Mohon tunggu...
Aprisal AlNahli
Aprisal AlNahli Mohon Tunggu... Guru - Sahabat Pengabdi

Penggiat Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menyoal Kritikan Pengamat Pendidikan (CERDAS) terhadap Kinerja Guru yang Tak Berkualitas

11 Mei 2020   09:21 Diperbarui: 11 Mei 2020   09:37 2474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aprisal Al Nahli (Tenaga Pendidik dan Penggiat Pendidikan) | dokpri

Sejak Wabah Virus Corona telah ditetapkan sebagai pandemi global oleh World Health Organization (WHO) sejak itu pula berbagai negara masing-masing menetapkan status wilayahnya tak terkecuali di negara kita tercinta Indonesia. 

Pemerintah telah menetapkan Wabah Corona Virus atau Covid-19 sebagai Bencana Nasional. Status tersebut diumumkan Sabtu sore (14/3/2020) oleh Presiden melalui Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Doni Monardo di Gedung BNPB. Sejak pemerintah menetapkan Covid-19 sebagai bencana nasional di Indonesia maka seketika itu pula roda pelayanan publik berubah drastis tak terkecuali di bidang pendidikan. 

Melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Nadiem Makarim, mengeluarkan kebijakan agar seluruh pelayanan pendidikan melalui tatap muka di ruang kelas dialihkan ke rumah masing-masing peserta didik dengan model daring (on line) atau dengan memanfaatkan aplikasi pembelajaran yang telah disediakan. 

Namun bagaimana dengan mereka yang tak bisa mengkses jaringan internet, tak ada pilihan lain selain melakukan kunjungan pembelajaran ke rumah peserta didik.

*****

Sejak proses pembelajaran daring dijalankan oleh para pendidik untuk tetap memastikan proses pembelajaran peserta didik selama wabah Covid-19 berlangsung maka sejak itu pula bermunculan kritikan dan keluhan yang di alamatkan khusus pada guru, baik dari pengamat pendidikan,orang tua siswa maupun pada lembaga-lemabaga tertentu. 

Salah satu keluhan dan kritikan muncul dari lembaga KPAI melalui siaran persnya menyampaikan bahwa guru terlalu memberatkan tugas-tugas yang diberikan kepada peserta didik di rumah. Mungkin kritikan ini sifatnya hanya ditujukan untuk mengajak agar tak terlalu memberikan beban pembelajaran yang berat.

*****

Selain keluhan yang disampaikan oleh KPAI mengenai proses pembelajaran, juga muncul kritikan dari salah satu pengamat dan praktisi pendidikan dari lembaga Center for Education Regulations and Development Analysis (CERDAS) yang menyoroti kinerja guru di tengah pandemi Covid-19. Indra Charismiadji, lewat pemberitaan media on line menyampaikan bahwa guru di Indonesia mayoritas tidak berkualitas.

"Kualitas guru dilihat dari inovasi dan bagaimana cara dia siap mengajari siswa di segala situasi, baik kondisi normal maupun abnormal. Di masa pandemi, sekarang terbuka semua kan ya, guru-guru kita kompetensinya rendah terutama dalam penguasaan teknologi. Hanya 2,5 persen yang tidak gagap teknologi. Selebihnya gaptek alias gagap teknologi," ucapnya.

Lebih lanjut Indra Charismiadji, mengatakan bahwa, "gemes melihat kualitas guru kita. Sudah dikasih pelatihan, tunjangan sertifikasi guru, masih banyak yang gaptek. Ini loh datanya enggak bisa nipu, kelompok yang enggak gaptek itu hanya 2,5 persen. Yang gaptek 97,5 persen loh. Lantas anggaran miliaran hingga triliunan yang sudah dikasi untuk apa kalau gurunya masih gaptek juga," terang Indra.

*****

Apa yang disampaikan oleh Indra Charismiadji, tak ada salahnya jika memang ditunjang dengan data sebagai bukti pendukung namun tak sepenuhnya juga bisa dibenarkan jika data yang dimiliki tak ada pemetaan secara geografis guru yang dimaksud. 

Sebab sungguh tak adil jika kita membandingkan kemampuan yang dimiliki antara perkotaan dan pedesaan. Keduanya hidup pada kondisi yang berbeda. Ini bukan tentang mengkotak-kotakan antara kota dan desa, tapi saya lebih melihatnya kepada realitas dan fakta yang ada di lapangan.

Pada berita lain, Indra Charismiadji juga menyampaikan bahwa Dosen dan Guru PNS itu enak, meski tidur-tiduran tetap di gaji. Sepertinya pernyataan ini agak keliru dan tentunya melukai hati bagi para pendidik.

*****

Setelah membaca kedua berita tersebut saya tergerak untuk menulis. Saya menulis bukan berarti bahwa kami melakukan perlawanan untuk tidak menerima di kritik sebab bagi kami di kritik itu adalah ungkapan kepedulian dan kasih sayang, teman berpikir, tempat untuk berbenah bahwa ada hal yang perlu dievaluasi. 

Apatah lagi negara kita menganut azas demokrasi jadi sah-sah saja jika ada kritikan, tentunya kritikan yang sifatnya membangun dan memberi solusi bukan kritikan yang [seolah] merendahkan dan menjatuhkan profesi seseorang.

*****

Melalui tulisan ini saya mencoba untuk meluruskan beberapa pernyataan Bapak Indra Charismiadji selaku pengamat pendidikan dengan kapasitas saya sebagai guru pelosok sekaligus penggiat pendidikan di wilayah pelosok dan kepulauan. 

Apa yang ingin saya sampaikan bukan tentang teori pembelaan diri atau ingin cuci tangan tapi lebih kepada kejernihan hati dan mata untuk melihat persoalan tersebut.

Sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia adalah sebuah negara kepulauan terbesar, dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dengan melibatkan Badan Informasi Geo Spasial (BIG) dan Pusat Hidrografi dan Oseanografi (Pushidros) TNI Angkatan Laut menunjukkan bahwa panjang garis pantai Indonesia tahun 2018 adalah 108.000 kilometer (km).

Dari gambaran wilayah tersebut menunjukkan bahwa betapa luasnya negara kita yang terdiri dari beberapa pulau. Dari persebaran pulau itu pula tersebar beberapa sekolah dan pendidik, mulai dari pulau kecil sampai pulau besar (terdepan, terluar dan tertinggal). 

Kita tak bisa menutup mata bahwa salah satu kondisi faktual yang dihadapi masyarakat sekolah [pendidik dan siswa] khususnya yang menetap di wilayah [kepulauan] tertinggal adalah keterjangkauan untuk mengakses sarana dan prasarana umum semisal keterbatasan listrik-sinyal, jarak antar pulau, sarana transportasi yang kurang memadai sehingga akses untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan berkeadilan tidak merata, baik siswa maupun guru itu sendiri.

*****

Pembangunan di bidang pendidikan dalam konteks nasional khususnya kemajuan tenaga pendidik dan atau peserta didik dapat [perlu] diukur berdasarkan tingkat pemerataan pembangunan antara perkotaan dan pelosok pedesaan [kepulauan]. 

Pemetaan geografis perlu dilakukan untuk mengukur perubahan kemajuan. Hal ini penting, sebab dalam kurung waktu yang cukup panjang, kelompok-kelompok masyarakat baik pendidik maupun siswa yang jauh dari akses informasi, komunikasi dan transportasi kurang bisa mengakses pembaharuan ilmu, termasuk IT.

 Kenapa demikian, lagi-lagi karena terbatasnya penyediaan sarana. Jadi barometer penunjang kemajuan kualitas pendidik dan atau peserta didik jangan hanya melihat pada satu titik [sudut pandang], pemberian tunjangan sertifikasi guru.

Tapi mari kita melihat secara menyeluruh apa yang menyebabkan demikian, sudahkah pemerintah hadir berbenah memberi fasilitas yang adil dan merata? 

Jangan-jangan kita hanya memandang Indonesia di pusat pemerintahan saja dan melupakan masyarakat pelosok dan kepulauan. Lalu setelah itu membuat kompetisi kemampuan kualitas guru dan menyimpulkan guru tak berkualitas.

*****

Ada beberapa hal yang bisa menjadi penyebab [tuduhan] guru tak berkualitas, diantaranya akan saya uraikan dua point penting yang menjadi penyebab masih adanya guru yang dianggap belum berkinerja baik.

Pertama, Jika dikatakan bahwa tunjangan sertifikasi guru tak digunakan untuk menambah wawasan keilmuan/kebutuhan pembelajaran semisal pengadaan laptop, itu tak sepenuhnya benar, sebab saya yang menjadi saksi mata melihat langsung guru-guru penerima serifikasi yang ada di pelosok mempergunakan sebahagian dananya untuk kebutuhan pembelajaran, membeli laptop untuk belajar IT, tapi lagi-lagi faktor penunjang utama [listrik] yang tidak ada, akhirnya laptop itu jadi menganggur. 

Lalu kenapa dengan seenaknya beberapa oknum pengamat pendidikan mencak-mencak menuduh bahwa guru tak berkualitas, tak mampu IT, tak mampu ini itu dan lain-lain tanpa melihat secara jernih problem utama yang dihadapi guru-guru kita yang ada di pelosok. Semestinya yang mencak-mencak itu adalah mereka yang belum tersentuh pembangunan yang merata dan berkeadilan.

Kedua, jangan-jangan data yang dimaksud guru yang tak berkuliatas itu adalah guru-guru senior yang sebentar lagi purna bakti dan sudah berpuluh-puluh tahun mengabdi di pelosok tapi belum pernah merasakan kemajuan pemerataan pembangunan yang berkeadilan tetapi sudah menghasilkan ratusan generasi ditengah keterbatasannya. Jika itu menjadi bagian dari data yang dimaksud maka wajar saja tapi tentunya tak ada rasa keadilan. 

Bukan maksud membenarkan kemampuannya tapi lagi-lagi saya mengajak untuk kita melihat secara bersama dan detail lingkungan tempat mengajarnya. 

Sederhananya, bagaimana mungkin mereka ingin belajar menyetir mobil jika tak ada mobil dan jalanan yang disediakan? Atau bagaimana mungkin mereka dipaksa memahami/pandai berenang sedang mereka tak punya kolam untuk belajar berenang!

Sudahkah Anda memiliki data berapa benyak sekolah (daerah) yang belum memiliki sarana umum (listrik/sinyal). Disinilah kita kadang keliru melihat pokok persoalan yang dialami tenaga pendidikan dan sangat jarang ada yang hadir memberi solusi nyata!

Tapi meski dengan kemampuan seadanya yang dimiliki oleh para guru-guru tersebut saya pribadi tetap hormat dan tak akan meremehkannya sebab bisa jadi melalui tangan-tangan beliau telah mengasilkan generasi penerus bangsa termasuk pengamat pendidikan yang handal mengkritik guru.

Selain kedua point permasalahan yang saya uraikan diatas, penyebab lain adalah karena jarangnya ada rotasi pengajar dari perkotaan ke desa dan atau sebaliknya sehingga tak ada proses transfer ilmu antara sesama guru. Padahal itu dibutuhkan untuk penyegaran dan pembaharuan ilmu.

*****

Terakhir, "jika dikatakan bahwa Dosen dan Guru PNS itu enak, meski tidur-tiduran tetap di gaji" hemat saya ini pernyataan keliru dan menyesatkan sekaligus melukai perasaan pengabdi nomor satu di bidang pendidikan.

Bagaimana mungkin menjudge demikian, bukan tanpa alasan dan keinginan mereka sehingga terjadi demikian. Ini adalah musibah dan bencana. Keselamatan rakyatlah hukum yang tertinggi. 

Perlu kita ketahui bahwa selama wabah Covid-19 ada, baik guru yang berada dalam jaringan ataupun luar jaringan tetap melangsungkan pelayanan proses pembelajaran, baik dengan cara memanfaatkan kemajuan sosial media [IT] dan atupun mengunjungi langsung peserta didiknya yang tak terjangkaui dengan metode dalam jaringan, seperti yang kita lihat yang dilakukan oleh para guru-guru yang ada dipelosok yang mengunjungi rumah peserat didiknya untuk tetap mamastikan pemberian pelayanan pembelajaran. 

Sedang guru yang berada dalam daring mereka tetap sibuk menyiapkan dan mengevaluasi tugas/materi yang diberikan kepada siswanya. Jadi sekali lagi saya katakan pernyataan tadi sangat keliru dan sangat disayangkan. Saya justru curiga jangan-jangan oknum pengamatlah yang hanya tidur-tiduran sambil ngoceh mengkritik guru ke sana-kemari.

Wallahu a'lam bish-shawabi.

Mari bersama-sama berbenah menuju kemajuan pendidikan yang jauh lebih berkualitas.

Merdeka belajar!

Indonesia, 11 Mei 2020

Aprisal Al Nahli

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun