Pagi itu, aku ingin memastikan hari keberangkatannya. Terdengar ibunya Mas Ardy yang mengangkat telepon.
"Ibu, ini dengan Ranti, maaf pagi-pagi mengganggu Ibu, Mas Ardy masih sibuk, Bu?" Aku tahu, beberapa hari terakhir ini Mas Ardy sudah resign dan sibuk dengan persiapan berangkat ke Jakarta.
"Lhoh ... 'kan Ardy sudah berangkat, Mbak Ranti. Tadi pesawat jam 6 pagi, lupa, ya?" Suara Ibu membuat hatiku menjerit.
"Oh, sudah berangkat? Baik, Bu. Iya maaf, saya lupa. Terima kasih, Bu." Kuletakkan gagang telepon sambil berurai air mata. Mas Ardy benar-benar pergi tanpa pamit padaku.
Air mata kian deras mengalir, tak terbendung seiring penyesalanku atas kepergian lelaki yang sangat kucintai. Seolah semua ikut terkuras bersama hilangnya bayangan Mas Ardy. Aku benar-benar kehilangan dan rapuh.
Kucoba hubungi Arman, mungkin ada sedikit pesan yang dia titipkan. Aku berharap ada sedikit ucapan yang membuatku kuat.
"Arman, tidak ikut antar Mas Ardy ke bandara? Jam berapa berangkatnya? Katanya masih lusa?" tanyaku beruntun.
"Kamu kemarin ke mana, Neng? Ditungguin sampai malam nggak datang-datang. Ada Ratna, kenapa nggak diusahakan datang?" Jawaban Arman semakin menyayat hatiku.
"Apa? Ratna datang? Tapi dia tidak memberitahuku," tanyaku balik.
"Dia bilang kamu sedang kerja. Masuk malam."
"Padahal aku ada di rumah, kok."