Mohon tunggu...
Any Sukamto
Any Sukamto Mohon Tunggu... Penulis - Belajar dan belajar

Ibu rumah tangga yang berharap keberkahan hidup dalam tiap embusan napas.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Bukan Pinus Biasa

17 Maret 2020   09:43 Diperbarui: 17 Maret 2020   09:42 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bukan Pinus Biasa

Pagi itu, saat upacara  pemberangkatan yang dilakukan oleh Kepala Sekolah, aku tak melihat Rama di antara para senior.

"Kenapa, Mel? Celingukan, seperti angsa nelan truk aja!" tanya Tina.

"Emang tu angsa dari  negeri mana?  Ngemilnya aja truk," elakku sebel.

"Cari Rama, ya?"

"Pakek nanya lagi." Sambil kulempar kulit manggis ke wajah Tina.

"Eeiit ...," Tina mengelak. Walhasil, kena kepala Kak Indah yang berdiri di belakangnya.

Dia memandangku dengan wajah wereworf di bulan purnama. Membuatku merinding.

"Ciiee! Dia kepala suku, pasti ikut. Nggak boleh ketinggalan. Kamu suka, ya?" Setengah berbisik Tina balik bertanya.

Rombongan berangkat usai Kepala Sekolah memberi wejangan panjang lebar --sepanjang pesisir Indonesia. Hanya dua barisan dari depan yang rapi, sisanya di belakang berkerumun seperti emak-emak mengocok kertas arisan.


 Perjalanan dua jam kami tempuh dengan mengendarai truk, yang biasa digunakan mengangkut tentara.

Sesampainya di area perkemahan, tugas  junior mendirikan tenda, senior pun sibuk mempersiapkan dapur umum dan tenda komando.

Sebagian memasak makanan untuk siang nanti, konon katanya menu siang ini sop tulang sapi, asli tulang tanpa daging.

"Ayo! Jo ... Paijo. Selesaikan tenda sebelum gelap!" Suara Kak Pras memecah keseriusan peserta.

Terlihat Rama sudah ada di tenda komando. Dia sedang berbincang dengan peserta lain.

"Mel, itu kan Rama. Kapan datangnya?" tanya Tina sambil menunjuk lelaki manis berlesung pipi.

"Idiih, memang aku emaknya?" jawabku kesal

"Kamu, Mel, gitu saja sewot." Sambil memonyongkan bibir sepuluh sentimeter Tina menggerutu.

Malam hari, usai makan malam dan salat Isya acaranya bebas. Antara senior dan junior bergabung mengitari api unggun.

Ke mana lagi Rama? Kok bentar-bentar menghilang. Kayak induk bebek lagi mengatur barisan. Kenapa aku jadi suka pria jangkung ala belalang cencorang itu?

 "Hai, Mel, boleh duduk sini, 'kan?" Rama mengejutkanku.

"Pakai minta izin, emang  aku penunggu tempat? Dari mana aja, sih, Kak? Baru kelihatan sekarang," tanyaku penasaran.

"Dari hatimu, kangen, ya?"

"Iih, apaan, GR. Orang cuma tanya, kok," dalihku. Kenapa Rama berkata begitu?

Hari telah pagi, kami harus bersiap dengan acara selanjutnya. Timku yang terdiri dari enam orang sudah di barisan.

Setelah melalui beberapa pos dan menuntaskan tugas dari senior, kami sampai di pos terakhir. Di sini berbeda dengan sebelumnya, tugas yang diberikan berkaitan dengan mental.

Kali ini aku berhadapan dengan Kak Indah. Tatapannya betul-betul megintimidasi, auranya laksana hakim pembawa palu dan seolah berkata 'bersiaplah kau!'

 Gemetaran tubuh, jantung berdetak kencang, hukuman apa yang akan divoniskan padakku?

"Kamu, Melina kan? Dari X.IPA.1?" tanya Kak Indah ketus. "Khusus buat kamu tugasnya mudah." Ucapnya penuh penekanan, laksana titah pangeran dari negeri api difilm Avatar.

"Di sana ada senior sedang duduk. Nah, cari Rama rayu dia! Katakan kamu cinta padanya! Terserah cara kamu merayu! Kalau perlu bawa bunga, pinus kek atau rumput!" perintahnya.

Bagai petir menyambar di atas kepala, aku harus merayu Rama. Menatap wajahnya saja aku tak sanggup.

Tuhan, tolong hamba Mu ini, lancarkan lidah ini! Ucapku sambil merapal doa Nabi Musa saat menghadapi Firaun.

Aku terus berpikir. Ada beberapa junior yang juga mendapat tugas. Ada yang bernyanyi, berpuisi atau drama. Sedang aku, merayu Rama. OMG!

 "Duhai Rama yang memesona, inilah Adinda datang dengan membawa bunga. Ini bunga bukan sembarang bunga. Ini bunga adalah pinus asli. Ini rasa bukan sembarang rasa. Ini rasa serius dari hati. Oh, Kakanda, sudikah menerima bunga dari Dinda? Bunga rasa dalam jiwa, yang terlanjur suka pada Kakanda." Kuindahkan suara untuk membujuk Rama dengan puisi.

Rama ternganga, diam seribu bahasa. Senior  yang lain tertawa terbahak.

"Rama. Segera terima cinta itu bocah! Jangan suka mainin perasaan perempuan, lho, ya!" Kak Budi menimpali.

Oh Tuhan, terima kasih, sudah kujalankan tugas dari Kak Indah dengan baik.

Dari jauh Kak Indah tertawa terbahak, melihat raut wajah Rama merah padam. Senior lain ikut bahagia, melihat aku sukses bermain drama.


*** 


Hari itu, aku pulang lebih akhir. Ada yang belum selesai kusalin.

Di depan gerbang sekolah, kulihat Rama masih berdiri di sana.

"Kok, baru pulang? Ada yang ketinggalan?" sapa Rama.

"Iya, Kak, hatiku."

"Tertinggal di mana?" Rama kebingungan.

"Di ... hatimu." Dengan tersipu aku menjawab.

Rama tersenyum. Serasa bunga-bunga bermekaran di sekeliling kami.

"Mel..." Dia memanggilku lembut penuh perasan.

Krompyang!

Di ujung gerbang, kucing tetiba melompat keluar dari tong sampah. Aku terkejut.

"Eh ... Kunyuk ...." ucapku latah.

Rama tersenyum geli.


"HUSSHHH! Kucing mengagetkan saja," kilah Rama.

"Terima kasih, ya, kamu sudah jujur. Puisimu bagus. Mungkin ini jawaban dari puisimu. Kita bisa berteman lebih dekat 'kan? Maksudku, pacaran ..." bisik Rama membuatku melayang.

"Tapi Kak, justru aku yang minta maaf. Kalau tidak berkenan, maaf ya telah lancang!" Aku masih belum percaya dengan pendengaranku.

"Kamu nggak salah, terima kasih sudah jujur. Mau 'kan menerimaku?" tanya Rama. Aku hanya tersenyum dan menundukkan kepala.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun