Betapa busuk hatimu Ratna. Kau korbankan persahabatan kita demi cinta yang belum tentu kau dapat, pikirku.
Sungguh tak menyangka, Ratna -- sahabatku-- yang selama ini selalu menemani ternyata tega menusukku dari belakang.
"Ranti ...! Ranti ...! Hallo ...! Kamu masih di sana?" teriak Arman mengejutkanku.
"Iya, aku masih di sini." Suaraku meninggi, tak kutunjukkan kalau hatiku telah hancur berkeping-keping.
"Sudah ... kamu doakan saja dia sukses di sana. Biar dia bisa segera pulang menjemputmu. Harusnya kemarin kamu dukung dia, kamu semangati, bukan malah berat melepasnya. Dia sebenarnya juga berat meninggalkanmu. Tapi, toh, itu demi masa depan kalian." Kalimat Arman benar-benar membuat aku tersadar.
Aku merasa bersalah, bodoh, penuh amarah dan emosi. Tidak bisa mengendalikan diri. Bahkan, demi orang yang kucintai pun aku tak mau mengalah.
Emosiku tak terkendali, lebih-lebih terhadap Ratna, sungguh menyakitkan perilakunya, berusaha mendapatkan cinta Mas Ardy dengan menyingkirkanku. Aku baru teringat, dulu Ratna pernah bertanya, bagaimana jika dia juga mencintai Mas Ardy. Namun, aku tak pernah menghiraukannya.
Air mata berurai, di hari yang sama dengan Mas Ardy pergi meninggalkan Surabaya. Aku mengurung diri karena kebodohanku. Menyesali amarahku, meratapi rasa cemburuku yang telah menutup akal sehatku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H