"Dia orang berilmu tinggi. Sangat berpengaruh di Mangir. Aku belum tahu kelemahannya".
"Jika demikian. Apa tindakan kita selanjutnya, sinuwun?", tanya Linduaji.Â
"Misi utama kita adalah menggebug Mangir dan Baruklinting. Seperti pesan sinuwun, Ki Juru Martani, kita nabok nyilih tangan. Memanfaatkan pasukan bayaran Mataram, gerombolan Nogo Kemuning untuk melaksanakan misi utama ini. Tak ada bantuan dari prajurit Mataram. Jadi gagal atau sukses misi ini, tergantung pada kita sendiri, pelaksana lapangan". Demikian tegas kepala divisi telik sandi itu pada anak buahnya. "Apakah kalian mengerti?"
"Mangertos", jawab tiga orang itu hampir berbarengan. Kemudian Ki Pamungkas menjelaskan bagaimana mereka akan memasuki Mangir dan merusak Mangir dari dalam secara diam-diam. Suatu gerakan senyap akan mereka lakukan untuk memporak porandakan Kotapraja lebih dulu.Â
"Lepaskan panah api biru ke langit, jika kalian telah selesai menjalankan misi di titik masing-masing. Itu kode bagi kita untuk kembali merapat ke titik lain yang nantinya kutentukan tempatnya. Aku akan melepas panah api merah sebagai kode lokasi titik temu, tempatku berada". Pungkas Ki Pamungkas pada anak buahnya.Â
"Pesanku. Gunakan nalar, kesadaran dan keterampilan kalian. Termasuk waspada pada setiap serangan ajian gendam, pelet, pengasihan atau sejenisnya. Sebab kita berhadapan dengan mereka orang-orang berilmu tinggi. Gunakan mantera anti gendam, jika dalam keadaan mendesak".Â
"Apakah kita pakai mantera anti gendam seperti panjenengan pernah ajarkan pada kami di pelatihan prajurit itu?", tanya Linduaji.Â
"Benar, Linduaji". Jawabnya. "Ingatlah mantera itu. Ucapkan sepenuh hati".Â
"Selowatu watuselo. Niat ingsun amateg ajiku tameng wojo. klambiku wesi kuning sekalian kandele. Ototku kawat balungku wesi kulitku tembogo. Dagingku wojo. Kepkarekep barukut kinemulan wojo inten. Sakabehing ora biso nedasi. Mimis bedhil podho nglumpruk kadyo kapuk tan tumomo ing badanku. Saking kersaning Gusti ingsun. Selowatu watuselo". Ki Pamungkas menuturkan. Ketiga anak buah kepala divisi telik sandi Mataram itu menyimak baik-baik.
"Kita akan bergerak besok dini hari. Persiapkan diri kalian. Istirahatlah malam ini selagi bisa. Sebab besok atau lusa belum tentu kita memiliki malam-malam yang tenang", ujarnya lagi.
Lalu mereka beristirahat malam itu di gubug bambu pinggir desa Selarong. Tak ada mahkluk lain selain mereka di tempat itu. Malam kian larut sementara sang fajar pagi masih jauh dari jangkauan.Â