Sejak pulang dari liburannya sepuluh hari yang lalu, nyaris setiap hari dihabiskan Arlene dengan mendekam di dapur pribadinya. Tentunya dia tak menghabiskan seharian di sana. Hanya saja setiap kali dia datang ke kedai --Arlene biasanya datang ke kedai pukul 2 siang- maka dia akan langsung masuk ke dapur pribadinya di lantai atas ruko. Apa yang dilakukannya di tempat tersebut, jelas aku sudah tahu. Namun yang cukup mengkhawatirkanku adalah bagaimana dia sanggup menghabiskan sepuluh hari di tempat itu lalu keluar tanpa berbicara sepatah kata pun kepadaku. Â
Semuanya bermula ketika partner kerjaku itu pulang dari liburannya. Arlene, gadis muda pemilik kedai kue terlezat (ini sebenarnya penilaian subjektif) di kota kami itu memutuskan berlibur sejenak setelah nyaris setahun disibukkan dengan bisnisnya. Selama satu minggu penuh Arlene menikmati liburannya tanpa diganggu urusan pekerjaan. Selama satu minggu itu pula dia tak memberi kabar apapun padaku. Kemana saja dia berlibur? Apa yang dilakukannya selama liburan? Semuanya tak kuketahui.
Bahkan ketika aku bertanya kepada keluarganya tentang kabar Arlene, mereka pun sama tidak tahunya denganku. Rupanya Arlene ingin liburannya kali ini benar-benar menjadi waktu privat baginya. Dan aku, sebagai partner mendapat wewenang penuh untuk menjaga kedai selama ia pergi. Sebuah hal yang sangat membosankan, terutama mengingat aku sangat terbiasa dengan keberadaannya.
"Francis, jemput aku sekarang."
Suara khas milik Arlene terdengar kembali setelah satu minggu penuh ia menghilang. Saat itu aku sedang sibuk merapikan ruanganku setelah seharian mengurusi A & F Bakery, kedai kue yang kami dirikan dua tahun yang lalu itu. Usai mendengar suara tersebut, dengan sigap aku segera meraih kunci mobil yang tergeletak di salah satu sudut meja. Satu minggu tak bertemu dengan si mungil yang pintar memasak itu membuat rasa rinduku sampai ke ubun-ubun.
"Bagaimana liburannya?" tanyaku pada Arlene dalam perjalanan pulang kami. Ketika menjemputnya tadi sempat kuperhatikan warna kulit Arlene lebih kecoklatan dari yang biasanya. Besar kemungkinan Arlene menghabiskan liburannya dengan berjemur di pantai.
Selama beberapa detik pertanyaanku hanya menggantung di udara. Kutolehkan wajahku ke arah gadis yang duduk di sampingku itu. Tampak olehku Arlene yang sedang menyandarkan kepalanya ke bantalan yang ada di jok. Geliginya tampak sibuk menggigit kuku jari tangannya. Hal yang selalu dilakukannya jika sedang berpikir.
"Arlene? Hei! Kau tidak apa-apa?" tanyaku kemudian sambil menjentikkan jariku di hadapannya. Membuat Arlene seketika kembali ke dunia nyata.
"Owh, maafkan aku. Ada apa, Francis?" tanyanya kemudian.
"Bagaimana liburanmu?"
Aku mengulang pertanyaan yang sebelumnya kuajukan.
"Mmm..menyenangkan."
Hanya itu jawaban yang diberikan Arlene padaku. Jawaban yang positif, namun terdengar kurang meyakinkan. Membuatku bertanya-tanya apakah terjadi sesuatu padanya selama liburan. Apakah dia kehilangan sesuatu yang berharga? Atau dia telah mencicipi brownies dengan rasa yang baru yang membuatnya penasaran? Atau jangan-jangan...
"Francis, aku jatuh cinta."
Belum lagi selesai dengan tebakanku, Arlene sudah memberikan jawabannya.
***
Selama nyaris sepuluh tahun mengenalnya, rasanya baru satu kali Arlene berkata kalau dia telah jatuh cinta. Saat itu sembilan tahun yang lalu, saat kami masih sama-sama berstatus sebagai mahasiswa. Aku sendiri saat itu juga tak terlalu mengenalnya. Yang kutahu, dia adalah teman satu praktikum Walter, salah satu teman kost-ku saat itu.Â
Oya, aku dan Arlene memang tidak berasal dari satu fakultas. Dia kuliah di fakultas teknik, sedang aku di ekonomi. Meski begitu dengan kepribadiannya yang menyenangkan, tak perlu waktu lama bagi Arlene untuk bisa berkenalan dan akrab denganku.
Satu hari, Arlene memintaku menemuinya di sebuah warung yang berada tak jauh dari kost-ku. Ada hal yang ingin dibicarakan, begitu katanya. Ketika kutanyakan mengapa ia tak menemuiku di kos saja, Arlene hanya menjawab, "Ini adalah sebuah rahasia. Aku tak ingin orang lain mengetahuinya."
Aku tak punya bayangan apapun atas hal yang ingin dibicarakan Arlene, hingga akhirnya dia berkata, "Kurasa aku menyukai Walter."
"Lalu?"
"Kau bisa membantuku mendapatkan hatinya?"
Waktu itu aku sempat terkejut dengan permintaan Arlene tersebut. Pertama, jelas karena kami baru beberapa bulan berkenalan. Kedua, rasanya aneh saja mendengar seorang gadis secara terang-terangan meminta bantuan untuk bisa jadian dengan laki-laki yang disukainya. Apalagi gadis itu seperti Arlene
Meski begitu, kuputuskan untuk menyetujui permintaannya. Tak susah sebenarnya. Karena Walter pun sebenarnya diam-diam menyukai Arlene. Yah, kurasa jarang sekali ada pria yang tidak jatuh suka pada Arlene. Meski parasnya tidak terlalu cantik, namun ada sesuatu dalam wajahnya yang membuatmu tak bosan menatapnya.Â
Dia juga memiliki kepribadian yang menyenangkan dan pintar. Tambahan lagi Arlene pintar memasak. Arlene adalah sebuah kombinasi yang akan membuat banyak perempuan iri, begitu salah satu temanku berkata. Dan aku pun setuju dengan kata-katanya. Â
Sayangnya hubungan Arlene dan Walter hanya bertahan satu tahun. Aku tak tahu apa penyebab putusnya hubungan mereka. Setelah resmi jadian, Walter memutuskan pindah dari kos.Â
Arlene juga tak terlalu sering membicarakan pacarnya itu padaku. Yang kutahu, Arlene menelponku di di satu sore dan berkata kalau dia dan Walter sudah putus. Aku kemudian diminta menemaninya di teras kosnya. Menyanyikan beberapa buah lagu untuk menenangkan hatinya.
***
"Jadi, siapa laki-laki yang beruntung itu?" tanyaku setelah kami tiba di kedai. Travel bag milik Arlene teronggok begitu saja di sudut ruangan. Sementara pemiliknya tampak sedang menyandarkan tubuhny di salah satu sofa yang ada di ruangan. Sebuah bantal berbentuk hati sudah ada di pangkuannya.
"Namanya Rafael. Aku bertemu dengannya saat liburan kemarin. Kami satu pesawat, duduk bersebelahan. Saat itu ia mengenalkan dirinya sebagai wartawan yang sedang mendapat tugas liputan ke tempatku berlibur. 'Aku ditugaskan sendirian. Sungguh menyebalkan. Tapi untunglah aku diberi teman duduk yang cantik,' begitu katanya padaku."
"Lalu?"
"Kami mulai terlibat pembicaraan. Sebenarnya dia tak terlalu tampan. Tapi dia sangat menarik dan punya wawasan yang luas."
"Dia wartawan, bukan? Wajar saja kurasa."
"Benar. Tapi kau tahu kan tak semua pria berwawasan luas bisa menarik perhatianku?"
"Oke. Teruskan ceritamu."
"Kami berpisah saat pesawat sudah mendarat. Saat itu kupikir aku takkan bertemu dengannya lagi. Ternyata aku salah. Kami bertemu lagi di lobby hotel. Ternyata dia menginap di hotel yang sama denganku."
"Hmm.."
"Satu minggu penuh kuhabiskan waktuku bersamanya. Kadang kami sarapan bersama, kadang makan malam bersama. Intinya hampir tiap hari kami sempatkan untuk bertemu. Bahkan dia sempat mengajakku untuk liputan bersamanya. Karena itu wajar bukan jika aku merasa dia menyukaiku?"
"Bisa jadi."
"Tapi ternyata aku salah, Francis. Rafael menyembunyikan sesuatu dariku, dan itu baru kuketahui ketika kami pulang. Dia sudah menikah."
Ada satu hal yang selalu dihindari Arlene dalam hal cinta. Mencintai pria yang sudah memiliki pasangan, entah itu disengaja atau tidak. Baginya mereka yang bisa jatuh cinta kepada orang yang sudah memiliki pasangan adalah orang yang sangat jahat dan tak memiliki hati.
"Kau bisa mengontrol perasaanmu, Francis. Pada siapa kau jatuh cinta, pada siapa kau tidak jatuh cinta. Bahkan kau bisa membunuh rasa cintamu. Karena itu omong kosong jika seseorang berkata bahwa dia tak bisa melawan rasa cinta yang tumbuh di hatinya. Dia hanya tak cukup berusaha," begitu yang sering diucapkannya padaku tentang pendapatnya itu.
Aku sendiri cukup tahu alasan dibalik ketidaksukaannya terhadap orang ketiga ini. Alasan yang umum. Orang tuanya bercerai karena kehadiran pihak ketiga. Karena itu tentu sangat wajar jika Arlene mendapati dirinya shock setelah menyadari bahwa dia sendiri telah menelan kata-katanya sendiri.
"Rasanya baru kali ini aku tak bisa mengendalikan perasaanku sendiri, Francis. Dan aku membenci diriku sendiri untuk itu."
"Itu bukan salahmu, Arlene. Kau tidak tahu kalau dia sudah menikah. Dia tak memberi tahu statusnya padamu. Itu salahnya. Bukan salahmu."
"Tetap saja aku merasa bersalah. Jika saja kau melihat bagaimana tampangku saat Rafa memperkenalkan istrinya padaku. Sungguh memalukan kurasa."
Aku hanya bisa terdiam mendengar kata-kata Arlene tersebut.
***
"Hari ini aku tidak melihat Arlene di sini. Apakah dia masih berlibur?"
Paman Ray, salah satu pelanggan tetap A & F Bakery bertanya padaku sore ini. Setiap minggu lelaki paruh baya ini secara rutin berkunjung ke tempat ini. Biasanya ia datang di sore hari, menghabiskan hari dengan menikmati secangkir kopi hitam dan sepotong brownies dengan ditemani langsung oleh Arlene.
"Tidak, Paman. Arlene sedang sibuk di dapur pribadinya. Ia sedang berusaha menemukan resep brownies yang baru," jelasku pada Paman Ray.
"Gadis itu sungguh luar biasa. Di usia semuda ini ia sudah memiliki bisnisnya sendiri. Kau cepatlah nikahi dia, Francis. Aku yakin kalian akan menjadi pasangan yang sangat serasi," kata Paman Ray lagi, yang sukses membuatku perasaanku tidak karuan.
Tak bisa dipungkiri selalu ada sensasi berbeda ketika orang yang berpikir bahwa ada hubungan tertentu antara Arlene dan aku. Sudah sejak lama aku menyukai Arlene. Mungkin sama lamanya dengan usia persahabatan kami yang dimulai sepuluh tahun yang lalu.
"Kau bisa saja, Paman Ray. Aku dan Arlene hanya bersahabat. Tidak ada hubungan khusus di antara kami."
"Omong kosong! Hampir setiap minggu aku melihat bagaimana kalian berdua berinteraksi. Jelas sekali terlihat kalau kau menyukainya."
Paman Ray benar. Hampir setiap orang yang melihat keakrabanku dengan Arlene pasti akan mengira ada hubungan khusus antara kami berdua. Seorang lelaki dan perempuan menjalankan bisnis bersama. Nyaris setiap hari bersama.Â
Wajar saja bukan jika orang mereka kami adalah juga sepasang kekasih? Bahkan ibuku sendiri pun kerap berpikiran begitu. Sayangnya walaupun sebenarnya aku mengharapkan hal yang sama, namun sampai hari ini aku harus menerima kenyataan kalau antara aku dan Arlene tak pernah ada apa-apa.
"Kau harus lebih berusaha untuk mendapatkan hatinya, Francis. Kadang seseorang tidak menyadari bahwa orang yang dicarinya selama ini ada di sampingnya," sambung paman Ray lagi, membuatku tidak bisa berkutik. Jika dilihat dari gelagatnya, jelas sekali setelah ini aku akan mendapat ceramah panjang lebar dari pria tua itu tentang bagaimana seharusnya ia memperlakukan Arlene.
 "Permisi. Maaf, apa benar ini kedai A & F?"
Sebuah suara tiba-tiba mengejutkan kami berdua. Seorang pria, usianya mungkin sekitar 30-an kini sedang berdiri di tepat di hadapanku. Kulitnya berwarna tembaga dengan sepasang mata yang setajam elang.
"Well, kau bisa melihat sendiri di papan nama kurasa," jawabku sambil mengarahkan telunjukku pada sebuah papan yang ada di atas kepalaku.
"Haha. Benar sekali. Sungguh pertanyaan bodoh," jawab si pria sambil menepuk keningnya.
Aku hanya tersenyum
"Sebenarnya aku sedang mencari seseorang. Arlene. Apakah dia ada di sini?" tanyanya lagi.
Mendengar nama Arlene disebut, sontak pikiranku melayang kembali pada percakapan kami saat gadis itu kembali dari liburannya. Apakah ini pria yang dimaksud Arlene kala itu?
"Dan kau adalah?" tanyaku kemudian.
"Aku Rafael. Kami bertemu saat dia sedang berlibur minggu lalu."
***
Jam di kedai kami menunjukkan pukul tujuh malam ketika akhirnya Arlene turun dari lantai atas ruko yang kami sewa ini. Tangannya memegang sebuah nampan dengan beberapa loyang kue di atasnya. Wajahnya tampak lelah dan pada pakaiannya terdapat beberapa bercak noda tepung dan coklat.
"Dia sudah pulang?" tanya Arlene ketika tubuhnya berhadapan denganku. Ketika Rafael tiba di cafe beberapa jam sebelumnya, kuputuskan untuk memberitahu Arlene. Anehnya, gadis itu malah menolak untuk menemui pria tersebut dan memintaku mengarang berbagai alasan mengapa dia tidak mau menemui Rafael.
"Setengah jam yang lalu," jawabku sembari mengambil loyang-loyang di atas nampan yang dipegang Arlene. Empat buah brownies dengan wangi yang sangat menggoda kini sudah berada di salah satu rak pajangan kedai kami.
"Syukurlah. Bagaimana menurutmu?" tanya Arlene lagi.
"Pria yang menarik. Pintar mengambil hati lawan bicaranya." Aku berusaha memberikan jawaban seobjektif mungkin. Berat sebenarnya bagiku untuk mengakui hal ini. Namun memang pada kenyataannya Rafael adalah sosok yang jelas akan membuat perempuan seperti Arlene jatuh cinta. Dia tampan dan berwawasan luas. Berbicara dengan pria itu selama nyaris satu jam membuatku merasa sangat terintimidasi.
"Kau benar-benar tidak ingin bertemu dengannya lagi?" tanyaku kemudian pada Arlene.
Arlene terdiam sebentar. Kemudian, sambil melangkahkan kakinya menuju pintu kedai, ia berkata, "Mungkin nanti, Francis. Tapi tidak untuk sekarang."
***
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H