Mohon tunggu...
Anwar Fahmi
Anwar Fahmi Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN Antasari Banjarmasin

Suka baca buku motivasi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Cinta Seperti Sebuah Penderitaan

19 Juni 2024   10:49 Diperbarui: 19 Juni 2024   11:08 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Jalaluddin Rumi atau yang memiliki nama lengkap Maulana Jalaluddin Muhammad bin Husayn al-Khatibi al-Bakri, lahir pada tahun 1207 M di Balkhi. Namun sang sufi banyak menghabiskan sebagian besar hidupnya di Konya, Turki, yang dahulunya merupakan bagian dari wilayah kekaisaran Rumawi Timur (bangsa Arab menyebutnya ar-Rum). Sehingga mendapatkan julukan Rumi. Ayahnya bernama Jalaluddin Baha'uddin Muhammad yang lebih dikenal dengan nama Baha Walad, seorang tokoh ulama dan guru besar dinegerinya waktu itu yang ahli dalam ilmu fiqih sekaligus seorang sufi juga bergelar Sultonul Ulama. Syekh Bahauddin Walad bersama keluarganya pindah ke Konya di suatu daerah yang bernama Rum (Turki). Setelah menetap dua tahun, dan pada tahun 638 ia meninggal dunia. Setelah ayahnya meninggal Rumi menggantikan posisi ayahnya dalam bidang pengajaran dan pendidikan di sekolah Khadawandakar. Namun, kedudukan yang cukup tinggi itu tidak menghalangi dia tetap belajar, memperluas cakrawala pengetahuannya dan memperdalam ilmu-ilmunya.[1]

 

Sebagai seorang sufi, Jalaluddin Rumi memiliki banyak karya dalam bidang tulisan. Terdapat dua karyanya yang monumental yaitu Diwan Syams Tabrizi dan Masnawi. Adapun yang menjadi pembahasan dalam karyanya terkait dengan perjalanan spiritual yang dituliskannya dalam bentuk syair-syair. Cinta menjadi tema utama dari bait-bait syair yang ditulis Rumi. Cinta juga yang menjadi ciri khas dari ajaran tasawufnya.

 

Jalaluddin Rumi menjadi seorang mistikus terbesar yang pernah ada karena telah menulis 40.000 syair sufistik dalam rentang waktu 30 tahun yang tertuang dalam karyanya berjudul Diwan Syams Tabrizi. Karya ini dibuat setelah perjumpaan Rumi dengan gurunya yang bernama Syams Tabrizi. Selain membuat karya persembahan untuk gurunya, Rumi juga menulis 25.000 syair dalam karyanya Masnawi yang disusun karena permintaan murid kesayangannya, Husam al-Din Khalabi. [2]

 

Makna cinta seringkali membuat bingung dalam mendefinisikannya. Rumi berpendapat bahwa akal yang berusaha menjelaskan makna cinta adalah sebuah kekeliruan. Melalui karyanya Masnawi, dia mengatakan: [3]

 

"Cinta tak ada hubungannya 

Dengan panca indra dan enam arah

Tujuan akhirnya hanyalah daya tarik

Yang dipancarkan oleh Sang kekasih" 

 

Terdapat dalam pembukaan kitab Masnawi: Someone asked, "What is love?". I answered, "you will know when you become (lost in) me!" [4] "(Bagaimanakah keadaan seorang pencinta?" Tanya seorang lelaki. Kujawab, "jangan bertanya seperti itu; bila engkau seperti aku, tentu engkau pun tau ketika Dia memanggilmu, engkaupun akan memanggil-Nya)".[5]  Cinta tidak bisa dijelaskan dengan pasti lewat kata-kata karena tidak ada pengertian cinta yang lebih jelas dari cinta itu sendiri. Melalui karya-karyanya, Jalaluddin Rumi berusaha memberikan arahan tentang makna dari "cinta" melalui syair-syair ciptaannya. Namun, dalam karya-karyanya Rumi tidak menjelaskan dengan jelas mengenai apa itu cinta, dia lebih sering menggunakan perumpamaan-perumpamaan dari hal-hal yang dapat dilihat dan dirasakan olehnya.[6] Cinta sebenarnya ialah cinta yang mampu menjaga apa yang dicinta, serta dapat merubahnya ke arah yang lebih baik, Jalaluddin Rumi pernah mengatakan:

 

"Sungguh, cinta dapat mengubah yang pahit menjadi manis, 

debu menajadi emas, keruh menjadi bening, 

sakit menjadi sembuh, penjara berubah telaga, 

derita beralih nikmat, dan kemarahan menjadi rahmat".

 

Jalaluddin Rumi memahami cinta sebagai sebuah jalan menuju kesempurnaan. Ia juga sebagai jalan untuk membersihkan diri sehingga dapat mengantarkan manusia sampai kepada Tuhannya. Jika manusia mulai menjauh dari hal-hal spiritual (termasuk cinta di dalamnya), maka hari demi hari dunia ini akan semakin penuh dengan tindak kekerasan, hilangnya cinta kasih dan akan semakin banyak manusia yang melupakan Tuhan.

 

"Cintamu telah menjadikanku

Letih dan lusuh tanpa tenaga

Aku tak bisa makan saat siang meraja

Dan tak bisa tidur malam harinya

Sungguh cintamu telah mengubahku

Menjadi musuh yang paling buruk

Bagi diriku"

 

Syair di atas merupakan gambaran cinta yang sangat indah, meski secara umum diyakini bahwa tidak makan di siang hari dan tidak tidur di malam hari adalah suatu masalah, apalagi jika itu menjadi musuh terburuk bagi diri sendiri. Namun bagi Rumi, inilah indahnya cinta, di dalamnya terkandung keinginan untuk memperbaiki suatu hal yang buruk menjadi baik. [7] Hal-hal tersebut mungkin terlihat sebagai suatu keburukan yang akan mendatangkan penderitaan, namun bagi seorang pencinta hal tersebut malah terasa indah tanpa ada sedikitpun rasa penderitaan. 

 

Kaum sufi dalam menggambarkan sebuah cinta seringkali dikaitkan dengan cinta yang bukan penuh tawa, tetapi cinta yang menderita akibat memiliki rasa rindu yang terus-menerus. Metafora yang cocok digunakan untuk istilah cinta ialah api yang melelehkan segala sesuatu menjadi murni. Api peleburan, api yang membakar diri dalam kefanaan (fana), sehingga melahirkan wujud baru yang sesungguhnya (baqa). Rumi pun pernah mengalami hal seperti ini, Rumi begitu menderita atas kerinduan terhadap gurunya, yang bermana Syams Tabrizi, kemudian kerinduannya ini menjadi jembatan cintanya kepada Tuhan. Seorang manusia yang belum menjadi makhluk memberikan respons terhadap pertanyaan Alastu bi-rabbikum (Bukankah Aku Tuhanmu?) dengan kata "bala" (Ya, memang) (QS Al-A'rf [7]: 172). Berarti manusia sudah siap menerima semua penderitaan (bal) yang akan menemuinya dalam pengabdian kepada Tuhan. Bagi kaum sufi inilah jalan cinta,[8] seperti kata Rumi dalam Diwan Syams Tabrizi: 

 

"Di mata orang, itu disebut Cinta; 

namun di mataku,

itu penderitaan (bal) jiwa!"

Memenuhi panggilan cinta berarti berjalan menuju kefanaan (fana). Dalam pandangan Rumi, kekuatan cintalah yang dapat mengantarkan seorang pencinta untuk mencapai keadaan yang maha indah, yang dapat merubah keadaan pahit menjadi manis, pengharapan yang berujung kepada kerinduan yang tiada batas. Rumi mengatakan bahwa penderitaan yang dialami oleh si pecinta merupakan tahapan yang harus dilalui sebagai bentuk dari proses pemurnian bathin yang akan selalu peka terhadap cahaya-cahaya ketuhanan yang menyinari bathinnya.

[1] Miftahul Jannah, "Teologi Sufi Kajian atas Mistisisme Cinta Jalaluddin Rumi,"  Jurnal Al-Aqidah 12, no. 2 (December 31, 2020): 40, https://doi.org/10.15548/ja.v12i2.2271.

[2] Kompasiana.com, "Belajar Mencintai Guru dari Sosok Rumi: Mistikus Terbesar Sepanjang Sejarah," KOMPASIANA, June 7, 2023, https://www.kompasiana.com/faruqmuharram/647f37194addee7924255ca2/belajar-mencintai-guru-dari-sosok-rumi-mistikus-terbesar-sepanjang-sejarah.

[3] Kumalla, "'Konsep Mahabbah (Cinta) Dalam "Rubaiyat" Karya Rumi Dan Relevansinya Dalam Pendidikan Agama Islam,'" (Mei 2019): 46. http://repository.radenintan.ac.id/6748/1/SKRIPSI_FULL.pdf

[4] Zahra Ahmadi, "'Love' in Mawlana Jalaluddin Mohammad Balkhi's (Rumi) Works," International Letters of Social and Humanistic Sciences 36 (July 2014): 5, https://doi.org/10.18052/www.scipress.com/ILSHS.36.1.

[5] Jaya Sahputra and Usamah As Siddiq, "Hakikat Kebahagiaan: Perspektif Jalaluddin Rumi," Al Mabhats: Jurnal Penelitian Sosial Agama 7, no. 1 (June 30, 2022): 25, https://doi.org/10.47766/almabhats.v7i1.1045.

[6] Assya Octafany, "Konsep Mahabbah Jalaluddin Rumi" Vol.21, No. 2 (2020), 222. https://ejournal.uin-suka.ac.id/ushuluddin/ref/article/view/200206/1891&ved=2ahUKEwiWqK257dOGAxV_XWwGHfiwAwgQFnoECBEQAQ&usg=AOvVaw1EjuNR4s1oJiM7dX2fYJfy.

[7] Kumalla, "'Konsep Mahabbah (Cinta) Dalam "Rubaiyat" Karya Rumi Dan Relevansinya Dalam Pendidikan Agama Islam,'" (Mei 2019), 48. http://repository.radenintan.ac.id/6748/1/SKRIPSI_FULL.pdf

[8] Sahrul Mauludi, "Cinta, Derita Dan Kesabaran Dalam Puisi Jalaluddin Rumi," Pondok Pesantren Daar El-Qolam 3 Kampus Dza 'Izza (blog), January 9, 2024, https://www.daarelqolam3.sch.id/cinta-derita-dan-kesabaran-dalam-puisi-jalaluddin-rumi/.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun