Mohon tunggu...
Adi Putra
Adi Putra Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

Hidup terus bergulir, kau bisa memilih diam atau mengikutinya, mengacuhkan atau mempelajarinya. Merelakan, atau meratapinya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mencari Djoko

16 April 2016   12:40 Diperbarui: 16 April 2016   12:46 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lalu mereka semua kompak memberikan pukulan bertubi kepada Rindu. Terus dan terus. Tak lagi peduli pada rintihan Rindu yang menyayat hati itu, apalagi sekedar permintaannya kepada mereka untuk berhenti melakukan itu. Lalu setelah badai kesetanan itu mereda, seakan diberi aba-aba oleh sesuatu yang entah apa, mereka kompak menghentikan sepak terjang mereka.

Rindu tak lagi bergerak.

"Mungkin sudah mati," celetuk perundung tiga.

"Baguslah, biar ia tak bernyanyi lagi," tambah perundung lima.

"Dikiranya nyanyiannya merdu apa," tak kunjung terpuaskan dahaga mencemooh si perundung delapan.

"Ayo, kita pergi dari sini," pungkas perundung satu.

---

Mata Rindu berkunang-kunang. Badannya terasa berat. Betah ia menelungkup tersungkur disitu. Pikirannya berkelana. Mungkin Pak Djoko Tukang Urut Tuna Netra benar, dia tak perlu terlalu memburu untuk mencari Pak Djoko. Tak perlu keras berlari tanpa henti. Atau malahan jangan-jangan dia sudah melewatkannya ketika memutuskan untuk terus mencari setelah sudah bertemu dengan Pak Djoko Tukang Urut Tuna Netra. Apa dia rasis, atau entah apa namanya, dengan memandang sebelah mata kepada beliau? Pembelaannya angkat bicara, dia hanya merasa bahwa bukan Pak Djoko Tukang Urut Tuna Netra yang dimaksud ayah Rindu.

Lalu siapa? Dimanakah gerangan Pak Djoko? Haruskah dia mengalami mati suri seperti ini lagi dalam pencariannya? Rindu tepekur, pipinya dia biarkan diciumi oleh debu-debu tanah. Dia belum bisa bangun dari rasa berat tubuhnya. Mungkin nanti, mungkin nanti, bila sudah bisa ia bangkit lagi.

Di atas, angin mempermainkan selembar kertas. Takdir yang mengatur ritmenya. Kertas itu lalu jatuh ke tanah. Seseorang melihatnya, dan mengambilnya. Dia lalu menatap ke arah Rindu yang masih tergeletak. Sepercik rasa tak tega menghampirinya. Diangkatnya kepala Rindu, dibersihkannya pipi Rindu dari debu-debu tanah yang sudah puas menciuminya kini. Lalu kertas tadi dia alaskan di antara bumi dan Rindu.

Rindu ingin menoleh untuk melihat siapa yang berbuat demikian, namun berat badannya belum terasa ringan. Bahkan untuk menoleh pun dia belum sanggup. Jadilah dia pasrah saja dengan perlakuan orang itu. Dan hanya bisa mengatakan terimakasih dalam hatinya, karena mulutnya juga belum bisa bersuara saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun