"Semoga itu sinuwun", ujar seorang di antara mereka.Â
Akhirnya sosok penunggang kuda bersama kuda yang dipacunya berhenti di dekat gubug bambu itu. Wajah ketiga orang itu berubah sumringah, setelah yakin bahwa yang baru tiba menunggang kuda itu adalah Ki Pamungkas, kepala divisi Telik Sandi Mataram.Â
"Maafkan aku, terlambat datang. Kalian telah lama menungguku, rupanya", ujar Ki Pamungkas kepada ketiga orang itu. Dia menambatkan tali kekang kudanya di sebuah cagak tiang bambu di sudut gubug itu.Â
"Kami baru tiba beberapa waktu, belum lama di tempat ini, sinuwun".Â
"Syukurlah jika demikian, Wisesa", ujar Ki Pamungkas. "Apakah kalian masih sempat mampir ke Kotapraja, Widura?"Â
"Saya dan kakang Linduaji sempat singgah di Pasar Gede, Kotapraja. Sedangkan kakang Wisesa menyusup ke kawasan Alun-alun, sinuwun". Jawab seorang bernama Widura.Â
"Baiklah. Jika demikian saya jadi mudah menjelaskan rencana kita besok, Widura".
Ketiga orang itu Linduaji, Wisesa dan Widura. Mereka adalah orang pilihan, anggota telik sandi divisi khusus pasukan Mataram, anak buah Ki Pamungkas. Gubug bambu di tepi desa Selarong itu adalah titik pertemuan mereka, sebelum mereka bergerak bersama ke Kotapraja Mangir.
"Tadi sore aku sempat bertemu dengan target kita, Baruklinting. Dalam suatu penyamaranku bersama rombongan kecil Pulanggeni. Kami menemuinya di suatu tempat. Hampir saja penyamaranku terbongkar. Untung saja Pulanggeni pemimpin pasukan bayaran Mataram itu mampu melindungi identitas asliku", kata Pulanggeni kemudian. "Jika tidak, identitasku sudah bocor lebih dulu".Â
Ketiga anak buahnya itu menyimak baik-baik. Mereka menghela napas dalam.Â
"Menurut panjenengan, lalu siapa orang bernama Baruklinting itu?", tanya Wisesa.