Mohon tunggu...
Any Sukamto
Any Sukamto Mohon Tunggu... Penulis - Belajar dan belajar

Ibu rumah tangga yang berharap keberkahan hidup dalam tiap embusan napas.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Mabrur

18 Juni 2020   16:28 Diperbarui: 18 Juni 2020   16:21 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi oleh Glady on Pixabay.com

Hampir sebulan ini, Bulik kulihat selalu mondar-mandir membuka lemari pakaiannya. Baju-baju baru yang niatnya akan dikenakan saat ibadah haji nanti telah ditata khusus dan terpisah dengan yang lainnya.

"Biar nanti kalo kopernya sudah datang tinggal masukkan saja, Nduk, jadi ndak ada yang ketinggalan," jawabnya, ketika suatu hari kutanya mengapa selalu membuka lemari baju menatanya berulang.

Bulik memang akan berangkat menunaikan ibadah haji tahun ini. Perlengkapan yang bisa disiapkan jauh-jauh hari sudah mulai dicicilnya. Baju-baju dan perlengkapan lain yang harus dibawa telah tertata rapi di tempat khusus agar tak tercampur.

"Besok antar Bulik beli oleh-oleh, ya, Nduk. Mumpung masih sepi, nanti kalo bareng sama yang lain malah ndak bisa milih."

"Apa nggak sebaiknya kita tunggu pengumuman pemerintah saja, Bulik. Kan musimnya masih begini, bisa jadi nggak ada ibadah haji tahun ini," saranku.

"Halah, ndak apa-apa. Perasaan Bulik pasti berangkat, kok. Kan di Mekkah sudah dibuka lagi, to?" Bulik masih berkeras akan berangkat tahun ini.

Aku pun hanya mengikuti maunya, mengantar belanja keperluan untuk ibadahnya di tanah suci. Meski dalam hati aku ragu akan keberangkatan Bulik.

Bulik adalah adik ayahku yang terkecil. Aku diasuhnya sejak kecil karena ia tidak mempunyai anak kandung. Suaminya telah berpulang tiga tahun yang lalu karena kecelakaan.

"Ini bagus, ya, Nduk. Andai Paklikmu masih ada, dia pasti akan senang dengan motif ini. "

Sebuah sarung bermotif kotak-kotak kombinasi warna hitam dan abu-abu diangkatnya. Dilihatnya dan diputar berkali-kali barang tersebut. Tampak Bulik ingin sekali membelinya.

"Bulik ingin membelinya?" tanyaku memberanikan diri.

"Tapi untuk siapa, ya, Nduk? Cuma Paklikmu yang senang motif ini," jawab Bulik sedikit ragu. "Tapi ndak apa-apalah. Biar nanti Bulik aja yang pakai, bisa untuk bawahan mukena."

***

Sudah seminggu ini aku dan Bulik keliling beberapa toko mencari perlengkapan ibadah haji dan oleh-oleh yang akan dibagikan nanti. Bulik benar-benar telah siap berangkat, segalanya telah tersedia di rumah.

"Bulik, siang ini ada pengumuman dari menteri agama terkait keberangkatan ibadah haji, lho. Ini saya nunggu beritanya, masih setengah jam lagi."

"Iya, Bulik mau rebahan dulu, ya. Rasanya badan Bulik capek sekali hari ini."

Benar apa yang kuperkirakan sebelumnya, pemerintah tidak akan memberangkatkan jemaah haji dalam kondisi seperti sekarang ini. Virus yang telah menyebar ke seluruh dunia akan lebih sulit dikendalikan.

Terlebih lagi, saat di Mekkah atau Madinah nanti pasti berkumpul orang dari berbagai dunia. Bukan perkara mudah untuk memastikan jamaah yang berangkat ke sana benar-benar sehat dan tidak sedang terjangkit virus mematikan itu.

Bisa jadi jamaah itu sehat, tetapi jika dia adalah orang tanpa gejala dan pembawa virus tersebut. Bagaimana dengan nasib jamaah lain jika tertular?

Sampai sore Bulik belum juga bangun, tak biasanya ia tidur sepulas itu. Saat azan berkumandang biasanya segera bangun dan mandi lalu salat. Kali ini benar-benar terlelap.

Aku berniat membangunkannya pelan-pelan, sudah tepat pukul empat Bulik belum salat Asar. Pasti nanti jadi bingung dan akan tergesa-gesa melaksanakannya.

"Bulik, sudah sore, nggak bangun salat dulu? Sudah jam empat," bisikku pelan sambil membelai lengan Bulik.

"Sudah jam berapa ini? Badanku rasanya sakit semua," jawab Bulik pelan dengan mata tetap tertutup.

Aku segera mengambilkan air putih dan berusaha meminumkannya saat ia masih rebah. Namun, Bulik menolak dan berusaha bangun sendiri.

Aku mulai curiga dengan kondisi Bulik. Ah, mana mungkin Bulik kena covid, masker dan pembersih tangan tak pernah ketinggalan dan selalu dikenakan.

Sambil jalan sempoyongan Bulik menuju kamar mandi, aku tak tega melihatnya. Wanita yang usianya menginjak enam puluh tahun itu terlihat lemah.

Usai salat Asar, aku membujuknya untuk pergi ke dokter. Bulik masih berkeras hanya kecapaian dan hanya butuh istirahat. Aku pun membiarkannya istirahat dan hanya membangunkannya jika waktu salat tiba. Makanan pun hanya sedikit yang masuk.

Malam saat tertidur kudengar Bulik terbatuk-batuk. Sesekali reda, tetapi terdengar batuk lagi beberapa saat kemudian. Kubangunkan dan memberinya air putih hangat untuk meredakan rasa gatal di tenggorokannya, seperti yang ia keluhkan.

Pagi itu, usai salat Subuh aku membangunkan Bulik. Semakin lemah kondisinya. Kuseka wajah dan tangannya, kusarankan ia tayamum saja untuk salat Subuh kali ini, lalu mukena kukenakan agar salat dengan posisi tidur.

Saat mentari telah terbit dan terlihat beberapa tetangga mulai berlalu lalang, aku berniat membawa Bulik ke rumah sakit. Dengan bantuan tetangga yang memiliki mobil, aku membawa Bulik ke IGD terdekat.

Berdasarkan informasi yang aku berikan, Bulik pun segera ditangani dengan protokol penanganan pasien penderita covid. Segera diarahkan terpisah ke bagian penerima pasien baru dengan diagnosa covid.  

Aku hanya bisa menunggunya dari jauh. Tak bisa lagi mendekati Bulik yang terbujur lemah. Sambil mengurus semua administrasi dan menunggu hasil laborat, aku juga mendapat kesempatan melakukan rapid test.

Bersyukur hasil testku negatif, sedangkan Bulik belum diketahui hasilnya karena harus melakukan swab test lebih dulu. Ditemukan adanya pneumonia saat paru-parunya dirontgen, karena alasan itulah harus melakukan swab test.

Kuhubungi beberapa saudara dekat dan tetangga, tetapi tak kubolehkan mereka mendatangi rumah sakit. Biarlah hanya aku yang sudah kepalang jauh mengurus semua ini. Jika aku butuh sesuatu mereka cukup mengirimkannya lewat jasa kiriman ojek.

Tiga hari menunggui Bulik di rumah sakit, meski tak bisa mendekatinya aku tak tega meninggalkannya pulang. Jarak dari rumah sakit ke rumah Bulik hanya 4 kilometer, aku pulang hanya untuk mandi dan berganti baju lalu berangkat lagi.

Ilustrasi oleh Pixabay.com
Ilustrasi oleh Pixabay.com
Pagi itu, hasil swab menyatakan Bulik positif covid-19. Aku diminta menandatangani segala berkas yang berkaitan dengan protokol penyembuhan. Termasuk menandatangani berkas yang menyatakan setuju atas segala tindakan yang akan diambil pihak rumah sakit jika sesuatu terjadi pada pasien dan tanpa menghubungi pihak keluarga.  

Aku bingung, saat ini memang hanya aku kerabat terdekat. Akan tetapi, jika harus menandatangani berkas itu, bagaimana nantinya jika aku disalahkan oleh keluarga yang lain.

Tak bisa menunggu lama, aku harus segera menandatangani berkas tersebut agar Bulik segera mendapat perawatan yang lebih sesuai. Entah nanti apa yang akan terjadi selanjutnya, saat ini yang aku pikir hanya kesembuhan Bulik, wanita yang telah merawat aku dari kecil.

***
Secarik kertas kuterima dari perawat, di situ tertulis pesan Bulik yang ditujukkan untukku.

[Bulik minta tolong, bagikan saja oleh-oleh haji yang kita beli kemarin. Bulik sudah tahu kalo tahun ini tidak ada pemberangkatan jamaah ke tanah suci. Tapi Bulik tetap ingin berangkat, karena Paklikmu sudah menunggu di sana. Bagikan ke tetangga, terlebih yang membutuhkan. Juga untuk panti asuhan jangan lupa. Sisakan beberapa untukmu, dan saudara lain, ya, Nduk. Sebagai kenang-kenangan dari Bulik.]

Aku membaca sambil meneteskan air mata, bagaimana mungkin Bulik yang terbaring lemah bisa menuliskan pesan dengan tangannya sendiri. Sungguh luar biasa semangatnya, Bulik pasti sembuh, pikirku.

Tak lama berdiam diri, aku pun pulang mengambil barang yang dimaksud Bulik. Beberapa kupercayakan tetangga untuk membagikannya. Beberapa lagi kukirim sendiri langsung ke panti asuhan, setelah kusisakan beberapa untukku dan saudara lain.

Kuminta anak panti untuk ikut mendoakan kesembuhan Bulik. Sebagaimana selama ini, Bulik selalu mengunjungi mereka untuk berbagi sedikit rezeki dan minta doa mereka untuk kesehatan dan rezeki yang berkah.

Malam itu, usai membagikan semua barang sesuai dengan keinginan Bulik, aku merasa sangat lelah dan ingin tidur di rumah. Semalam saja mungkin tak akan berpengaruh, pikirku.

Tiba-tiba HP-ku berdering, telepon dari salah satu perawat di rumah sakit mengabarkan kalau Bulik sedang kritis. Aku lalu bergegas menuju ke sana, tak kurasakan lagi lelah yang ada.

Dingin malam bukan lagi menjadi penghalang langkahku mendekati Bulik yang sedang berjuang melawan maut. Letih bukan lagi alasan aku meninggalkan wanita yang telah berjasa dalam hidupku.

Ketika aku baru sampai dan duduk di ruang tunggu, tiba-tiba terdengar panggilan dari pengeras suara yang ditujukan untuk keluarga pasien atas nama Siti Aminah. Aku langsung bangkit, itu adalah nama lengkap Bulik.

Kudatangi ruang pemanggilan itu, seorang perawat memintaku duduk dengan tenang dan sabar, sambil menjelaskan kondisi Bulik yang sudah mulai membaik. Namun tidak menutup kemungkinan akan drop lagi.

Aku lega, tak seperti yang kubayangkan sebelumnya tentang kondisi Bulik. Melangkah ke luar ruangan sambil mengucap syukur, Bulik semakin membaik.

Jarum jam menunjukkan pukul tiga dini hari. Aku menuju musala untuk bermunajat, memohon kesembuhan yang lebih baik bagi Bulik. Menunggu sekalian hingga salat Subuh, aku baru kembali ke ruang tunggu.

Panggilan kudengar lagi, nama Bulik yang disebut. Namun aku tak begitu khawatir, karena kondisi Bulik sudah mulai membaik.

Begitu perawat duduk dan menyerahkan secarik kertas sambil menjelaskan keadaan Bulik, jantungku berdetak kencang, keringat dingin pun mulai membasahi tubuh.

"Ini kami temukan di genggaman jenazah Ibu Siti Aminah, almarhumah sudah berhaji dan insyaallah mabrur," kata perawat sambil menunjukkan kertas bertuliskan


[Bulik sudah berangkat haji, Nduk. Doakan mabrur, ya.]

Tamat

Sidoarjo, 18 Juni 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun