Tidak! Dosaku telah menumpuk banyak. Lalu mengapa aku harus menambahnya lagi dengan menyalahkan takdir? Menyalahkan Tuhan! Aku memang keparat. Aku begitu keparat!
Lihatlah! Setelah sekian lama aku tak sanggup mengeluarkan tangis, malam ini justru air mata membanjiri wajah tanpa kuminta. Hidup kembalikah hatiku ini, Tuhan? Setelah mati tergerus dosa yang kucipta? Akankah kau ampuni aku, Tuhan?
Aku menarik syal yang menggulung di leher. Syal berwarna merah. Sebuah warna bermakna keberanian. Sebuah warna darah. Aku tersenyum melihat syal yang kupegang.
Aku menemukannya. Sebuah cara yang indah menghentikan segala dosa-dosaku. Meski harus kuakhiri pula dengan sebuah dosa yang kurasa Tuhan tak akan mengampuninya juga.
Merah ini akan mewakili darahku. Aku mengikat syal itu di sebuah pohon nangka yang tumbuh lebat di halaman rumah. Pohon itu tepat berdiri di samping sebuah ayunan yang kududuki tadi. Di kelilingi bunga-bunga yang mengitar. Sebuah tempat yang indah untuk mati.
Aku mengambil sebuah bangku, menaikinya, kemudian mengulas senyum untuk terakhir kali.
"Aku mencintaimu, Melia."
Kaohsiung, 2 Maret 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H