Mohon tunggu...
Anita Kencanawati
Anita Kencanawati Mohon Tunggu... Penulis - Ketua WPI (Wanita Penulis Indonesia) Sumut

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Jejak Jalan Berkabut Luka (Episode-18)

19 Maret 2022   10:26 Diperbarui: 19 Maret 2022   10:33 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu Malam Di Jalan Sepi

Tiga tahun menjadi redaktur di Tabloid Gaya Medan, aku kemudian pindah ke media cetak yang baru terbit. Namanya Harian Global Medan.

Seorang kawan yang memberitahu aku, kalau ada media cetak yang mau terbit. "Mereka membuka lowongan redaktur juga, Rin. Pemodalnya orang kaya di Kota Medan. Aku rasa, prospek korannya cukup bagus. Karena selain pemodalnya banyak duit, pimpinan di keredaksiannya juga ditangani orang yang tak diragukan lagi kemampuannya," ujar kawanku itu.

Aku merasa tertarik, dan melamar jadi redaktur di koran yang mau terbit itu. Sama seperti pelamar lainnya, kami mengikuti seleksi wawancara yang dilakukan pemred, wapemred dan redaktur pelaksana. Lolos seleksi wawancara, dilanjutkan dengan tes tertulis, berupa mengedit berita, karena aku melamar jadi redaktur.

Dari sekian banyak yang melamar dan mengikuti seleksi, aku lolos bersama sembilan redaktur lainnya yang semuanya laki-laki. Tapi, ternyata di tiga bulan pertama, ada seleksi lagi. Satu orang redaktur dinyatakan tidak lolos untuk meneruskan tugasnya sebagai redaktur. Jumlah redaktur berkurang menjadi delapan orang laki-laki, dan satu perempuan yaitu aku.

Menjadi satu-satunya redaktur perempuan, aku dituntut untuk bisa melakukan kewajiban yang sama. Terutama tentang pulang kerja. Meski tugasku bisa lebih cepat selesai dari kawan-kawan redaktur laki-laki, tapi aku pulang tetap pukul duabelas malam, bahkan kadang pukul satu malam. Kami harus menunggu pemred selesai memeriksa hasil kerja kami, yaitu mengedit berita halaman kami masing-masing, yang sudah dilayout dan sudah diprint. Jika sudah diperiksa pemred, kami baru boleh pulang.

Bagusnya, berkat kebijakan pemred, perusahaan menyediakan mobil untuk mengantar kami pulang ke rumah. Terutama untuk aku, redaktur perempuan, dan satu orang lagi layouter perempuan. Namun, kalau ada redaktur dan layouter laki-laki yang mau pulang diantar mobil, juga dibolehkan.

Alhasil, jika yang diantar pulang naik mobil kantor jumlahnya banyak, aku bisa sampai di rumah sampai pukul dua malam atau pukul tiga malam. Karena, supirnya mengantar berdasarkan rute. Aku diantar terakhir, karena rumahku  dianggap rute paling jauh dari kantor koran kami yang berada di Komplek Cemara Asri.

Selama lima tahun, aku pulang tengah malam diantar mobil kantor. Memasuki tahun keenam, terjadi pergantian pemred oleh pihak pemodal. Kantor kami pun pindah ke Jalan S. Parman. Beberapa karyawan di PHK. Mobil mengantar redaktur dan layouter pulang, sudah ditiadakan. Alasannya, kantor sudah berada di pusat kota.

Aku pun membeli sepeda motor. Pergi dan pulang naik sepeda motor. Tapi aku merasa enjoy saja. Sebab, jarak kantor dengan rumahku tidak terlalu jauh, sekitar 2 kilometer. Apalagi pengalamanku sebelumnya selalu pulang tengah malam diantar mobil kantor, tak pernah ada kejadian apa pun, membuatku merasa pulang kerja naik sepeda motor jam sepuluh atau sebelas malam, pasti aman-aman saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun