Mohon tunggu...
Annisa Amanda (Aan)
Annisa Amanda (Aan) Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

Hei, Aan di sini. Seorang pecinta dan pemuja hal-hal indah. Pemula dalam hal menulis, namun suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tuan Putri dan Boneka

26 Desember 2024   10:56 Diperbarui: 26 Desember 2024   10:56 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

            Aku menatap Ayah dan Ibu yang menangis meraung. Semua orang mencoba untuk menenangkan mereka berdua dengan berbagai ucapan, usapan dan doa. Aku hanya diam sambil memeluk bonekaku erat-erat. Aku biasanya menyukai keramaian, aku suka ketika semua orang hadir dan menaruh perhatian mereka padaku. Namun, sekarang...

            Aku tak suka suasana ini, menyesakkan.

            Suara tangisan Ibu semakin kencang. Meminta maaf dan memohon kepada Tuhan. Aku takut, tapi juga sedih melihat Ibu seperti itu. Aku ingin mendekati Ibu dan berada di pelukannya. Namun, semua orang di sana, sedang berusaha menenangkan Ibu yang tidak karuan.

            Karena itulah, aku berjalan mendekati Ayah yang terduduk menyandar pada dinding. Aku duduk di sebelah Ayah sambil memainkan bonekaku. Tapi isakan tertahan itu membuatku menoleh.

            Ayah mencoba untuk tetap terlihat kuat, namun gagal. Kasihan Ayah.

            Aku bersandar pada Ayah dan mulai ikut terisak juga. Saat itu, aku menangis bersama Ayah dengan beberapa orang mencoba menenangkan Ayah.

            "Tuan putri mengapa menangis?"

            Aku menoleh dan Boneka di sana, berdiri dengan kedua kakinya sendiri. Aku masih menangis dan menunjuk kepada Ayah-Ibu.

            "Ayah sedih, Ibu sedih, itu membuatku sedih..." Ucapku di tengah-tengah isakan.

            Boneka ikut sedih juga, dan segera ia memelukku. Aku memeluk Boneka juga, dan itu membuatku sedikit lebih lega.

            "Mari, kita sedikit menjauh dari sini. Jangan ganggu orang-orang dewasa."

            Aku sedikit ragu, namun Boneka benar. Kata Ibu, jika orang-orang dewasa berkumpul, jangan mengganggu mereka kecuali Ibu atau Ayah mengizinkan. Dan saat ini, Ayah dan Ibu tak terlihat memberikanku izin.

            Aku mengangguk pada Boneka dan meraih tangannya. Kami berjalan menjauh dari tempat Ayah dan Ibu.

            "Boneka, ke mana kita akan pergi? Apakah jauh? Ayah dan Ibu akan khawatir jika aku pergi terlalu jauh."

            Boneka menggeleng. Ia menunjuk pada suatu jalan. Aku mengikuti arah tunjuknya.

            "Wah..! Apa itu, Boneka?"

            "Itu kenangan, Tuan putri."

            "Kenangan??"

            Aku menatap berbagai layar besar itu. Aku melihat Ayah-Ibu, teman-teman dan berbagai hal lainnya. Aku dapat mendengar suaraku sendiri yang tertawa atau pun merengek.

            Aku bahagia melihat semua kenangan itu. Dengan semangat, aku berlarian dari satu kenangan ke kenangan lainnya. Tapi tiba-tiba Boneka menarik tanganku untuk berhenti.

            "Tuan putri, jangan berlari. Ingat apa kata Ibu?"

            Aku sedikit cemberut. "Ya. Jangan berlarian tanpa melihat jalan, nanti jatuh terluka."

            Boneka tersenyum dan mengangguk. "Tetap memegang tanganku, Tuan putri."

            Aku mengangguk senang dan mengeratkan peganganku pada tangan Boneka. Semua kenangan berputar di depanku. Semuanya terputar dengan baik hingga kenangan itu terhenti.

            Aku bingung, mengapa layar-layar itu tak bergerak lagi? Mengapa semuanya berhenti? Aku menatap Boneka yang masih memimpin jalan.

            "Kenapa kenanganku hanya sampai di sana, Boneka?"

            Semuanya terhenti di pertemuanku dengan pacar Ibu. Malam tadi, ketika Ayah pulang telat dan Ibu membawa pacar Ibu ke rumah. Semuanya berjalan seperti biasa, Ibu dan pacar Ibu main di kamar Ayah-Ibu, Ayah yang tak pulang-pulang dari kerja dan aku bermain dengan bonekaku sebelum tidur.

            Lalu tiba-tiba pacar Ibu masuk ke kamarku, menyapa dengan senyuman. Ia dengan baik hati mengajakku bermain bersama, hingga... Huh? Hingga apa ya? Kenapa aku tak ingat? Aku tak ingat apa pun setelah itu.

            Aku merasakan genggaman Boneka semakin erat. Aku menoleh dan bingung.

            "Aku tak ingat, Boneka. Apa yang terjadi malam tadi?"

            Boneka tersenyum dan menggeleng. "Tuan putri tak perlu susah payah mengingatnya! Sekarang ayo kita pergi sedikit lebih jauh lagi!"

            Aku mengangguk semangat. Aku tak sabar melihat hal-hal unik selanjutnya, namun sebuah bisikan menyapa pendengaranku. Sebuah lirihan dan janji.

            "Maafkan Ayah. Maaf, maaf, maaf. Ayah bersumpah, tak akan membiarkan pelaku hidup dengan tenang. Maafkan Ayah..."

            Aku menoleh ke belakang, di mana hanya ada jalanan kosong di sana. Namun aku benar-benar mendengar bisikan. Aku yakin hal itu.

            Aku seakan familiar dengan suara itu, tapi... Ayah?

            ...

            ...

            ... siapa?

            Aku ingin mengejar suara yang terdengar sedih itu. Tapi di mana? Siapa?

            "Boneka?" Aku bertanya pada Boneka apa itu.

            Boneka menggeleng padaku. "Tuan putri, tak ada siapa pun lagi."

            "Tapi..." Aku menoleh ke belakang sekali lagi.

            Ada sesuatu-bukan, seseorang! Ada seseorang di sana! Kenapa aku tiba-tiba lupa?!

            "Boneka! Ayah dan Ibuku!" Ucapku panik. "Aku pergi terlalu jauh! Mereka pasti khawatir!"

            Aku berbalik dan mencoba berlari, tapi kakiku tak bergerak. Air mata jatuh membasahi pipi dan ketakutan berhembus di kulitku.

            "Boneka! Ayah dan Ibuku memintaku pulang!!"

            Aku menangis ketakutan. Boneka tetap memegang tanganku. Namun kali ini ia berubah menjadi lebih besar dan ketika itu memelukku, aku merasa aman dan nyaman.

            "Tuan putri, tak ada siapa pun lagi untukmu. Kamu sendirian. Namun tak perlu takut, semuanya telah baik-baik saja. Tak ada yang perlu kamu takuti."

            Aku hanya dapat terisak lemah mendengar itu sebelum jatuh tertidur dalam pelukan yang ternyaman yang pernah kurasakan.

-||-

            "Kamu telah mendengar berita terbaru mengenai Keluarga Praditya?"

            "Eh? Ada lagi?! Belum cukup masalah si Suami yang selalu kerja di luar kota berbulan-bulan, si Istri yang selingkuh dan Anak mereka yang mati?"

            "Ini panas dan terbilang gila!!"

            "Serius?! Apaan?"

            "Pak Praditya membunuh pacar Istrinya!"

            "... Eh? Akhirnya ketahuan selingkuh, kah?"

            "Mungkin kali. Soalnya Pak Praditya tak bicara bahkan satu patah kata pun ketika ditangkap. Diam doang ketika dibawa, dan bahkan tak melawan! Dia kek orang stres setelah anak mereka mati."

            "Ya pastilah. Bayangkan saja,  anak satu-satunya yang masih 5 tahun ditemukan mati di kasur begitu, siapa yang tak terpukul coba? Mana Istrinya tak waras lagi setelah anak mereka dikubur. Tapi aneh banget keluarga satu ini, ya kan? Kek ada saja kelakuannya."

            "Ya, tahu saja! Kalo kata mereka sih, masalah orang kaya."

            Kedua wanita paruh baya itu terus saja bergosip ria. Aku memperhatikan di belakang mereka dengan muka merengut cemberut.

            "Kenapa?" Boneka yang ada di pelukanku bertanya.

            "Tak tahu. Tapi aku sebel dengan tante-tante itu bicara jahat."

            Boneka terkekeh. Aku semakin kesal dan membuang muka.

            "Sudah-sudah. Ayo kembali. Sudah puas di sini?"

            Aku terdiam dan menggeleng pelan sambil menahan air mata. Boneka menghela nafas sebelum memelukku.

            "Ayo kita jalan-jalan sebelum hari ke 40 datang. Pegang tanganku."

            Aku mengangguk dan memegang tangan Boneka. Dengan tubuh yang terasa lebih ringan, ingatan yang memudar dan Boneka di sisiku, aku menghabiskan waktuku di sini sedikit lebih lama lagi, sebelum jam kenangan itu menghitam.

            Namun... Sendirian, tanpa siapa pun. Itu membuatku berpikir, jika Boneka tak ada, siapa yang akan menggenggam tanganku?

            Aku takut sendirian. Ayah-Ibu, tolong aku.

            "Tuan putri," Boneka memanggilku dan menghela nafas. "Tak ada siapa pun di sisimu."

            Aku terisak dan menangis. Dan Boneka masih menuntunku berjalan di tengah keramaian dunia.

-TAMAT-

Padang, 2024-06-09

Penulis memiliki nama lengkap Annisa Aulia Amanda, namun sebut saja Aan, tipikal penulis standar.

@annisaamanda0504

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun