Mohon tunggu...
Annisa Novasari
Annisa Novasari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Annisa Novasari merupakan mahasiswa S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Ahmad Dahlan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Buah Kesabaran Lina

20 Desember 2021   19:59 Diperbarui: 20 Desember 2021   20:35 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi ini, ketakutan kembali menghampiri Lina. Ia selalu merasa takut ketika akan berangkat ke sekolah. Banyak ketakutan yang ada di otaknya semenjak kejadian itu menimpa Lina selama beberapa tahun terakhir. Ia takut jika teman-temannya masih memperlakukan dia dengan seenaknya. Ia juga takut jika terus dipojokkan dan selalu diejek.

"Mah, apakah Lina boleh bolos sekolah?" tanyanya dengan penuh cemas.

"Sayang, bolos sekolah itu termasuk perbuatan yang tidak baik."

"Tapi, Mah. Aku takut, aku takut saat bertemu teman-teman nanti."

"Sabar, Nak. Mama akan berusaha memperjuangkan keadilan untukmu," ucap Mama seraya mengusap kepala Lina.

"Baik, Mah. Terima kasih."

Setelah menghabiskan sarapan, Lina diantarkan ke sekolah oleh Mama. Sepanjang perjalanan, perasaannya campur aduk. Ia mencoba melawan rasa takut dengan memikirkan hal-hal yang menyenangkan. Sebenarnya, Lina memiliki teman di sekolah namun teman yang mau bermain dengannya bisa dihitung jari. Mau tidak mau, pengalaman tidak menyenangkan ini harus dia rasakan sejak kelas 3 hingga kelas 5 sekolah dasar.

Kejadian yang tak pernah dilupakan Lina itu bermula ketika ia duduk di kelas 3 sekolah dasar. Lina yang merupakan siswa pindahan dari sekolah lain sedang mencoba berbaur dengan teman-teman sekelasnya. Sebutan "introvert" mungkin memang pantas diberikan kepada Lina, karena ia memiliki tipe kepribadian yang cenderung tidak merasa nyaman ketika berada dalam kondisi sosial tertentu terutama bila harus berinteraksi dengan orang yang belum dikenal.

Lina mulai memiliki teman akrab saat ada seseorang yang mengajaknya berkenalan lebih dahulu. Temannya bernama Sasa dan Tia. Merekalah yang benar-benar menjadi teman Lina dan selalu menyemangati Lina ketika sedang terpuruk. Mereka juga telah memahami sifat Lina yang memang memiliki sifat tertutup terhadap orang lain. Walaupun demikian, Lina, Sasa, dan Tia saling menghargai serta melengkapi satu sama lain.

Suatu hari, Lina, Sasa, dan Tia diajak bermain oleh teman-teman sekelas. Lina yang sedang asyik bermain, tidak sengaja menjatuhkan botol minum milik temannya yang bernama Ibnu. Padahal, botol minum tersebut merupakan oleh-oleh dari luar negeri yang diberikan orang tua Ibnu. Melihat botol minum kesayangannya jatuh dan rusak, Ibnu pun naik pitam. Ia tidak terima botolnya dirusak oleh Lina.

"Maaf Ibnu, aku tidak sengaja". ucap Lina sambil mencoba memperbaiki botol Ibnu yang rusak.

"Lina, itu botol minum dari luar negeri pemberian kedua orang tuaku. Mengapa kamu jatuhkan? Apa kamu tidak lihat jika ada botol minum di belakangmu?" jawab Ibnu dengan emosi.

"Maafkan aku. Aku tidak melihat ada botol minumu di belakang. Kalau aku ganti dengan uang bagaimana?"

"Udah lah, Lin. Nggak usah. PERGI KAMU!" jawabnya.

Semenjak kejadian itu, Lina sangat merasa bersalah kepada Ibnu. Ia sudah berusaha meminta maaf dan akan mengganti botol milik Ibnu namun ditolak. Hatinya sedih dan bingung harus berbuat apa lagi demi memperbaiki hubungan pertemanan mereka. Melihat peristiwa itu, Sasa dan Tia tidak hanya berpangku tangan. Segala cara sudah mereka lakukan mulai dari membujuk Ibnu hingga berusaha mempertemukan Lina dan Ibnu.

***

Singkat cerita, Lina, Sasa, Tia, dan Ibnu telah mengikuti Ujian Akhir Semester 2 dan naik ke kelas 4. Sekolah telah memutuskan jika tidak akan melakukan rolling class. Maka, Lina dan teman-temannya pun sekelas lagi. Ibnu yang masih memiliki dendam dengan Lina malah mempengaruhi teman-teman sekelas agar tidak berteman dengan Lina. Akhirnya, hampir satu kelas berhasil dipengaruhi Ibnu. Mereka tidak ada yang mau berteman dengan Lina. Sifat Sasa dan Tia juga mulai sedikit berubah. Lina tidak tahu penyebab perubahan sifat Sasa dan Tia kepadanya.

Hingga pada suatu hari, Ibnu dan teman-temannya mengejek Lina dengan sebutan "Najis". Seseorang yang tidak sengaja menyentuh Lina, maka dianggap telah terkena najis dan harus disucikan dengan cara menyentuh teman yang paling cantik di kelas yaitu si Alma. Hati siapa yang tak terluka ketika diejek dengan kata "Najis". Lina pun benar-benar sedih dan sangat terpuruk. Ia merasa kesepian karena tidak ada lagi yang memberikan semangat ketika di sekolah.

Lina berusaha kuat dan memendam masalahnya seorang diri. Selama ia duduk di kelas 4, banyak perlakuan-perlakuan buruk dari temannya. Contohnya seperti sering menuduh Lina jika ada berita kehilangan di kelas, memojokkannya, dan lain-lain. Setiap seminggu sekali, Pak Rifai, wali kelas 4, membebaskan para siswa untuk selalu mengganti teman sebangkunya. Hal inilah yang selalu menjadi momok menakutkan bagi Lina karena tidak ada yang mau satu meja dengannya. Jumlah siswa di kelas 4 juga ganjil, maka mau tidak mau Lina harus duduk seorang diri.

"Ya Allah. Aku sudah tidak kuat dengan perlakuan teman-temanku. Mengapa mereka sangat jahat kepadaku? Salahku apa, ya Allah?" ucap Lina dalam hati.

Lelah sudah Lina memendam kesedihannya. Ia ceritakan semua kejadian di sekolah kepada orang tuanya sambil menangis. Hati seorang Ibu pun hancur ketika mendengar anak yang ia besarkan dengan penuh kasih sayang telah diperlakukan semena-mena oleh teman sekelasnya sendiri.

Kedua orang tua Lina pun sepakat untuk melaporkan kejadian ini kepada wali kelas 4 agar menemukan solusi permasalahan yang terbaik dan demi kesehatan mental anaknya. Tetapi setelah melaporkan kejadian tersebut, Pak Rifai hanya mengatakan bahwa permasalahan ini adalah permasalahan kecil dan biasa terjadi di kelas. Pak Rifai juga tak berniat melaporkan masalah ini kepada Kepala Sekolah. Orang tua Lina merasa kecewa dengan respon Pak Rifai. Seolah-olah, Pak Rifai terkesan menyepelekan dan tidak memikirkan kesehatan mental atau kondisi psikologis Lina.

***

Selama duduk di kelas 4, Lina berusaha bangkit di tengah kondisi psikologisnya yang mulai terganggu. Hal itu juga berdampak ketika Lina berusaha memahami pelajaran matematika di kelas. Padahal, Lina termasuk siswa akselerasi sejak kelas 2 di sekolahnya yang dulu Tetapi karena pindah sekolah dan mengalami kejadian ini, kondisi Lina semakin buruk serta sulit untuk berkonsentrasi.

Dua semester di kelas 4 berhasil Lina lewati. Tiba saatnya ia naik ke kelas 5. Berbeda dengan sebelumnya, di kelas 5 ini terdapat 3 siswa pilihan dari kelas lain yang dipindah ke kelasnya. Lina sangat berharap bisa berteman dengan ketiga siswa tersebut. Ia akan mencoba berkenalan pada salah satu siswa pindahan itu saat waktu istirahat tiba.

"Hai. Nama kamu siapa?" tanya Lina.

"Halo. Aku Sita. Kalau kamu siapa?"

"Aku Lina. Salam kenal ya." jawab Lina dengan antusias

"Hai Lina. Tas mu cantik sekali. Beli di mana?"

"Wah terima kasih, Sita. Ibuku membelikan tas ini di toko dekat rumah. Oiya, ayo kita pergi ke kantin bersama!"

"Ayo, kebetulan aku juga sudah lapar. Hehehe."

Seiring berjalannya waktu, pertemanan mereka tidak berjalan sesuai harapan Lina. Pada suatu pagi saat Lina sampai di kelas, sikap Sita terlihat aneh. Ternyata Sita ikut dipengaruhi oleh teman-teman yang lain agar tidak berteman dengannya. Hati Lina semakin rapuh. Ia pasrah dan mencoba intropeksi diri.

Di kelas 5 ini, terdapat program les tambahan dari sekolah. Semua siswa kelas 5 wajib mengikuti les tambahan yang akan dilaksanakan setiap pulang sekolah pada hari Senin sampai Kamis. Wali kelas Lina di kelas 5 yang bernama Pak Enggar membebaskan para siswa jika ingin bertukar pasangan tempat duduk dengan teman-temannya ketika les tambahan sepulang sekolah.

Siang itu, mata pelajaran yang diajarkan adalah Ilmu Pengetahuan Alam. Jadwal guru les yang masuk ke kelas 5 yaitu Bu Rara, salah satu guru favorit Lina.

"Sasa, apakah nanti ketika les tambahan aku boleh duduk dengan mu?" tanya Lina ragu

"Maaf, Lin. Aku sudah ada janji kalau akan duduk dengan Tia. Iya kan, Ti?" tanya Sasa memastikan kepada Tia.

"Iya betul sekali." jawab Tia.

"Baiklah kalau begitu." ucap Lina.

Les tambahan pun dimulai. Dengan terpaksa, Lina duduk di kursi belakang paling pojok kiri tanpa teman semeja. Ternyata, ada Adam yang duduk sendiri di meja paling depan dekat meja guru. Melihat ada kursi kosong di depan, Bu Rara menyuruh Lina untuk maju ke depan agar dapat memperhatikan pembelajaran dengan baik. Tetapi, Lina menolak. Lina merasa takut dan malu dengan teman-teman yang lain.

Suasana kelas mulai tidak kondusif. Bu Rara kembali membujuk Lina untuk pindah ke depan.

"Lina, ini ada kursi kosong di depan. Kamu pindah ke sini ya agar bisa melihat tulisan di papan tulis dengan jelas." ucap Bu Rara sambil menunjuk kursi kosong di samping Adam.

"Ciee Adaamm... Hiii Adaamm.." jawab teman-teman sekelas dengan nada mengejek.

"Ma..ma..maaff, Bu. Saya tidak mau." kata Lina terbata-bata.

"Loh, ada apa Lina? Bukankah di depan bisa lebih jelas?"

"Iii..yaa, Bu. Ta..ta..pii tapi saya diejek Na..jis oleh teman-teman sekelas." jawab Lina berusaha memberanikan diri dan hampir menangis.

"Astaghfirullah..." ucap Bu Rara kaget dan langsung menghampiri Lina.

***

Setelah peristiwa itu, Bu Rara melakukan pendekatan kepada Lina dan orang tuanya. Bu Rara sangat peduli dan akan membicarakan permasalahan ini dengan Pak Enggar, wali kelas Lina. Pak Enggar, Bu Rara, Orang tua Lina, Lina, Orang tua Ibnu, dan Ibnu dipertemukan di aula sekolah. Mereka membicarakan permasalahan ini secara kekeluargaan dan penuh hati-hati mengingat usia Lina dan Ibnu masih di bawah umur. Akhirnya Lina dan Ibnu saling meminta maaf. Kedua orang tua mereka pun juga merasa lega dan saling memahami.

Masalah di antara Lina dan Ibnu sudah selesai. Pada minggu berikutnya, Bu Rara dan Pak Enggar masuk kelas bersama untuk memberikan petuah kepada para siswa kelas 5. Teman-teman Lina pun menyadari bahwa perbuatannya selama ini tidak benar. Mereka sangat menyesal dan langsung meminta maaf kepada Lina. Lina telah memaafkan teman-temannya. Ia juga tidak marah dan tidak dendam.

Waktu kenaikan kelas tiba. Lina bersama teman-temannya naik ke kelas 6 tanpa adanya rolling class. Selama di kelas 6, hubungan pertemanan antara Lina dan teman-teman satu kelas berjalan dengan baik. Lina semakin bersemangat untuk belajar dan mempersiapkan UN (Ujian Nasional). Pak Ali, wali kelas 6 merencanakan belajar bersama dalam rangka persiapan UN di rumahnya. Para siswa kelas 6 sangat senang dan antusias. Setelah semua persiapan UN dilakukan, jadwal UN kelas 6 pun sudah di depan mata. Mereka bisa mengerjakan soal UN dengan lancar dan akhirnya seluruh siswa kelas 6 lulus dengan nilai yang memuaskan.

Buah kesabaran Lina selama bertahun-tahun yang diejek teman-temannya akhirnya berakhir dengan kebahagiaan. Setelah lulus SD, tidak disangka-sangka Lina diterima di salah satu SMP favorit di kotanya. Kesuksesan Lina makin bertambah ketika ia diterima di SMA dan Universitas favorit tentunya dengan diiringi doa dan kerja keras. Lina menyadari bahwa Allah swt Maha Adil. Dia telah mengatur jalan hidup hamba-Nya dengan sedemikian rupa tanpa diduga-duga sebelumnya.

Annisa Novasari, 

Mahasiswi PBSI FKIP Universitas Ahmad Dahlan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun