Tiba-tiba HP-ku berdering, telepon dari salah satu perawat di rumah sakit mengabarkan kalau Bulik sedang kritis. Aku lalu bergegas menuju ke sana, tak kurasakan lagi lelah yang ada.
Dingin malam bukan lagi menjadi penghalang langkahku mendekati Bulik yang sedang berjuang melawan maut. Letih bukan lagi alasan aku meninggalkan wanita yang telah berjasa dalam hidupku.
Ketika aku baru sampai dan duduk di ruang tunggu, tiba-tiba terdengar panggilan dari pengeras suara yang ditujukan untuk keluarga pasien atas nama Siti Aminah. Aku langsung bangkit, itu adalah nama lengkap Bulik.
Kudatangi ruang pemanggilan itu, seorang perawat memintaku duduk dengan tenang dan sabar, sambil menjelaskan kondisi Bulik yang sudah mulai membaik. Namun tidak menutup kemungkinan akan drop lagi.
Aku lega, tak seperti yang kubayangkan sebelumnya tentang kondisi Bulik. Melangkah ke luar ruangan sambil mengucap syukur, Bulik semakin membaik.
Jarum jam menunjukkan pukul tiga dini hari. Aku menuju musala untuk bermunajat, memohon kesembuhan yang lebih baik bagi Bulik. Menunggu sekalian hingga salat Subuh, aku baru kembali ke ruang tunggu.
Panggilan kudengar lagi, nama Bulik yang disebut. Namun aku tak begitu khawatir, karena kondisi Bulik sudah mulai membaik.
Begitu perawat duduk dan menyerahkan secarik kertas sambil menjelaskan keadaan Bulik, jantungku berdetak kencang, keringat dingin pun mulai membasahi tubuh.
"Ini kami temukan di genggaman jenazah Ibu Siti Aminah, almarhumah sudah berhaji dan insyaallah mabrur," kata perawat sambil menunjukkan kertas bertuliskan
[Bulik sudah berangkat haji, Nduk. Doakan mabrur, ya.]
Tamat