Siang itu, di butik tempatku bekerja. Tiba-tiba saja aku ingin menelepon Mas Ardy. Hanya ingin menanyakan kabarnya. Namun, yang menerima telepon ibunya. "Ibu, ini dengan Ranti, bisa minta tolong bicara dengan Mas Ardy, Bu?" tanyaku sopan.
"Oh, Mbak Ranti, kebetulan Ardy lagi ke luar. Katanya mau ngurus surat apa gitu. Kan lusa mau dibawa berangkat, suratnya masih belum lengkap, nanti telpon lagi saja, ya," jawab Ibu.
"Oh, maaf, memangnya Mas Ardy mau pergi ke mana, Bu?"
"Lho, apa Mbak Ranti nggak dikasih tahu? Ardy apa nggak cerita? Kan dia mau kerja di Jakarta. Lusa berangkatnya. Nanti telpon lagi aja, ya," anjur Ibu.
"Eee ... iyaa ... Bu. Terima kasih," gugup aku mendengar kabar yang disampaikan ibu. Lelaki yang kucintai akan jauh meninggalkanku.
Kuletakkan gagang telepon dengan lemas. Berarti Mas Ardy pergi ke klinik untuk test kesehatan. Sekarang dia sudah diterima dan akan berangkat ke Jakarta. Kenapa dia tidak cerita padaku?
Sore sebelum usai jam kerja, kucoba menghubungi Mas Ardy lagi.
"Mas, benar Mas Ardy mau kerja di Jakarta? Tadi aku telepon, Ibu bilang begitu. Benarkah, Mas?" Dari suaraku yang serak, Mas Ardy tahu kalau aku sedang risau.
"Aahh, enggak kok. Kata siapa?" elak Mas Ardy.
"Ayolah, Mas, katakan yang sesungguhnya. Jangan buat aku penasaran." Suaraku naik terdengar di ujung sana, dan itu ditangkap oleh Mas Ardy sebagai rasa takut kehilangan.
"Yang bilang kan Ibu, bukan aku. Tanya aja lagi sama Ibu. Aku enggak ke mana, kok," jawab Mas Ardy, membuat aku benar-benar tidak bisa menguasai diri.
"Baiklah, Mas, kalau nanti memang jadi berangkat ke Jakarta, jangan telpon aku, ya. Jangan pamit  padaku. Assalamualaikum." Sambil tergugu kututup telepon. Aku segera berbenah pulang.
Hingga larut malam, aku risau memikirkan ucapanku pada Mas Ardy. Ada perasaan yang bergejolak. Antara takut kehilangan, dan marah karena tak ada kejujuran dari Mas Ardy. Aku pun tak bisa bersikap dewasa menghadapi keadaan ini.
Aku tersadar, emosiku berlebihan. Tidak seharusnya bersikap begitu, mengucapkan kata-kata yang tak sepantasnya pada Mas Ardy. Aku akan minta maaf atas semua ucapan dan sikapku.
Matahari mulai meninggi, kulihat jam dinding sudah melewati pukul 8.00. Kuangkat gagang telepon, suara berat di sana tiba-tiba membuat jantungku berdetak. Suara khas Mas Ardy yang ingin kudengar. Sesaat kami saling diam. Hanyut dalam perasaan masing-masing.
"Ranti, kamu masih di situ?" tanya Mas Ardy.
"Eeee ... iya, Mas Ardy apa kabar? Aku minta maaf, ya, Mas. Aku cuma mau tanya, kapan pastinya Mas Ardy berangkat?" Suaraku memelas.
"Insyaallah lusa, pesawat pagi," jawabnya pelan.
"Baiklah, ya sudah Mas, gitu saja. Mas Ardy jaga diri baik-baik, ya. Terima kasih." Segera kuakhiri telepon. Diam sesaat, mengingat pembicaraan kami.
Aku ingin memberi sedikit kenangan untuk Mas Ardy. Lalu, kuputuskan untuk membeli sajadah dan peci hitam untuk salat. Aku ingin agar ia selalu ingat kewajibannya yang utama.
Kubungkus rapi kenangan yang akan kuberikan dengan hati risau. Namun, apa boleh buat, toh, semua untuk masa depannya. Semoga ini yang terbaik untuk dunia dan akhiratnya.
Kuantar bingkisan itu sebelum berangkat kerja. Kutelepon Mas Ardy lebih dulu, kupastikan dia ada di rumah dan menerima langsung bingkisanku. Bingkisan penuh harap, agar dia selalu mengingatku setiap dia akan salat.
Pintu rumah bernomor 2 itu masih tertutup, pelan kuketuk dan segera pemiliknya keluar. Mas Ardy yang membuka pintu sedikit terkejut, tak menyangka aku akan tiba sepagi itu.
"Sama siapa kamu? Sendiri?" Masih tak percaya, dia melihatku datang seorang diri.
"Hhmm, berani kamu jauh-jauh ke sini sendiri, ayo masuk!" Sambil membuka daun pintu yang sebelah lagi Mas Ardy mempersilakan masuk.
Dari belakang, ibunya juga menyambut kedatanganku. "Ooh, Mbak Ranti? Ayo, masuk dulu, Mbak." Dengan ramah ibu menyambutku.
"Baik, terima kasih, Bu, maaf mau mengganggu Mas Ardy sebentar," jawabku singkat.
"Mas, maaf, aku gak lama, ya, aku cuma mau antar ini saja. Maaf kalo kurang berkenan. Semoga bisa bermanfaat." Sambil kuserahkan bingkisan untuk Mas Ardy.
"Trus, maksudmu jauh-jauh ke sini apa kalau hanya sebentar?" Pandangan tajam itu, tak sanggup aku membalasnya.
"Iya, Mas, maaf aku harus kerja setelah ini. Aku pamit. Dipakai, ya, semoga ini bermanfaat."
Aku segera berlalu dari pandangan itu. Tak kuasa menahan air mata yang segera tumpah.
***
Aku tak tahu kalo Mas Ardy sudah berencana mengadakan pertemuan di rumah Mas Rendra sebagai acara pamitan. Mungkin, karena dia tidak ingin melihatku bersedih, sehingga aku tak diundangnya. Hanya Ratna, Arman, Andra dan Mas Rendra yang hadir pada acara tersebut.
Pagi itu, aku ingin memastikan hari keberangkatannya. Terdengar ibunya Mas Ardy yang mengangkat telepon.
"Ibu, ini dengan Ranti, maaf pagi-pagi mengganggu Ibu, Mas Ardy masih sibuk, Bu?" Aku tahu, beberapa hari terakhir ini Mas Ardy sudah resign dan sibuk dengan persiapan berangkat ke Jakarta.
"Lhoh ... 'kan Ardy sudah berangkat, Mbak Ranti. Tadi pesawat jam 6 pagi, lupa, ya?" Suara Ibu membuat hatiku menjerit.
"Oh, sudah berangkat? Baik, Bu. Iya maaf, saya lupa. Terima kasih, Bu." Kuletakkan gagang telepon sambil berurai air mata. Mas Ardy benar-benar pergi tanpa pamit padaku.
Air mata kian deras mengalir, tak terbendung seiring penyesalanku atas kepergian lelaki yang sangat kucintai. Seolah semua ikut terkuras bersama hilangnya bayangan Mas Ardy. Aku benar-benar kehilangan dan rapuh.
Kucoba hubungi Arman, mungkin ada sedikit pesan yang dia titipkan. Aku berharap ada sedikit ucapan yang membuatku kuat.
"Arman, tidak ikut antar Mas Ardy ke bandara? Jam berapa berangkatnya? Katanya masih lusa?" tanyaku beruntun.
"Kamu kemarin ke mana, Neng? Ditungguin sampai malam nggak datang-datang. Ada Ratna, kenapa nggak diusahakan datang?" Jawaban Arman semakin menyayat hatiku.
"Apa? Ratna datang? Tapi dia tidak memberitahuku," tanyaku balik.
"Dia bilang kamu sedang kerja. Masuk malam."
"Padahal aku ada di rumah, kok."
Betapa busuk hatimu Ratna. Kau korbankan persahabatan kita demi cinta yang belum tentu kau dapat, pikirku.
Sungguh tak menyangka, Ratna -- sahabatku-- yang selama ini selalu menemani ternyata tega menusukku dari belakang.
"Ranti ...! Ranti ...! Hallo ...! Kamu masih di sana?" teriak Arman mengejutkanku.
"Iya, aku masih di sini." Suaraku meninggi, tak kutunjukkan kalau hatiku telah hancur berkeping-keping.
"Sudah ... kamu doakan saja dia sukses di sana. Biar dia bisa segera pulang menjemputmu. Harusnya kemarin kamu dukung dia, kamu semangati, bukan malah berat melepasnya. Dia sebenarnya juga berat meninggalkanmu. Tapi, toh, itu demi masa depan kalian." Kalimat Arman benar-benar membuat aku tersadar.
Aku merasa bersalah, bodoh, penuh amarah dan emosi. Tidak bisa mengendalikan diri. Bahkan, demi orang yang kucintai pun aku tak mau mengalah.
Emosiku tak terkendali, lebih-lebih terhadap Ratna, sungguh menyakitkan perilakunya, berusaha mendapatkan cinta Mas Ardy dengan menyingkirkanku. Aku baru teringat, dulu Ratna pernah bertanya, bagaimana jika dia juga mencintai Mas Ardy. Namun, aku tak pernah menghiraukannya.
Air mata berurai, di hari yang sama dengan Mas Ardy pergi meninggalkan Surabaya. Aku mengurung diri karena kebodohanku. Menyesali amarahku, meratapi rasa cemburuku yang telah menutup akal sehatku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H