Mohon tunggu...
Annisa RichiePutri
Annisa RichiePutri Mohon Tunggu... Lainnya - Siswi kelas IX

Mengambar anime dan mendengarkan music

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Waktu yang Terlambat

8 Oktober 2024   12:28 Diperbarui: 8 Oktober 2024   12:49 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

**"Waktu yang Terlambat"**

Alex Triyas Angelo, 40 tahun, seorang pengusaha sukses yang tenggelam dalam pekerjaannya. Setiap

hari, dia selalu sibuk dengan urusan bisnis, beranggapan bahwa semua yang dia lakukan demi masa

depan anaknya, Alister Galen Angelo, yang kini berusia 13 tahun. Sejak ibunya, Alena, meninggal

dalam kecelakaan lima tahun lalu, Alex semakin menenggelamkan diri dalam pekerjaan, tanpa sadar

bahwa yang paling dibutuhkan Alister bukanlah harta, melainkan kehadiran ayahnya.

Alister, anak yang ceria meski menderita penyakit jantung koroner sejak kecil, selalu berharap

ayahnya lebih banyak menghabiskan waktu dengannya. Tetapi setiap kali dia mencoba mengajak

ayahnya berbicara atau bermain, jawaban Alex selalu sama: "Nanti, Ister. Ayah sibuk."

Di sekolah, Alister tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia sakit. Meski tubuhnya sering lelah dan

nafasnya pendek, ia tetap ingin menikmati hari-harinya seperti anak-anak lainnya. la memiliki

beberapa teman dekat, dan salah satunya adalah Bryan. Mereka sering bermain bersama, tertawa,

seakan-akan tak ada penyakit yang membayangi hidup Alister.

Pada waktu istirahat, Alister dan teman-temannya bermain sepak bola di halaman sekolah. Meski

tahu bahwa terlalu banyak berlari berbahaya bagi kondisinya, Alister tetap bermain dengan

semangat.

"Alister, oper bola ke sini!" teriak Bryan dari sudut lapangan.

Alister tersenyum dan menendang bola dengan penuh tenaga. Tapi tak lama setelah itu, ia

merasakan dadanya berdebar keras. Nafasnya mulai tersengal-sengal. la berusaha menahan rasa

sakit di dadanya sambil terus bermain, tapi tubuhnya tak lagi bisa diajak kompromi.

"Alister, kamu nggak apa-apa?" tanya Bryan ketika melihat wajah pucat Alister.

"Enggak, aku baik-baik saja," jawab Alister, berusaha menyembunyikan rasa sakitnya. la tidak ingin

membuat teman-temannya khawatir.

Tapi detik berikutnya, tubuh Alister ambruk ke tanah. Suara riuh di lapangan mendadak sunyi, semua

mata tertuju padanya.

"Alister!" Bryan berteriak, panik. Teman-temannya segera berlari mendekat, dan guru yang sedang

mengawasi langsung memanggil ambulans.

Dalam perjalanan ke rumah sakit, Alister hanya bisa terbaring lemah di atas tandu. Matanya

terpejam, dadanya sakit, tapi yang ada di pikirannya bukanlah rasa sakit itu. Yang ada di pikirannya

adalah sosok ayahnya. Apa Ayah akan datang kali ini?

Alex tiba di rumah sakit dengan tergesa-gesa setelah mendapat telepon darurat dari pihak sekolah.

Ketika dia melihat anaknya terbaring tak sadarkan diri di ruang ICU, seluruh dunianya seakan runtuh.

Alister yang selalu tampak kuat, ceria, dan penuh semangat kini terbaring lemah, dinkubasi, dengan

mesin-mesin yang berdentang di sekelilingnya.

"Apa anak saya akan baik-baik saja, Dok?" tanya Alex dengan suara bergetar. la merasa ada perasaan

yang asing sedang terjadi di dalam dirinya. la tidak pernah menyangka hal ini akan terjadi.

Dokter menatapnya dengan wajah penuh simpati. "Kondisinya sangat kritis, Pak Alex. Kami akan

berusaha semaksimal mungkin, tapi ini saat-saat yang genting. Doakan yang terbaik."

Alex duduk di kursi di samping ranjang Alister, menggenggam tangan kecil anaknya yang dingin dan

menatap muka pucat anaknya. Untuk kedua kalinya dalam hidupnya, ia merasa benar-benar takut.

Bukan takut kehilangan bisnis atau kekayaannya, tetapi ia takut akan merasakan kembali kehilangan

orang yang benar-benar berharga dalam hidupnya.

"Ister.. Ayah minta maaf..." bisiknya dengan suara parau dan bergetar. "Ayah selalu sibuk. Ayah

selalu berjanji akan ada waktu buat kita, tapi Ayah terlalu buta untuk melihat bahwa waktu itu

mungkin tidak banyak. Ayah janji, kalau kamu bangun, Ayah akan selalu ada buatmu. Tolong bangun,

Nak..."

Beberapa hari kemudian, hal yang diharapkannya terjadi dan dia sangat bersyukur. Alister membuka

matanya perlahan. Alex yang sedang tertidur di sampingnya langsung terbangun dan melihat

putranya menatapnya dengan lemah.

"Ayah." Alister berbisik dengan suara serak.

"Ister! Akhirnya kamu sadar, Ayah sangat bersyukur! Terima kasih sudah mau bertahan ya, Nak."

Alex menggenggam tangan putranya lebih erat. Matanya basah oleh air mata kebahagiaan. "Ayah di

sini, Nak. Ayah akan selalu di sini."

Setelah masa kritis terlewati, Alister dipulangkan dari rumah sakit untuk menjalani pemulihan di

rumah. Meski sibuk, Alex berusaha untuk selalu ada di sisi anaknya. Setiap pagi, ia memastikan untuk

sarapan bersama Alister. Di malam hari, ia akan pulang lebih awal dari biasanya untuk menonton

film atau bermain kartu di ruang tamu, meski pekerjaannya masih menumpuk.

"Bagaimana harimu, Ister?" tanya Alex suatu sore, saat mereka duduk di teras rumah.

"Baik, Yah. Ister masih merasa lemah, tapi senang bisa di rumah lagi," jawab Alister sambil

tersenyum.

"Ayah janji, Ayah akan lebih sering di sini. Kita akan lakukan banyak hal bersama, oke?" kata Alex

sambil menatap anaknya dengan tulus. la tak ingin mengulangi kesalahan yang sama. la akan

berusaha akan menghabiskan waktu bersama anaknya.

Alister mengangguk, senang mendengar kata-kata itu. Meski tubuhnya masih lemah, semangatnya

untuk sembuh semakin kuat berkat kehadiran ayahnya yang kini lebih memperhatikannya.

Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Beberapa bulan kemudian, Alister kembali

merasakan sakit yang sama di dadanya. Malam itu, ia terbangun dengan napas yang tersengal-

sengal. Alex, yang tidur di kamar sebelah, langsung panik ketika mendengar suara rintihan anaknya.

"Ister! Bertahanlah, Nak! Ayah akan memanggil ambulans!" Alex berusaha menenangkan putranya,

tapi dalam hatinya, ia tahu bahwa serangan ini lebih parah dari sebelumnya.

Di rumah sakit, dokter memberi kabar buruk bahwa jantung Alister semakin lemah. Operasi terakhir

harus segera dilakukan, meskipun risikonya sangat tinggi.

"Ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan dia," kata dokter. "Tapi operasi ini sangat rumit dan

berbahaya."

Alex terdiam, hatinya berdebar-debar. Namun ia tak punya pilihan lain. Dengan berat hati, ia

menyetujui operasi itu.

"Ayah sayang kamu, Ister," bisik Alex sebelum Alister dibawa ke ruang operasi. "Kamu anak yang

kuat. Ayah akan di sini, menunggumu."

Alister tersenyum lemah. "Ister sayang Ayah juga..."

Operasi berlangsung berjam-jam. Setiap menit terasa seperti seabad bagi Alex, yang duduk di ruang

tunggu dengan tangan gemetar. Harapannya berayun antara takut dan doa, berharap kali ini

anaknya bisa bertahan lagi.

Namun, setelah berjam-jam menunggu, dokter keluar dari ruang operasi dengan wajah muram. Alex

bisa merasakan jawaban sebelum kata-kata itu keluar. Alex berusaha menyangkal semua perasaan

itu dan berharap semua akan baik - baik saja.

"Kami sudah berusaha yang terbaik, Pak Alex. Tapi jantung Alister terlalu lemah. Dia tidak bisa

bertahan."

Dunia Alex kembali runtuh. Tubuhnya terasa kaku, tak mampu menerima kenyataan. la berjalan

perlahan menuju kamar tempat tubuh Alister terbaring, seolah masih menunggu dia untuk bangun

lagi, tersenyum kepadanya seperti dulu. Tapi kali ini, Alister benar-benar pergi.

Di pemakaman, Alex berdiri di samping makam Alister, dikelilingi oleh kerabat dan teman-teman.

Namun semua suara terasa sayup-sayup di telinganya. Yang tersisa hanya kesedihan mendalam dan

penyesalan.

Setelah semua orang pergi, Alex tetap berdiri di sana, sendirian. la memandangi batu nisan

putranya, merenungkan semua waktu yang terbuang, semua kesempatan yang telah hilang.

Di rumah, Alex masuk ke kamar Alister. Kamar itu seakan masih menyimpan kehangatan Alister,

meski tubuh anak itu telah tiada. Di atas meja belajar, ia menemukan dua surat yang ditinggalkan

Alister, tidak tau kapan ia menulisnya.

Surat pertama: "Ayah, Ister menulis ini karena Ister nggak tahu apakah Ister masih punya waktu

untuk bilang semua ini. Ister tahu Ayah sibuk, dan Ister ngerti kenapa Ayah harus kerja keras. Tapi

Ister ingin bilang kalau Ister merindukan Ayah. Ister ingin kita seperti dulu, sebelum Ibu meninggal.

Ister ingin Ayah di sini Bersama Ister, bukan hanya kerja. Ister selalu sayang Ayah, meskipun Ayah

jarang ada di rumah. Maafkan Ister kalau Ister tidak cukup kuat untuk menunggu lebih lama."

Surat kedua: "Ayah, Ister tahu Ayah selalu berusaha keras untuk Ister, Ister berterima kasih untuk

itu. Ister tahu Ayah sayang pada Ister, meski kadang kita jarang bersama. Terima kasih sudah ada di

samping Ister belakangan ini. Walau hanya sebentar tetapi itu terasa menyenangkan dan itu yang

paling Ister inginkan. Kalau Ister tidak bisa bertahan, Ister ingin Ayah tahu bahwa Ister bahagia

karena kita sempat bersama. Ister sayang Ayah, selalu. Alister anak Ayah."

Surat itu membuat Alex terpukul dan merasakan sesak yang bergejolak di dalam dadanya lalu

terisak. Air matanya mengalir tanpa henti. la jatuh terduduk di lantai kamar, menggenggam surat itu

erat-erat, merasakan kehadiran Alister yang masih terasa begitu dekat. Meskipun penyesalan tetap

ada, Alex tahu bahwa di akhir hidup Alister, ia sudah berusaha menjadi ayah yang lebih baik. Namun

waktu tak pernah bisa diulang. Dan sekarang, yarng tersisa hanyalah kenangan serta cinta yang

takkan pernah hilang.

"Maafkan Ayah, Ister... Maafkan Ayah..." isaknya berulang-ulang, dengan suara yang terdengar

putus asa.

Alex duduk di kamar itu sepanjang malam, mengingat kenangan masa-masa bersama Alister dan

Alena. Bayangan mereka yang tertawa di ruang tamu, bermain bersama di taman, makan malam

yang penuh canda tawa. Semua kenangan itu menghantui pikirannya, seakan menegaskan betapa

waktu yang telah hilang takkan pernah bisa kembali.

Dan di sana, di dalam kamar yang sunyi, Alex menyadari bahwa cinta sejati tidak diukur dari

seberapa banyak yang bisa diberikan, tetapi dari seberapa banyak waktu yang dihabiskan bersama

orang-orang terkasih sebelum semuanya terlambat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun