Mohon tunggu...
Riri
Riri Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Bebaskan pikiran dengan tidur

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tirai

6 Juni 2024   09:18 Diperbarui: 6 Juni 2024   09:19 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Hai, namaku Chila. Salam kenal semuanya," ucapnya dengan gembira dihadapan teman-temannya, sebelum malapetaka mengejar waktu indah di kehidupannya.

Chila Alverta, anak kelas 1 yang mengabdikan diri untuk orang tuanya, memberikan tenaga serta waktunya hanya untuk membahagiakannya. Akademiknya buruk, sangat buruk. 

Sekolah yang menerima Chila merupakan sekolah kesekian dari daftar nama sekolah terbaik, walaupun begitu murid-muridnya tidak seburuk itu. Mereka mau belajar dan mengembangkan nama baik sekolah. 

Chila termasuk salah satu orang yang beruntung disini. Dahulu saat ia masih menduduki bangku SD, Chila tak tertarik perihal perlombaan atau sejenisnya. Ia hanya ikut-ikutan mencoba hal gila bersama teman-temannya, teman-temanya yang berbeda jenis.

Ketika teman-teman lainnya mulai mampu berlomba dan mencapai nilai terbaik, Chila hanya bisa melihat, Chila tak mampu seperti mereka. Berlomba, mencapai prestasi, nilai baik, rangking. 

Hal-hal yang dapat membantu Chila untuk mencapai sekolah terarah, Chila gagal, Chila hanya mampu melukis kenangan yang bisa sewaktu-waktu dilupakan. Tapi beruntungnya, orang tua Chila tidak menuntut apapun. 

Tidak menuntut apapun, kalimat yang baik untuk alat pelecut tersakit ketika orang tua berhasil menurunkan egonya sedangkan anak tidak mampu merubah bentuk yang lebih baik. 

Di kehidupan baru ini, Chila ingin merubah semuanya, membangun ulang kesempatan yang perlahan menjadi pasti. Chila ingin tumbuh sebagai anak yang dapat membahagiakan orang tuanya, ia hanya ingin orang uanya melihat hasilnya tanpa tahu jerih payahnya. Tapi ternyata misi ini tidak diindahkan oleh primadona sekolah. 

Bagaimana tidak? 

Ketika nilai dipajang di mading, merekalah yang menempati posisi pertama dan kedua dengan perbedaan nilai yang sangat besar. Kami mungkin mencapai nilai rata-rata 89 sampai 91, sedangkan mereka dapat mencapai rata-rata 93 sampai 95.

Apa tidak ciut mental Chila? 

Terlebih dua pangeran sekolah ini selalu merendahkan Chila, mengganggu ketenangan Chila dan apesnya Chila mendapatkan hal ini setiap jam. 

"Widih, si nolep udah dapat temen nih," katanya mengejek, setelah berhasil mencomot makanan Chila.

"Chil, pergi yu," ajak Diandra pada Chila. 

"Ga punya uang? Sampai makanan orang aja kalian rebut," cetus Chila yang otomatis membuat seisi kelas memandangnya.

Primadona sekolah itu termangu, "Bukan ga punya uang beb, kita lagi nabung buat beli kamu kali ya?" Seisi kelas tertawa, Chila merasa aneh kenapa orang-orang menertawai hal konyol seperti itu, tapi karena memang dasarnya bodo amat. Chila memilih melanjutkan acara makannya yang tertunda oleh mereka. 

Jam pelajaran matematika, mimpi buruk bagi yang terkena ulangan mendadak. Chila yang tidak pernah belajar ini dan belajar hanya saat ulangan saja. Kini bertemu dengan guru yang pelupa tapi keras kepala.

Guru ini bersikeras bahwa beliau telah memberikan informasi dua hari sebelum ujian, di saat mata pelajarannya berlangsung. Murid kelas 1-G mempertanyakan catatan yang biasanya beliau tulis ketika mau mengadakan ujian. 

Bu Ra mengecek catatan yang ada di ponselnya, dan nama kelas 1-G tidak tertara. Namun, guru ini kekeh untuk melakukan ujian. Padahal dulu Bu Ra membuat perjanjian pada angkatan mereka, jika ada ujian maka akan tertulis di memo itu dan sayangnya Bu Ra juga melupakan perjanjian itu.

Waktu masih berjalan sekitar sepuluh menit, dan kertas di meja guru telah tertumpuk dua buah yang tertuliskan nama Jerry dan Usha. Nama primadona sekolah Dahsyiat.

Dua Primadona itu diizinkan untuk keluar kelas, sedangkan Chila yang berharap cepat selesai karena otaknya juga sudah mulai melepuh hanya bisa menggerutu tak karuan di bangkunya. Nyali sudah terkumpul, doa sudah diperuntukan kepada yang maha kuasa, akhirnya Chila berhasil bebas. 

"Jangan ngerokok di area sekolah," tegur seorang gadis yang menyandang sebagai ketua osis. 

"Kenapa? Mau lapor?" ucapnya tanpa memandang lawan bicaranya. 

"Kalo kamu ga ngulangin lagi, aku ga bakal laporin." 

Seseorang tiba-tiba mendekap tubuh rampingnya, "Oh iya?" 

"Woi!! Apa-apaan sih lu!?" 

"Santai, cuman ngerusak reputasi lu kok," Jerry mengambil ponselnya lalu membuka aplikasi pengabadian aib.

"Lepas ga!! Saya lapor ke--"

Cekrek

"Utututu, lucu banget sih kak. Coba aja kalo ga sama bang Boy." 

"Apa-apaan kalian!?" seru pak Muh dari arah belakang.

"Eh bapak, tadi kami lagi foto-foto doang kok," Usha membekap mulut gadis osis itu.

"Jerry! Usha! Kembali ke kelas kalian!" 

"Siap!" Usha melepas dekapannya, lalu meragakan hormat bendera pada pak Muh, setelahnya merangkul Jerry untuk sama-sama keluar dari area kamar mandi.

Chila mendengar pembicaraan mereka dari awal hingga akhir di balik tembok. Jika ia kesana akan menambah hal buruk, maka dari itu cara terbaik adalah mengundang pak Muh untuk menyelesaikan masalah ini. 

Nyatanya pak Muh hanya sebagai figuran disana. Pak Muh disuap untuk tidak membocorkan perilaku mereka berdua di area sekolah, semuanya termasuk perbuatan bajingan.

Chila menceritakan kejadian ini ke bundanya, tapi justru ayahnya yang meluapkan emosinya. Keluarga kecil itu sedikit berunding tentang hal ini, bundanya tidak mau Chila ikut campur. Sedangkan ayahnya tidak mau kejujuran hilang di era ini. 

Kok sedikit nyesel ya, Chila membatin di tengah pertengkaran kecil kedua orang tuanya.

"Mbak Chila ..!" sapa seseorang dari kejauhan. Dia Tavi, adik sepupu Chila yang sangat dekat dengannya. 

"Kenapa ini lebam?" tanya Chila yang langsung tertuju pada tangan kananya. 

"Oh ... tadi cuman jatuh," katanya sambil mengusap-usap area yang lebam. 

"Cuman?" tanyanya memastikan dan sang empu menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. 

"Apa nih? Mau jogging?" ejek seseorang dengan tangan yang sudah bertengger di bahu Chila. Chila menepisnya kasar, menarik lengan Tavi dan melenggang pergi dari hadapan mereka. 

"Siapa tadi?" 

"Hah?" 

"Itu loh ... yang tadi," Tavi mencoba memberikan petunjuk dengan dagunya ke arah lapangan, tapi Chila enggan untuk menoleh. 

Bugh

"Mbak! Ga papa kan? Mbak La?? Mau ngapainn??" Tavi panik melihat Chila mengambil bolanya kasar dan dengan amarah menuju ke tengah lapangan.

"Kece kayak gitu? Gak! Kenapa sih kalian suka ganggu orang yang lemah??" Chila melemparkan bolanya ke hadapan lawan bicaranya dan ditangkap mudah oleh sang empu.

"Kalau tau lemah, ga usah sok jadi pahlawan." 

"Kalau tau ga bisa famous, ga usah sok jadi primadona." 

"Bisa." 

"Gak! Kalian ga bisa, kalian cuman mengandalkan jabatan orang tua dan harta!!" pungkas Chila meluapkan semua emosinya yang ia bendung 3 tahun ini.

"Memang, ga ada masalah dengan itu Chila. Selagi manusia masih mau disuap menyuap, itu bukan salah kaminya."

Chila bertepuk tangan dengan lontaran kalimat yang baru saja terjun dari mulutnya, kata-kata realistis yang kurang tepat bagi anak seusia mereka. 

"Ya, kamu benar. Tapi kalau kamu bisa memanfaatkan hartamu itu untuk keperluan anak-anak di luar sana yang ga punya rumah, untuk keperluan anak-anak yang terkena genosida, itu jauh lebih baik Jer. Kepribadianmu cukup baik untuk mengelola hal yang bisa kamu kelola, kamu hanya terlalu patuh pada seseorang di balik ini, Sha.

Kalian bisa melakukan hal lebih dari ini, lebih bermakna di hadapan semua orang dan lebih baik di hadapan Tuhanmu. Perbaiki semua masalah kalian, semuanya termasuk yang dapat menghentikan masa sekolahmu."

"Terima kasih nasihatnya, Chila Alverta. Tapi saya memprogram mereka agar menjadi anak patuh. Saya akui kata-katamu sangat dalam sampai hampir merubah kedua anak kebanggaan saya. Mereka harus menjadi bintang dari segala bintang, saya tidak mau anak saya bersama orang berkalangan rendah seperti kamu. 

Saya memasukkan mereka di sekolah buntut itu, agar kalian tahu siapa rajanya. Siapa yang berkuasa disini!"

Tang

"Untung ayah kamu ga kayak gitu."

"Bunda!!" Chila memeluk erat bunda perkasanya, bersamaan dengan Tavi yang dipeluk oleh ayahnya. 

"Peluk kami dong, Yah!" 

"Chila!! Teman kamu, gilani!" 

Tawa pecah ketika dua primadona itu bermain kejar-kejaran dengan ayah Chila. Sedangkan ayah kandung mereka, terpaksa di penjara. Selain mengembangkan cip yang tidak di setujui oleh pemerintah, ternyata ia juga mengambil hasil jerih payah uang rakyat dan mempergunakan uang tersebut untuk keperluannya.

Usha dan Jerry sepakat untuk membagikan lagi gaji rakyat, dan sisanya untuk membantu anak-anak di luar sana. Setelahnya Jerry dan Usha mengaku kejahatannya pada polisi, namun karena mereka terpengaruh oleh cip yang dipasang ayahnya. Akhirnya mereka tidak di jebloskan ke dalam jeruji besi. 

"Perlu saya bantu untuk keluar dari sini, Pak Alverta?" 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun