Mohon tunggu...
Aprisa Tasyanda
Aprisa Tasyanda Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

be happy and a reason will come along.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penegakan Hukum di Indonesia dalam Ontologi Paradigma Critical Theory

6 Januari 2022   20:15 Diperbarui: 6 Januari 2022   20:43 1857
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Manusia sejatinya selalu melakukan aktivitas-aktivitas yang saling bersinggungan dengan manusia lain. Lambat laun, intensitas aktivitas tersebut semakin meningkat dan aktivitas-aktivitas tersebut bahkan berkembang yang semula berawal dari antara manusia dengan manusia menjadi aktivitas masyarakat antara masyarakat.

 Semakin meningkatnya intensitas aktivitas tersebut, semakin meningkat pula peluang timbulnya masalah yang muncul sebagai akibat dari aktivitas yang dilakukan itu. 

Maka, untuk mencegah timbulnya masalah tersebut dibuatlah suatu pedoman untuk menjadi pegangan bagi masyarakat untuk melakukan aktivitas-aktivitas mereka di kehidupan. Namun, masih dirasa kurang sehingga masyarakat juga membentuk pedoman lain yang bertujuan untuk menghukum masyarakat yang melanggar aturan tersebut.

Lalu, pedoman dan aturan tersebut harus ditegakkan supaya terwujudnya ketentraman masyarakat. Pedoman dan aturan tersebut dinamakan sebagai hukum. Memang hukum dibuat untuk dilaksanakan dan ditegakkan. 

Kalau tidak, peraturan hukum itu hanya merupakan susunan kata-kata yang tidak mempunyai makna dalam kehidupan masyarakat. Penegakan hukum merupakan unsur yang krusial menyangkut hal terwujudnya ketentraman masyarakat. 

Bila hukum tidak ditegakkan dengan benar, maka kemungkinan-kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap hukum itu sendiri akan meningkat dan hal tersebut berujung pada kekacauan di masyarakat. 

Maka, akan sangat terasa bahwa hukum memiliki unsur memaksa dan dominan terhadap masyarakat. Walaupun hukum memiliki unsur tersebut, namun hal ini tidak berlaku bagi kalangan elite yang memiliki kekuasaan dan golongan ekonomi yang sangat berkecukupan.

Penegakan hukum di Indonesia ditegakkan oleh aparat penegak hukum dimulai dari kepolisian, kejaksaan, kehakiman, dan advokat. Pada dasarnya mereka mengabdi kepada negara namun, tak dapat dipungkiri bahwa pengabdian kepada negara bukan tujuan utama mereka. 

Tetap saja tujuan utama aparat penegak hukum adalah harta. Saat berhadapan dengan kasus besar yang melibatkan para elite negara yang berkuasa dan kaya, hukum yang ditegakkan menjadi lemah. Para aparat penegak hukum seolah-olah menjadi mudah ditaklukkan.

Hal ini berbeda dengan aparat penegak hukum yang menegakkan hukum pada masyarakat. Mereka menjadi berkomitmen untuk menegakkan hukum yang ada. Maka, ini pun menggiring berbagai opini public terhadap penegakan hukum di Indonesia. 

Masyarakat curiga dengan penegakan hukum di Indonesia yang sangat diskriminatif, para penjahat kelas atas selalu lolos dari jeratan hukum sedangkan penjahat kelas bawah ditindas begitu saja. 

Masyarakat pun tak tinggal diam, banyak yang melakukan aksi nyata seperti melakukan demonstrasi, melontarkan kritikan-kritikan ke aparat penegak hukum melalui berbagai sarana, dan lain sebagainya. Keinginan masyarakat hanya satu yaitu penegakan hukum yang adil bagi seluruh masyarakat dan terjaminnya hak masyarakat dalam hal persamaan dihadapan hukum. Hal ini terus saja berlangsung bagai roda yang berputar. 

Terdapat penegakan hukum pada kasus-kasus yang dinilai oleh masyarakat tidak adil, masyarakat yang menaruh perasaan curiga lalu melakukan aksi nyata, adanya tanggapan dari pemerintah dan aparat penegak hukum, kemudian terdapat penegakan hukum pada kasus-kasus yang dinilai oleh masyarakat tidak adil lagi, dan begitu seterusnya.

Kemudian, bagaiamana masalah tersebut bila ditinjau dari paradigma Critical Theory dalam filsafat hukum? Apakah masalah tersebut merupakan hal yang klasik dan biasa terjadi?

Pembahasan

Kata Paradigma berasal dari gabungan kata dari Bahasa Yunani paradeigma. Para berarti ‘di sebelah’, ‘di samping’, ‘di sisi’, ‘berdampingan’, atau ‘di tepi’, sedangkan deiknunai  atau deigma berarti ‘melihat’ atau ‘menunjukkan’. Sedangkan dalam Bahasa Inggris, Paradigma bermakna sebagai ‘contoh’ (example), ‘pola’ (pattern), atau ‘model’. Kemudian, dalam komunitas ilmiah pemahaman mengenai paradigma lebih kompleks. 

Terdapat beberapa ahli yang mencoba memberikan pemahaman mengenai paradigma. Salah satu ahli yang memberikan pemahaman mengenai paradigma yaitu Guba dan Lincoln (1994). Paradigma terbangun atau tersusun dari jaringan premise [yakni pernyataan dari mana sebuah kesimpulan dapat diambil secara logis] ontologis, epistemologis, dan metodologis; suatu kumpulan atau set atau system belief ‘dasar’ yang berkenaan dengan prinsip-prinsip utama dan/atau pertama, yang memandu tindakan (action) para penganutnya; me-representasi-kan suatu worldview yang men-definisi-kan –bagi penganutnya- sifat dan ciri ‘dunia’ serta rentang hubungan yang mungkin antara mereka dengan ‘dunia’ berikut bagian-bagiannya.[1] 

 

Dalam pengertian ini, 3 jaringan premise tersebut dicoba direngkuh yang nantinya berlaku di dalam suatu masyarakat ilmiah. Setelahnya, hanya akan ada beberapa paradigma [besar] yang diakui untuk dipilih kemudian dianut oleh para penganutnya. 

Paradigma merupakan kerangka berpikir yang merupakan mental tools untuk menjelaskan, memahami, mengungkapkan, dan menyelesaikan suatu hal atau permasalahan. Namun, terkadang paradigma tanpa disadari dianut begitu saja oleh masyarakat ilmiah untuk menjelaskan, memahami, mengungkapkan, dan menyelesaikan suatu hal atau permasalahan.

 

Guba dan Lincoln (1994) menawarkan pemahaman 4 paradigma utama yaitu positivism, postpositivisme, critical theory, dan constructivism. Kemudian, oleh Lincoln, Lynham, dan Guba (2011) menawarkan penambahan 1 paradigma utama dari 4 paradigma utama yang ditawarkan oleh Guba dan Lincoln pada tahun 1994. Penambahan 1 paradigma utama tersebut adalah participatory.

 

Adapun yang membedakan antara 1 paradigma dengan paradigma lainnya ialah jawaban dari pertanyaan ‘ontologis’; ‘epistemologis’; dan ‘metodologis’. Lalu, mengenai pertanyaan ‘ontologis’ akan memberikan jawaban berupa hakikat realitas, berikut apa yang dapat diketahui mengenai hal ontologis.[2] Bila paradigma-paradigma tersebut digunakan untuk menjawab permasalahan dalam hal hukum maka, paradigma-paradigma tersebut akan memberikan jawaban yang berbeda dari masing-masing pertanyaan ‘ontologis’; ‘epistemologis’; dan ‘metodologis’ dalam realitas hukum.

 

Adapun dalam paradigma critical theory yang menjawab pertanyaan ontology dengan memberikan jawaban yaitu hakikat realitas hukum yang masuk dalam ontology realisme historis. Realisme historis berarti realitas ‘virtual’ yang terbentuk oleh faktor social, politik, budaya, ekonomi, etnis, dan ‘gender’, lalu sejalan dengan waktu terkristalisasi dan dianggap real. [3] Dalam permasalahan hukum, maka hukum merupakan serangkaian struktur sebagai suatu realitas historis yang merupakan hasil proses panjang kristalisasi nilai-nilai social, politik, budaya, ekonomi, etnis, ‘gender’, dan agama. 

Selain itu, bagi para penganut paradigma critical theory, hukum adalah suatu instrument hegemoni yang cenderung dominan, diskriminatif, dan eksploitatif. Maka, konsekuensinya yaitu hukum semestinya terbuka bagi kritikan, revisi, dan transformasi guna menuju emansipasi.[4]

 

Saat ini, penegakan hukum di Indonesia penuh dengan gejolak-gejolaknya. Penegakan hukum ditujukan guna meningkatkan ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat. Terlebih, kondisi kehidupan bermasyarakat sangat dinamis dan banyak terdapat perubahan-perubahan di kehidupan masyarakat. Namun, seiring berjalannya waktu, penegakan hukum yang semula bertujuan untuk meningkatkan ketertiban dan kepastian hukum di kehidupan masyarakat saat ini sudah menyimpang dari tujuan semulanya. Masyarakat menilai hukum hanya akan berlaku perkasa ketika berhadapan dengan masyarakat dan hukum akan tampak loyo ketika berhadapan dengan uang dan kekuasaan atau biasa dikenal dengan istilah “hukum tajam kebawah, tumpul keatas”.

 

Masyarakat curiga dengan setiap adanya hukum yang dibuat oleh penguasa dan ditegakkan oleh aparat-aparat negara pasti akan di lapangan dipenuhi tindakan-tindakan yang menindas masyarakat dan mendiskriminasi masyarakat. Prasangka masyarakat ini muncul atas berbagai peristiwa seperti misalnya kasus seperti yang menimpa Nenek Minah yang mencuri tiga buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan (RSA) diproses secara hukum oleh Polri dengan kasus Gayus Halomoan Partahanan Tambunan yang hanya divonis 7 tahun penjara padahal ia terbukti melakukan suap dan menyalahgunakan wewenang. Masih banyak peristiwa-peristiwa semacam ini yang sering terjadi dan diketahui oleh masyarakat luas. Atas dasar inilah yang menggiring masyarakat untuk memiliki penilaian terhadap penegakan hukum di negeri tercinta, Indonesia. 

 

Jelas bagi masyarakat, ketimpangan dalam penegakan hukum di kasus-kasus diatas itu sangat terasa. Masyarakat seperti mendapat perlakuan diskriminasi dari aparat penegak hukum. Terlebih dalam hal penegakan hukum, ketika masyarakat dihadapkan dengan para elite negara ataupun para pengusaha yang sudah sangat jelas ada perbedaan ekonomi. Para elite negara ataupun para pengusaha yang memiliki kekuasaan dan ekonomi yang sangat berkecukupan mampu menaklukkan hukum dalam hal penegakan hukum. Berbanding terbalik dengan masyarakat yang harus menjalani pahitnya proses penegakan hukum. 

Hal seperti ini kerap terjadi di lapangan dan hal ini sudah lama terjadi dalam praktek sehingga bagi masyarakat hukum adalah instrument yang berpihak ke penguasa dan bersifat diskriminatif. Para penegak hukum dan pemerintah saat ini belum berpihak terhadap rakyat bahkan tak jarang mereka tidak membantu rakyat kecil untuk mendapatkan keadilan ketika berhadapan dengan hukum. Walau oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sudah dijamin adanya hak atas perlakuan yang sama dihadapan hukum.

 

Masalah penegakan hukum ini dalam pikiran masyarakat yang berparadigma Critical Theory pasti akan selalu melontarkan kritikan terhadap penegakan hukum di Indonesia. Hal ini akan terus terjadi selama penegakan hukum di Indonesia belum adil. Berbagai aksi nyata dilakukan oleh masyarakat untuk menggapai keadilan bagi mereka dan mengubah masa kemasabodohan masyarakat lain agar terjadinya perubahan untuk penegakan hukum di Indonesia.

 

Penutup

 

Melalui paradigma Critical Theory, masyarakat yang berparadigma demikian tidak salah untuk selalu menaruh rasa curiga kemudian melakukan aksi nyata. Masyarakat melihat kejadian seperti terus menerus untuk waktu yang lama, selalu mendapatkan cerita dari tetangga, teman, sanak saudara, orang tua bahkan kerabat tertua mengenai hal-hal demikian yang terjadi di sekitar mereka, yang mungkin saja dapat terjadi di lingkungan kecamatan, kota/kabupaten, provinsi, dan lingkungan pusat sekaligus. 

Apalagi, informasi di zaman sekarang mudah untuk didapatkan sehingga berbagai berita mengenai ketimpangan dalam penegakan hukum dapat dengan mudah dinilai oleh masyarakat. 

Kasus yang menggemparkan baru saja terjadi yaitu kasus Ibu Valencya yang didakwa karena memarahi suaminya yang mabuk. Jelas, masyarakat tak tinggal diam dan mengkritik penegakan hukum di Indonesia yang diskriminatif terhadap masyarakat dan juga diskriminatif terhadap perempuan. 

Dimata masyarakat kasus Ibu Valencya, Nenek Minah, dan berbagai kasus lain yang seperti ini bila dihadapkan dengan penegakan hukum pasti akan selalu tertindas apalagi bila dibandingkan dengan kasus penjahat kelas atas yang lama untuk diprosesnya, hukuman ringan padahal akibat dari kejahatan sangat besar, atau saat menjalani hukuman penjara mendapatkan berbagai kemewahan.

 

Maka, bagi masyarakat yang berparadigma Critical Theory akan terus menaruh rasa curiga, melakukan berbagai kritikan dan aksi nyata supaya keadilan bagi mereka terwujud dan mengubah masa kemasabodohan masyarakat lain atau mengajak masyarakat lain untuk ikut mensuarakan adanya ketidakadilan penegakan hukum di Indonesia agar terjadinya perubahan untuk penegakan hukum di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun