Mohon tunggu...
Ani Siti Rohani
Ani Siti Rohani Mohon Tunggu... Buruh - Perempuan penikmat sunyi

Life is never flat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kado Pernikahan untuk Melia

2 April 2019   10:52 Diperbarui: 2 April 2019   11:04 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi : Pixabay


Pria itu, dia menindihku kembali. Ini sudah yang kelima kalinya. Membuat dadaku engap. Bau keringat yang menyeruak dari tubuhnya begitu menyengat. Nafas yang menderu serta lenguhannya, juga membuatku bertambah muak.

Dia datang setiap seminggu sekali. Alasannya, sebab aku tak mampu mencicil untuk membayar hutang yang ditinggal oleh ibuku. Hutang yang sangat besar. Katanya, itu bentuk penebusan untuk membayar bunga dari hutang tersebut. Jika aku tak bersedia, maka hutang akan semakin menumpuk, sebab bunga yang setiap bulan bertambah. Sungguh biadab!

"Kalau kau masih belum bisa mencicilnya, mungkin aku juga akan melakukan ini pada adikmu yang masih belia itu," ucapnya sembari memasang resleting celana setelah puas meniduriku.

Napasku menderu cepat. Si keparat itu, tidak boleh sedikit pun menyentuh adikku.

"Aku akan berusaha melunasi hutangmu. Jangan pernah sekali pun menyentuhnya!" balasku penuh emosi.

Dia hanya menyeringai, kemudian pergi. Barangkali, tak percaya dengan yang kukatakan. Aku berjanji, akan berusaha semaksimal mungkin untuk segera melunasi hutang kepada pria keparat itu. Aku harus mencari cara!

***

Semua sudah berakhir. Tugasku selesai. Setelah lama berjuang, pada akhirnya aku mampu membayar hutang kepada pria keparat itu.

Aku meninggalkan adikku setelah kejadian waktu itu. Setelah janji yang kuucapkan pada diri sendiri. Aku tak akan pernah sedikit pun membiarkan satu-satunya adik kesayanganku mengalami nasib buruk seperti yang kualami. Aku menitipkannya kepada seorang tetangga yang bersedia untuk merawat. Aku membayarnya tentu saja. Tidak ada yang gratis di dunia ini bukan?

Sembilan tahun sudah aku mengubur diri hidup-hidup. Menghilangkan diri terhadap orang-orang yang kukenal atau mengenaliku. Termasuk Melia, adikku. Meski setiap sebulan sekali aku mengirimi surat untuknya. Tapi, aku tak pernah mencantumkan alamat pengirim, tidak pernah memberikan nomer ponsel atau apa pun untuk dia bisa menghubungiku. Dia tidak perlu tahu keadaanku. Dia tidak perlu tahu apa yang kulakukan di sini.

Beberapa hari yang lalu, aku mendapatkan sebuah postingan di akun FB-nya berupa undangan pernikahan. Melia akan menikah dengan seseorang bernama Ardi Setiawan. Aku yakin laki-laki itu adalah orang hebat. Dari gelar yang tercantum dan tertera di depan serta di belakang namanya, aku bisa mengetahui bahwa dia lelaki yang pantas untuk Melia. Kuharap, hatinya pun sehebat gelar yang disandang.

Melia, dia tak pernah menyadari aku mengawasinya dari sini. Melalui sebuah akun Facebook dengan nama samaran yang kubuat, aku mengirimi permintaan pertemanan padanya untuk aku bisa mengetahui setiap kabarnya. Beruntung, karena Melia memang begitu aktif menggunakan akun sosmednya itu. Aku tak perlu bersusah payah untuk mencari info tentangnya.

Aku mengiriminya surat. Memberi selamat atas pernikahan yang akan dilangsungkannya bersama lelaki bernama Ardi Setiawan itu. Aku juga mengiriminya sebuah kado pernikahan. Sebuah gaun merah yang kurasa akan membuatnya akan terlihat lebih anggun dan cantik jika dikenakan. Dan, aku yakin Melia pasti bertanya-tanya dari mana aku mengetahui semua itu. Melia pun pasti berharap aku akan datang. Dia pasti menungguku.

***

Rembulan bersinar terang malam ini. Tak henti aku menatapinya, senyum tipis kusimpulkan dari kedua bibirku. Bahagia, tentu saja. Malam ini Melia akan menikah, dia akan menjadi wanita seutuhnya. Memiliki seorang suami, anak, memiliki sebuah keluarga. Tak lagi menjadi sebatang kara yang ditinggal mati ibu dan ayahnya, juga ditinggal pergi oleh seorang kakak yang sekian tahun tak mau menemuinya.

Janjiku sudah terpenuhi. Meski harus aku mengalami perih bertubi-tubi. Biarlah, biarkan asal Melia bahagia dengan kehidupannya. Biarkan, asal Melia tak menjadi wanita rusak sepertiku.

Aku lelah, sungguh lelah. Setelah sekian lama hidup dalam bergelimangan dosa, kurasa ini saatnya aku menghentikan semuanya. Semua harus kuakhiri di sini. Sebab semuanya sudah selesai. Aku tak lagi menanggung hutang yang ibu tinggalkan sebelum dibunuh oleh kekasih keparatnya itu. Aku sudah berhasil menjadikan Melia menjadi orang besar. Serta pun, Melia sudah akan memiliki keluarga baru kini.

Aku tak berhenti tersenyum, berayun di sebuah ayunan yang sengaja kupasang di halaman depan rumah sebagai tempat bersantai. Aku biasa menghabiskan waktu di sini, membayangkan masa laluku bersama Melia di sini, setiap hari, setiap aku merindukannya, seperti malam ini.

Aku malu, teramat malu untuk menemuinya. Aku kotor, hina. Melia tak pantas hidup bersama seorang pelacur sepertiku. Dia harus menjadi wanita yang bersih. Aku tak ingin menodai kehidupannya dengan keberadaanku di sisinya. Meski aku sangat, sangat merindukannya.

Malam ini aku akan mengakhirinya. Aku berjanji tak akan lagi melayani napsu bejad para lelaki yang kerap meniduriku selama ini. Rasa muakku terhadap mereka akan kutuntaskan hari ini. Setelah ini, tak boleh lagi, tak akan lagi ada lelaki yang menindihku dan membuatku mual dengan aroma keringat yang menyengat.

Mereka, tak akan lagi menjumpaiku sebagai seorang pelacur idaman yang mereka incar. Aku akan berhenti hari ini, malam ini. Sebab tugasku sudah selesai. Tak ada yang perlu lagi kulakukan. Tabunganku sudah banyak, rumah megah sudah kudapat lalu apa lagi? Aku sudah memiliki semuanya. Setelah dera yang bertubi-tubi, aku mendapatkan banyak sekali. Meski dengan cara yang kuyakin Tuhan tak akan meridhoi. Tuhan tak akan mengampuniku. Dosaku begitu banyak. Aku sendiri merasa engap, menyangga dosa yang kian lama kian menghimpit dada.

Aku tak menginginkan ini. Jika saja, Tuhan sedikit berbaik hati padaku untuk tak menimpakan begitu banyak beban di pundak, mungkin aku tak akan memilih jalan ini.

Tidak! Dosaku telah menumpuk banyak. Lalu mengapa aku harus menambahnya lagi dengan menyalahkan takdir? Menyalahkan Tuhan! Aku memang keparat. Aku begitu keparat!

Lihatlah! Setelah sekian lama aku tak sanggup mengeluarkan tangis, malam ini justru air mata membanjiri wajah tanpa kuminta. Hidup kembalikah hatiku ini, Tuhan? Setelah mati tergerus dosa yang kucipta? Akankah kau ampuni aku, Tuhan?

Aku menarik syal yang menggulung di leher. Syal berwarna merah. Sebuah warna bermakna keberanian. Sebuah warna darah. Aku tersenyum melihat syal yang kupegang.

Aku menemukannya. Sebuah cara yang indah menghentikan segala dosa-dosaku. Meski harus kuakhiri pula dengan sebuah dosa yang kurasa Tuhan tak akan mengampuninya juga.

Merah ini akan mewakili darahku. Aku mengikat syal itu di sebuah pohon nangka yang tumbuh lebat di halaman rumah. Pohon itu tepat berdiri di samping sebuah ayunan yang kududuki tadi. Di kelilingi bunga-bunga yang mengitar. Sebuah tempat yang indah untuk mati.

Aku mengambil sebuah bangku, menaikinya, kemudian mengulas senyum untuk terakhir kali.

"Aku mencintaimu, Melia."

Kaohsiung, 2 Maret 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun