"Cintamu telah menjadikanku
Letih dan lusuh tanpa tenaga
Aku tak bisa makan saat siang meraja
Dan tak bisa tidur malam harinya
Sungguh cintamu telah mengubahku
Menjadi musuh yang paling buruk
Bagi diriku"
Â
Syair di atas merupakan gambaran cinta yang sangat indah, meski secara umum diyakini bahwa tidak makan di siang hari dan tidak tidur di malam hari adalah suatu masalah, apalagi jika itu menjadi musuh terburuk bagi diri sendiri. Namun bagi Rumi, inilah indahnya cinta, di dalamnya terkandung keinginan untuk memperbaiki suatu hal yang buruk menjadi baik. [7] Hal-hal tersebut mungkin terlihat sebagai suatu keburukan yang akan mendatangkan penderitaan, namun bagi seorang pencinta hal tersebut malah terasa indah tanpa ada sedikitpun rasa penderitaan.Â
Â
Kaum sufi dalam menggambarkan sebuah cinta seringkali dikaitkan dengan cinta yang bukan penuh tawa, tetapi cinta yang menderita akibat memiliki rasa rindu yang terus-menerus. Metafora yang cocok digunakan untuk istilah cinta ialah api yang melelehkan segala sesuatu menjadi murni. Api peleburan, api yang membakar diri dalam kefanaan (fana), sehingga melahirkan wujud baru yang sesungguhnya (baqa). Rumi pun pernah mengalami hal seperti ini, Rumi begitu menderita atas kerinduan terhadap gurunya, yang bermana Syams Tabrizi, kemudian kerinduannya ini menjadi jembatan cintanya kepada Tuhan. Seorang manusia yang belum menjadi makhluk memberikan respons terhadap pertanyaan Alastu bi-rabbikum (Bukankah Aku Tuhanmu?) dengan kata "bala" (Ya, memang) (QS Al-A'rf [7]: 172). Berarti manusia sudah siap menerima semua penderitaan (bal) yang akan menemuinya dalam pengabdian kepada Tuhan. Bagi kaum sufi inilah jalan cinta,[8] seperti kata Rumi dalam Diwan Syams Tabrizi:Â