan berkuda itu di sebuah persimpangan jalan di daerah perbatasan wilayah Mataram dan Mangir yang disebut Prapatan Palbapang. Mereka menghentikan sejenak perjalanan mereka. Kepala divisi Telik Sandi Mataram yang bersama rombongan kecil itu ingin memisahkan diri dari rombongan.Â
"Biarlah saya memisahkan diri darimu, di tempat ini, kakang Pulanggeni. Saya ingin menyelesaikan suatu urusan bersama orang-orangku yang telah menunggu di suatu tempat. Kelak kita bertemu lagi di Kotapraja Mangir", ujar Ki Pamungkas.
"Baiklah dimas sinuwun. Temuilah orang-orangmu. Sementara kupersiapkan orang-orangku untuk segera bergerak ke Mangir. Sesuai apa yang kita rencanakan, kita kelak bertemu di Kotapraja Mangir", jawab Pulanggeni.Â
"Aku akan membawa orang-orangku memasuki Mangir, pada saat Hari Pasaran di Pasar Gede Kotapraja", pungkasnya kemudian.
Lalu mereka berpisah di perempatan jalan itu. Pulanggeni bersama Margopati, Argoseto dan Arya Jalu meneruskan perjalanan pulang ke Selo Merbabu. Sedangkan Ki Pamungkas memacu kudanya menyimpang ke arah jalan lain.Â
Sebuah tempat tersembunyi, di Desa Selarong.
Angin malam berhembus di Selarong. Di sebuah gubug bambu tempat tersembunyi di tepi desa itu, tiga orang berpakaian petani sederhana sedang mengelilingi sebuah perapian kecil di depan gubug itu. Ketiganya tidak berkata-kata. Mereka sibuk menghangatkan tangan di sekitar perapian, mengusir dinginnya udara malam di tempat itu. Sesekali bunyi burung Bulbul terdengar dari pepohonan besar di samping gubug itu, dan bunyi gemeretak api membakar kayu-kayu menumpuk di perapian kecil itu.Â
Tak ada penerangan lampu teplok atau lampu ublik di gubug itu. Sehingga hanya seperti bayangan hitam ketiga orang itu saja yang tampak mengitari perapian kecil. Langit tak berbintang dan bulan masih tampak tipis. Bulan nanggal kepapat.Â
Ketiga orang itu tampak bersiaga, manakala dari kejauhan terdengar bunyi tapak kaki kuda berlari kencang menuju ke arah mereka.Â
"Semoga itu sinuwun", ujar seorang di antara mereka.Â
Akhirnya sosok penunggang kuda bersama kuda yang dipacunya berhenti di dekat gubug bambu itu. Wajah ketiga orang itu berubah sumringah, setelah yakin bahwa yang baru tiba menunggang kuda itu adalah Ki Pamungkas, kepala divisi Telik Sandi Mataram.Â
"Maafkan aku, terlambat datang. Kalian telah lama menungguku, rupanya", ujar Ki Pamungkas kepada ketiga orang itu. Dia menambatkan tali kekang kudanya di sebuah cagak tiang bambu di sudut gubug itu.Â
"Kami baru tiba beberapa waktu, belum lama di tempat ini, sinuwun".Â
"Syukurlah jika demikian, Wisesa", ujar Ki Pamungkas. "Apakah kalian masih sempat mampir ke Kotapraja, Widura?"Â
"Saya dan kakang Linduaji sempat singgah di Pasar Gede, Kotapraja. Sedangkan kakang Wisesa menyusup ke kawasan Alun-alun, sinuwun". Jawab seorang bernama Widura.Â
"Baiklah. Jika demikian saya jadi mudah menjelaskan rencana kita besok, Widura".
Ketiga orang itu Linduaji, Wisesa dan Widura. Mereka adalah orang pilihan, anggota telik sandi divisi khusus pasukan Mataram, anak buah Ki Pamungkas. Gubug bambu di tepi desa Selarong itu adalah titik pertemuan mereka, sebelum mereka bergerak bersama ke Kotapraja Mangir.
"Tadi sore aku sempat bertemu dengan target kita, Baruklinting. Dalam suatu penyamaranku bersama rombongan kecil Pulanggeni. Kami menemuinya di suatu tempat. Hampir saja penyamaranku terbongkar. Untung saja Pulanggeni pemimpin pasukan bayaran Mataram itu mampu melindungi identitas asliku", kata Pulanggeni kemudian. "Jika tidak, identitasku sudah bocor lebih dulu".Â
Ketiga anak buahnya itu menyimak baik-baik. Mereka menghela napas dalam.Â
"Menurut panjenengan, lalu siapa orang bernama Baruklinting itu?", tanya Wisesa.
"Dia orang berilmu tinggi. Sangat berpengaruh di Mangir. Aku belum tahu kelemahannya".
"Jika demikian. Apa tindakan kita selanjutnya, sinuwun?", tanya Linduaji.Â
"Misi utama kita adalah menggebug Mangir dan Baruklinting. Seperti pesan sinuwun, Ki Juru Martani, kita nabok nyilih tangan. Memanfaatkan pasukan bayaran Mataram, gerombolan Nogo Kemuning untuk melaksanakan misi utama ini. Tak ada bantuan dari prajurit Mataram. Jadi gagal atau sukses misi ini, tergantung pada kita sendiri, pelaksana lapangan". Demikian tegas kepala divisi telik sandi itu pada anak buahnya. "Apakah kalian mengerti?"
"Mangertos", jawab tiga orang itu hampir berbarengan. Kemudian Ki Pamungkas menjelaskan bagaimana mereka akan memasuki Mangir dan merusak Mangir dari dalam secara diam-diam. Suatu gerakan senyap akan mereka lakukan untuk memporak porandakan Kotapraja lebih dulu.Â
"Lepaskan panah api biru ke langit, jika kalian telah selesai menjalankan misi di titik masing-masing. Itu kode bagi kita untuk kembali merapat ke titik lain yang nantinya kutentukan tempatnya. Aku akan melepas panah api merah sebagai kode lokasi titik temu, tempatku berada". Pungkas Ki Pamungkas pada anak buahnya.Â
"Pesanku. Gunakan nalar, kesadaran dan keterampilan kalian. Termasuk waspada pada setiap serangan ajian gendam, pelet, pengasihan atau sejenisnya. Sebab kita berhadapan dengan mereka orang-orang berilmu tinggi. Gunakan mantera anti gendam, jika dalam keadaan mendesak".Â
"Apakah kita pakai mantera anti gendam seperti panjenengan pernah ajarkan pada kami di pelatihan prajurit itu?", tanya Linduaji.Â
"Benar, Linduaji". Jawabnya. "Ingatlah mantera itu. Ucapkan sepenuh hati".Â
"Selowatu watuselo. Niat ingsun amateg ajiku tameng wojo. klambiku wesi kuning sekalian kandele. Ototku kawat balungku wesi kulitku tembogo. Dagingku wojo. Kepkarekep barukut kinemulan wojo inten. Sakabehing ora biso nedasi. Mimis bedhil podho nglumpruk kadyo kapuk tan tumomo ing badanku. Saking kersaning Gusti ingsun. Selowatu watuselo". Ki Pamungkas menuturkan. Ketiga anak buah kepala divisi telik sandi Mataram itu menyimak baik-baik.
"Kita akan bergerak besok dini hari. Persiapkan diri kalian. Istirahatlah malam ini selagi bisa. Sebab besok atau lusa belum tentu kita memiliki malam-malam yang tenang", ujarnya lagi.
Lalu mereka beristirahat malam itu di gubug bambu pinggir desa Selarong. Tak ada mahkluk lain selain mereka di tempat itu. Malam kian larut sementara sang fajar pagi masih jauh dari jangkauan.Â
Tiga orang intelijen Mataram anak buah Ki Pamungkas itu sangat ingin waktu segera pagi. Tetapi waktu seperti berjalan lambat di tempat itu. Perapian kecil telah dipadamkan. Pasukan khusus telik sandi Mataram itu akhirnya tidur terlelap dalam gulita malam. Â
***Â
(BERSAMBUNG Ke Episode #19 )
- Baca juga: Episode #17.
- Baca juga: Episode #16.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI