"Dia wartawan, bukan? Wajar saja kurasa."
"Benar. Tapi kau tahu kan tak semua pria berwawasan luas bisa menarik perhatianku?"
"Oke. Teruskan ceritamu."
"Kami berpisah saat pesawat sudah mendarat. Saat itu kupikir aku takkan bertemu dengannya lagi. Ternyata aku salah. Kami bertemu lagi di lobby hotel. Ternyata dia menginap di hotel yang sama denganku."
"Hmm.."
"Satu minggu penuh kuhabiskan waktuku bersamanya. Kadang kami sarapan bersama, kadang makan malam bersama. Intinya hampir tiap hari kami sempatkan untuk bertemu. Bahkan dia sempat mengajakku untuk liputan bersamanya. Karena itu wajar bukan jika aku merasa dia menyukaiku?"
"Bisa jadi."
"Tapi ternyata aku salah, Francis. Rafael menyembunyikan sesuatu dariku, dan itu baru kuketahui ketika kami pulang. Dia sudah menikah."
Ada satu hal yang selalu dihindari Arlene dalam hal cinta. Mencintai pria yang sudah memiliki pasangan, entah itu disengaja atau tidak. Baginya mereka yang bisa jatuh cinta kepada orang yang sudah memiliki pasangan adalah orang yang sangat jahat dan tak memiliki hati.
"Kau bisa mengontrol perasaanmu, Francis. Pada siapa kau jatuh cinta, pada siapa kau tidak jatuh cinta. Bahkan kau bisa membunuh rasa cintamu. Karena itu omong kosong jika seseorang berkata bahwa dia tak bisa melawan rasa cinta yang tumbuh di hatinya. Dia hanya tak cukup berusaha," begitu yang sering diucapkannya padaku tentang pendapatnya itu.
Aku sendiri cukup tahu alasan dibalik ketidaksukaannya terhadap orang ketiga ini. Alasan yang umum. Orang tuanya bercerai karena kehadiran pihak ketiga. Karena itu tentu sangat wajar jika Arlene mendapati dirinya shock setelah menyadari bahwa dia sendiri telah menelan kata-katanya sendiri.