Mohon tunggu...
Adi Putra
Adi Putra Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

Hidup terus bergulir, kau bisa memilih diam atau mengikutinya, mengacuhkan atau mempelajarinya. Merelakan, atau meratapinya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mencari Djoko

16 April 2016   12:40 Diperbarui: 16 April 2016   12:46 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Bapak Djoko?" tanya Rindu dengan nada menggantung, setengah menanyakan apakah bapak itu bernama Djoko, setengahnya lagi memanggil bapak Djoko kepada bapak itu.

Bapak yang ditanyai tidak langsung menjawab. Seakan ragu-ragu mengenai sesuatu. Teringat olehnya peristiwa masa lalu, dimana suara lantang yang memberontak identik dengan mati. Dia sudah tak lantang lagi kini. Hidup sudah menghaluskan bagian-bagian dirinya yang tajam, hidup sudah menyelamatkannya dari masa-masa yang kelam. Dia sudah tak ingin menjadi si lantang lagi. Namun hasilnya dia menjadi peragu seperti sekarang ini. Ragu apakah gadis ini sedang mencarinya karena masalah. Masalah hutang, masalah istri orang yang dia bawa lari, atau melintas di benaknya bahwa gadis ini adalah anak haram dari masa lalu yang muncul meminta ganti rugi. Dia tidak bernama Djoko, tapi merasa terintimidasi seakan-akan demikian.

"Pak.. Djoko?" ulang Rindu dengan nada menggantung yang sama, lebih panjang dua irama.

"Ee.. bukan, Dik," jawab si Bapak yang kini peragu.

Rindu melempar senyum sopan. "Kalau begitu, apa bapak tau pak Djoko tinggal dimana?"

Bapak yang dulu lantang itu teringat dengan ancaman-ancaman. Tetiba teringat nostalgia.

"Yang jelas sudah tidak disini, Dik." Yang jelas dia dulu sudah tak ada lagi kini.

Apa maksud si bapak, adalah tadinya Pak Djoko tinggal disitu, namun sekarang sudah pindah tapi entah kemana, atau bapak ini sekedar menyatakan bahwa siapapun namanya yang pernah tinggal disitu sebelumnya, yang jelas sudah tidak ada lagi disana sekarang. Rindu menimbang-nimbang, dan memutuskan bahwa yang manapun, bapak ini tetap tidak mengetahui keberadaan pak Djoko.

"Terimakasih Pak, kalau begitu, saya permisi dulu."

---

"Bapak Djoko?" Rindu menyanyikannya lagi.

Bapak kepada siapa Rindu menyanyikan pertanyaannya menoleh. Kacamata hitamnya seakan menatap ke arah mata Rindu, atau begitu setidaknya yang Rindu rasakan. Senyum si bapak mengembang bak roti kurang bahan, senyum setengah ditahan. Karena dia tak begitu bisa mengukur senyum seperti apa yang pas untuk dia umbar. Sedang istrinya pernah mengatakan senyum lepasnya terasa menyeramkan karena gigi palsunya yang tak mau dia pasang. Sementara bagi si bapak, dia hanya akan merasa lebih palsu dengan memasang gigi palsunya. Dia orang yang apa adanya. Sedangkan perihal kacamata hitam, tak lebih karena matanya yang di mata istrinya akan tidak nyaman bagi orang-orang yang melihatnya. Begitulah orang buta. Tak dapat melihat pandangan orang yang tak dapat melihat. Melihat lebih dari sekedar luaran belaka.

"Ya, Dik, sebentar ya," lalu kembali membalikkan badannya dan melanjutkan mengurut pasien yang sedang ia tangani. "Sedang ada tamu. Adik duduk dulu saja."

"Baik, Pak," lanjut Rindu sambil duduk di sebuah kursi yang menempel di dinding. Lalu menunggu.

"Ayo, Dik, silahkan," kata Pak Djoko, Tukang Urut Tuna Netra, sebagaimana yang tertulis di depan rumahnya, sambil menunjuk ke kasur yang ada di hadapannya. Rindu lalu beranjak bangkit dan berbaring di kasur tersebut. Tetiba dia merasa sedikit lelah, sehingga pertanyaan yang tadinya dia ingin ajukan sekarang, dia tunda dulu. Mungkin setelah diurut, barulah ia akan bertanya.

Pak Djoko lalu mempersiapkan segalanya dan mulai mengurut Rindu. Tak lama dia angkat bicara,

"Wah, kecapaian ya Dik? Terasa sekali lelahmu, otot-otot yang kaku, menegang. Keseringan berlari sepertinya."

Rindu mengangguk mengiyakan, lupa bahwa Pak Djoko tidak bisa melihat.

"Hidup itu jangan terlalu diburu, Dik, nanti juga dapat. Tak perlu cemburu, nanti juga lihat."

Kata-kata itu lalu mengantarkan pikiran Rindu mengawang, dan dibarengi dengan pijitan Pak Djoko yang nyaman, Rindu pun terlelap.

---

"Pak Djoko itu siapa, Pak?" bertanya Rindu kecil kepada ayahnya.

"Ahli cinta," ayah Rindu menjawab.

"Kamu kan bertanya apa arti cinta. Kalau Bapak sih, sudah pasti tidak bisa menjawabnya. Kalau Pak Djoko, Bapak kira dia akan bisa menjawab pertanyaanmu."

Rambut di kepala Rindu kecil dielus dengan lembut oleh ayah Rindu. Rindu kecil yang matanya berbinar menatap ayah Rindu sambil berkata, "kalau begitu aku akan mencari Pak Djoko, ya Pak?", yang disambut dengan anggukkan kepala yang menenangkan dari ayah Rindu.

---

Belum sempat menyanyikan nada yang sudah ia hapal itu, Rindu sudah dirundung orang-orang.

"Si gila datang lagi, hei teman-teman!" cemooh perundung satu

"Hush, jangan dihina, dia ini orang terkenal loh.. terkenal gilanya, ha ha ha," cemooh perundung dua, yang diikuti dengan berbagai perkataan lain, cemoohan berbagai rupa dari perundung tiga, empat, lima, dan seterusnya.

Rindu tak berdaya di tengah kepungan cemoohan itu. Tapi terbersit dalam pikirannya untuk membela apa yang bisa dibilang amanat dari ayah Rindu kepadanya.

"Aku hanya ingin mencari pak Djoko, kenapa kalian begitu menghina? Apa kalian sendiri tak merasa sebagai orang yang hina dengan berlaku demikian?" angkat bicara Rindu membela diri.

"Apa kau bilang?!" perundung enam murka.

"Ayo kita beri pelajaran dia!" perundung empat belas angkat bicara.

Lalu mereka semua kompak memberikan pukulan bertubi kepada Rindu. Terus dan terus. Tak lagi peduli pada rintihan Rindu yang menyayat hati itu, apalagi sekedar permintaannya kepada mereka untuk berhenti melakukan itu. Lalu setelah badai kesetanan itu mereda, seakan diberi aba-aba oleh sesuatu yang entah apa, mereka kompak menghentikan sepak terjang mereka.

Rindu tak lagi bergerak.

"Mungkin sudah mati," celetuk perundung tiga.

"Baguslah, biar ia tak bernyanyi lagi," tambah perundung lima.

"Dikiranya nyanyiannya merdu apa," tak kunjung terpuaskan dahaga mencemooh si perundung delapan.

"Ayo, kita pergi dari sini," pungkas perundung satu.

---

Mata Rindu berkunang-kunang. Badannya terasa berat. Betah ia menelungkup tersungkur disitu. Pikirannya berkelana. Mungkin Pak Djoko Tukang Urut Tuna Netra benar, dia tak perlu terlalu memburu untuk mencari Pak Djoko. Tak perlu keras berlari tanpa henti. Atau malahan jangan-jangan dia sudah melewatkannya ketika memutuskan untuk terus mencari setelah sudah bertemu dengan Pak Djoko Tukang Urut Tuna Netra. Apa dia rasis, atau entah apa namanya, dengan memandang sebelah mata kepada beliau? Pembelaannya angkat bicara, dia hanya merasa bahwa bukan Pak Djoko Tukang Urut Tuna Netra yang dimaksud ayah Rindu.

Lalu siapa? Dimanakah gerangan Pak Djoko? Haruskah dia mengalami mati suri seperti ini lagi dalam pencariannya? Rindu tepekur, pipinya dia biarkan diciumi oleh debu-debu tanah. Dia belum bisa bangun dari rasa berat tubuhnya. Mungkin nanti, mungkin nanti, bila sudah bisa ia bangkit lagi.

Di atas, angin mempermainkan selembar kertas. Takdir yang mengatur ritmenya. Kertas itu lalu jatuh ke tanah. Seseorang melihatnya, dan mengambilnya. Dia lalu menatap ke arah Rindu yang masih tergeletak. Sepercik rasa tak tega menghampirinya. Diangkatnya kepala Rindu, dibersihkannya pipi Rindu dari debu-debu tanah yang sudah puas menciuminya kini. Lalu kertas tadi dia alaskan di antara bumi dan Rindu.

Rindu ingin menoleh untuk melihat siapa yang berbuat demikian, namun berat badannya belum terasa ringan. Bahkan untuk menoleh pun dia belum sanggup. Jadilah dia pasrah saja dengan perlakuan orang itu. Dan hanya bisa mengatakan terimakasih dalam hatinya, karena mulutnya juga belum bisa bersuara saat ini.

Lalu matanya terpaku pada kertas yang menjadi alas pelindungnya dari ciuman debu-debu tanah bumi itu. Dipandangnya huruf-huruf yang tertulis disana. Dan senyumnya terkembang sedikit. Belum penuh, karena tubuhnya masih berat, dan mulutnya masih belum bisa bersuara. Tapi dalam hatinya ia sedang tersenyum bahagia. Amanat ayah Rindu berhasil dia lakukan. Dia bertemu dengan Pak Djoko.

 

"aku ingin mencintaimu dengan sederhana; dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu

aku ingin mencintaimu dengan sederhana; dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada" - Pak Djoko*

 

April, 2016

* puisi "Aku Ingin" karya Sapardi Djoko Damono

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun