“ Senja, bersyukurlah saat doamu dikabulkan, berarti Allah meridhoi, berarti Allah sayang. Setelah ini, tugasmu dimulai, untuk memastikan bahwa kamu tidak akan pernah lupa bersyukur atas pemberian Allah.”
Aku hanya terdiam, mendengarkannya.
“Setahun yang lalu, aku juga di posisimu. Sangat berbunga menunggu hari bahagia. Namun, mungkin saat itu aku sedikit terlena akan kebahagiaan dunia. Hingga aku sedikit lupa bersyukur pada-Nya.” Dia memutar cangkir kopi di tangannya.
“Setelah dua tahun berdoa, akhirnya Allah tunjukkan jawaban. Datang seorang lelaki yang sholeh kepadaku dan memintaku secara terhormat kepada Bapak Ibu, untuk menjaga dan membahagiakanku. Yang kemudian aku terima niatnya dengan suka cita. Rasanya saat itu hanya ada bahagia, tak ada cacatnya hidup ini.” Dia menghela nafas sejenak.
“Namun ternyata Allah lebih sayang, padaku juga pada dia. Sebulan sebelum pernikahan kami, dia berpulang, sebelum sempat menunaikan janjinya padaku. Menjadikan aku istrinya.” Kini Air mata menetes di pipinya. Aku masih terdiam tak tahu harus bagaimana.
“Buku yang selalu ku bawa ini, hadiah terakhir dari nya.” Dia menunjukkan buku itu padaku. “Menjadi Istri Shalehah” Tulisan yang ku baca pada sampul nya.
“Semua itu kenangan yang mebahagiakan, sampai hari ini pun aku masih menghormatinya.” Dia tersenyum padaku, seolah sebelumnya seperti tidak menceritakan kesedihan.
“Mba, aku minta maaf ya Mba, aku ndak menyangka kalau ternyata…” Aku tak mampu meneruskan kalimatku.
“Nggak papa, memang itu faktanya. Sehingga aku sangat bahagia melihatmu saat ini. Sampai di titik ini. Aku berdoa semoga memang dia yg dijodohkan untuk mu hingga jannah-Nya nanti.” Kali ini Mba Embun yang meraih tanganku.
“Terimakasih Mba” Tak terasa air mataku menetes, rasanya aku sangat bersyukur untuk kebahagiaan hingga hari ini.
“Akhirnya aku tahu mba, apa yang membuatmu special dimataku.”