Setelah diskusi selesai, aku akhirnya memberanikan diri menanyakan sebuah pertanyaan kepada mba Embun. Pertanyaan yang sebenarnya sudah ingin ku tanyakan dipertemuan kami sebelumnya.
“Mba, aku boleh nanya sesuatu?” Kataku memulai, dengan nada agak ragu-ragu.
“Tanya apa? Kok ragu begitu? Tanya aja, aku akan jawab jika memang aku tahu jawabanya.” Katanya ceria sambil memotong sosis bakar yang baru dipesannya dikasir Indomaret.
“Emmm, Mba Embun hari ini sudah banyak bantu aku tentang persiapan lamaran. Aku penasaran, apa Mba Embun juga sudah punya calon ? Karena sebelumnya kita saling tahu bahwa kita sama-sama belum menikah. Tapi, aku lihat, mba Embun selalu memakai cincin di jari manis kiri?” Jujur, aku gugup saat mengakhiri pertanyaan ini.
Dan benar, aku semakin gugup saat mba Embun menghentikan suapan sosisnya, dan kemudian menatapku beberapa saat. Aku bisa merasakan keheningan diantara kami. Tercipta jeda disana. Lebih tepatnya, aku yang menciptakan jeda disana.
Beberapa saat kemudian mba Embun tersenyum tipis, sambil menatapku, dengan tatapan teduhnya. Kedua tangannya menggenggam cangkir kopi.
“Calon ya?” Seolah dia berbicara dengan dirinya sendiri. “Memang ada sesorang yang datang secara baik-baik meminta kepada orang tua ku, dan aku pun menerimanya dengan suka cita.”
“Wah, beruntung sekali pasti laki-laki itu mba.” Respon ku bersemangat, saat ekspresi mba Embun sudah mulai biasa kembali.
“Benar, Beliau memang beruntung.” Kali ini aku melihat mata mba Embun mulai berkaca-kaca dibalik lensa kaca matanya.
“Mba? Are you okay ? Aku mulai disergap kebingungan.
Mba Embun hanya mengagguk dan tersenyum menatap cincin yang melingkar di jari manisnya.